Pelurumu itu
Juga hampir membunuhku
Menumbuhkan pohon-pohon nyaliku
Anakmu yang dulu kemayu
Menjadi bunga yang tak mudah layu
(Puisi Dalam Judul ‘Kau Berhasil Jadi Peluru’)
***
Saya sebenarnya kurang begitu paham tentang analisis sastra. Karena memang tafsir atas sastra itu sangat universal. Tiap orang bahkan berbeda cara menarik tafsirannya. Dan yang paling tahu makna serta arti yang sesungguhnya dari sebuah karya sastra ialah sang penulisnya sendiri. Ini yang kemudian mengapa bagi saya sastra itu tak lebih sebagai sebuah karya yang sangat egoistik. Ya, itulah sastra. Mungkin ada yang fiksi dan ada juga yang non fiksi. Ada yang berkelindan keindahan kata-kata tapi ada juga yang jujur apa adanya sebagai penggambaran jiwa.
Tapi bahwasanya dalam sastra itu tercurah berbagai rasa, hal tersebut sangat dimungkinkan terjadi. Seperti perasaan marah, benci, kecewa, rindu dan lain-lain. Kalau kita membaca Sapardi Djoko Damono misalnya, kita akan menemukan ungkapan kerinduan dalam berbagai puisinya; aku ingin mencintaimu dengan sederhana/dengan kata yang tak sempat diucapkan/kayu kepada api yang menjadikannya abu/. Begitu juga kalau kita membaca puisi Wiji Thukul, kita akan melihat sederet amarah dan kebencian berkumpul menjadi satu dan tertumpah ruah di dalam bait-baitnya. Ia dengan lantang menyerang rezim yang lalim dan diktator dengan kata-kata. Tak ketinggalan ia memaki-maki penguasa dengan sederet ancaman-ancamannya yang dilarikkannya dalam bait-bait puisi perlawanan. Puisi yang kemudian menjelma menjadi senjata ampuh untuk menembus batas-batas kaku dari dinding-dinding kekuasaan yang selama ini terlalu mustahil untuk dibicarakan. Dan Wiji Thukul, yang hanya tamatan SD, berhasil menghujamkan senjata tersebut dengan begitu tajam dan ganas; apabila usul ditolak tanpa ditimbang/suara dibungkam kritik dilarang tanpa alasan/dituduh subversif dan mengganggu keamanan/maka hanya ada satu kata: lawan!. Dan itu benar-benar mengoyak-oyak kekuasaan yang 32 tahun berdiri pongah. Tak ayal Soeharto menjadi gusar, marah, limbung seperti orang mabuk dan kemudian bertekuk lutut meletakkan jabatan sebagai presiden. Meski hal tersebut harus dibayar dengan segenap jiwa dan raganya dari Wiji Thukul yang tak bisa ditemukan keