Jika kamu belum dengar nama Michel Foucault, itu artinya kamu benar-benar buta pengetahuan. Andai kamu belum pernah melihat wajahnya itu artinya kamu hidup tanpa topangan akal. Foucault bukan ilmuwan yang biasa kamu baca pandangannya, tetapi inspirator yang menggugat keyakinanmu. Selalu ada yang mengejutkan dari gagasannya dan kerapkali kita tertantang karena tawarannya. Kali ini kuliah tentang kebenaran disajikan dengan bahasa yang meyentuh, rumit tapi membuat kita bisa termangu.
Buku berjudul Parrhesia yang diterbitkan Marjin Kiri merekam semua isi kuliahnya yang bagi saya amat memikat. Kualitas kuliahnya yang menyegarkan itu membuat kita bisa memahami mengapa akal sehat benar-benar penting sehingga kita dapat mudah membedakan mana kedunguan dan mana kecerdasan. Setidaknya bisa membedakan mana kepercayaan abal-abal mana keyakinan yang dasarnya akal sehat. Tapi untuk memahami itu semua kita perlu mendaki kisah-kisah Yunani. Tempat dimana konsep demokrasi bermula.
Foucault yang meninggal pada tahun 1984 memberikan enam topik kuliah di Universitas California, Berkeley, tentang ‘wacana dan kebenaran’. Kuliah ini memberikan gambaran utuh tentang praktik pengungkapan kebenaran di zaman antik. Sungguh merugilah kita jika tak mau mendengar serial kuliah yang mengaggumkan ini.
Diperkenalkan kita pada kata parrhesia. Makna utama kata itu adalah ‘menyatakan kebenaran’. Kata ini menyimpan dua ciri mendasar: menautkan antara kepercayaan (belief) dan kebenaran (truth). Pada orang Yunani, koinsidensi antara kepercayaan dan kebenaran itu tak terjadi pada pengalaman melainkan pada aktivitas lisan yaitu parrhesia. Segarnya ide ini pada pelacakan Foucault kalau orang dikatakan menerapkan parrhesia dan layak dianggap parrhesiates jika terdapat resiko bahaya baginya dalam mengungkap kebenaran.
Dalam ujud paling ekstrem menyatakan kebenaran adalah ‘permainan’ hidup dan mati. Karena tiap kebenaran itu pasti membawa akibat menyakitkan bagi mitra wicaranya. Tiap pernyataan kebenaran bisa diibaratkan sebagai kritik, dimana posisi masing-masing pihak tak setara. Hanya posisi pembawa kebenaran itu selalu berada dalam sisi ‘kurang berdaya’ sehingga mengatakan kebenaran beresiko.
Kebenaran itu selalu melawan mayoritas. Maka menyatakan ‘kebenaran’ itu bukan wujud kemenangan tapi sebagai ‘keharusan’. Di sana kebenaran tak bisa diperoleh dengan cara penyiksaan, sebagaimana polisi menekan untuk mengambil keterangan. Kejahatan yang diakui tapi didapat karena paksaan bukanlah kebenaran.
Persisnya Foucault menyebut parrhesia: merupakan aktivitas lisan dimana seorang pembicara mengungkapkan hubungan pribadinya dengan kebenaran, dan kesediaan menanggung resiko hidupnya karena mengungkap kebenaran dan pengungkapan kebenaran itu sebagai kewajiban untuk membantu tatanan.
Kebenaran yang dibincangkan ini memang bertaut dengan kehidupan Yunani di masa itu. Kehidupan yang kala itu dimeriahkan oleh politisi, filosof, hingga orator. Ragam posisi yang bisa berbaur dalam diri seseorang yang ingin memberi pengaruh. Relevansi buku ini adalah memberi dasar-dasar argumentatif bagaimana kebenaran itu diterapkan. Melalui kisah Yunani buku ini menyajikan gambaran kehidupan Yunani saat itu.
Diajak kita untuk berada dalam lautan epik Yunani. Foucault mengkaji penggunaan kata parrhesia pada enam drama tragedi karya Euripides: Phoinisasai, Hippolytos, Bakkhai, Elektra, Ion dan Orestes. Kisah yang bagi pembaca mungkin ada yang asing tapi sebagian mungkin sudah mengenalnya. Di sana kebenaran berbeda-beda kedudukan dalam cerita.
Foucault akan mengajakmu memahami kisah Yunani yang kompleks, mengharukan tapi sekaligus membawa kita pada renungan atas kebenaran. Kalau kebenaran itu bisa dinyatakan dengan bebas jika kita tak terikat pada status sebagai budak. Menyatakan kebenaran itu butuh status sebagai manusia merdeka.
Melalui kisah tragedi Euripides juga terdapat cerita tentang kebenaran yang dikaitkan dengan kehormatan, reputasi yang baik bagi diri sendiri atau keluarga. Kalau kebenaran tak mungkin dinyatakan oleh pribadi yang menyimpan cacat atau cemar, kebenaran pantasnya dinyatakan oleh orang yang berintegritas.
Tak hanya itu, kebenaran yang dinyatakan juga butuh jaminan untuk dilindungi. Terutama jika yang mengatakanya hanya orang kecil yang tak ada posisi. ‘Kontrak parrhesiastik’ diberikan pada warga yang jujur, patriotik dan ini merupakan hak istimewa pada kalangan warga polis.
Ion adalah drama parrhesiastik. Cerita tentang nasib seorang anak yang dulu ditinggal ibunya kemudian dicari. Sang ibu memohon pada dewa untuk beri petunjuk di mana anak itu. Dewa diam kemudian manusia musti dengan susah payah mendaki kebenaran. Sang dewa yang dulu merayu ibu sang anak kini berdiam diri ketika diminta menjawab tentang anak muda bernama Ion.
Tiap kisah yang dikutip dari Athena ini juga menguji pertanyaan utama mengenai kebebasan. Kebebasan untuk menyatakan kebenaran atau kebebasan untuk menyatakan apa saja. Kebebasan mengatakan apapun diistilahkan athuroglossos: merujuk pada orang yang berlidah tapi tak berpintu. Orang ini tak bisa menutup mulutnya.
Orang cerewet akan selalu muncul dalam suasana demokrasi. Peredaran hoax yang kini meluap di media sosial adalah cermin dari kebebasan yang sulit membedakan mana yang patut dan tak patut untuk dikatakan. Dalam istilah kaum Yunani orang ini raksasa kekasaran, keangkuhan yang berlebihan.
Pribadi macam ini menang karena kemampuan menimbulkan kegaduhan. Tidak kuat nalar tapi memercikkan emosi. Karena melalui suara yang kuat dan keras maka lebih menampilkan ‘kedunguan’. Tak menyimpan keagungan moral maupun intelektual.
Penumpang gelap semacam itulah yang menimbulkan perdebatan tentang peran parrehesiastik manusianya: siapa yang berhak menggunakan parrhesia? Apakah cukup dinyatakan bahwa parrhesia adalah hak sipil yang sembarang warga dapat menggunakanya ketika ia menghendakinya? Ataukah parrhesia diberikan kepada warga seturut status sosial atau keutamaan pribadi?
Pertanyaan kunci lainya adalah krisis fungsi parrhesia dengan mathesis, pengetahuan dan pendidikan-tak cukup hanya dengan keberanian tapi pendidikan, karena keberanian semata bisa menampilkan kedunguan. Itulah yang sesungguhnya menarik dan aktual saat ini ketika kita harus memahami dan mengelola kebebasan.
Michel Foucault membongkar krisis lembaga demokrasi di Athena pada abad keempat SM dengan melacak tulisan para sophis pada masa itu. Muncul tulisan Oligarkh Tua yang menyindir demokrasi sebagai mayoritas dungu yang harus diikuti karena jumlahnya. Bahkan sebuah tulisan pada masa itu seperti memotret hidup politik hari ini.
Rakyat Athena ternyata suka sekali menyimak orator dungu ketimbang pembicara yang baik. Foucault menyatakan orator buruk lebih diterima karena mengatakan apa yang ingin didengarkan rakyat. Isokrates menyebut pembicara ini sebagai ‘penjilat’ sedang orator jujur memiliki peran pedagogis dan kritis. Hanya yang bahaya adalah ketika kebebasan itu jadi membuat semua orang bisa seenaknya.
Naskah yang membahas tentang Sokrates menarik karena baginya yang bahaya dari parrhesia bukan karena ia membuahkan keputusan-keputusan yang buruk dalam pemerintahan, atau menyediakan sarana bagi yang dungu atau korup dalam pemerintahan: bahaya utama kebebasan dan berbicara bebas dalam demokrasi adalah hasil yang timbul manakala setiap orang punya cara hidupnya sendiri, gaya hidupnya sendiri.
Buku ini secara argumentatif memberikan kita gambaran kontradiktif dari demokrasi. Kebebasan nyatanya menyimpan bahaya ganda: baik pada pelakunya maupun cara bernalarnya. Maka kebenaran yang sejati tak lagi diukur dari besarnya dukungan pada apa yang dikatakan tapi kesesuaian antara yang dinyatakan dengan yang diperbuat.
Argumen moralistik ini bukan berdasar pada dogma tapi pengujian rasional. Foucault secara meyakinkan mengajak pendengar untuk menjangkau perdebatan di lingkungan kaum sofis mengenai kebenaran. Di sana kita akan ketemu dengan berbagai kalangan yang berani menyatakan kebenaran meski itu bertentangan dengan penguasa.
Jika demikian, kebenaran selalu menyimpan potensi pada sisi penalaran dan kegunaan. Sisi potensi akan menggali kebenaran pada usaha mengoptimalkan nalar, sedang pada kegunaan kebenaran bisa memperbaharui masyarakat. Kebenaran pada kenyataanya tak selalu beranjak dari keyakinan keagamaan karena nalar bisa ikut meruncingkan kekuatan kebenaran.
Inilah sajian kuliah kebenaran yang berada dalam dataran sekuler yang membuat kita semua bisa terpesona dan bersyukur karena masih diberi akal untuk memahaminya. Sungguh sebuah kuliah yang penuh inspirasi.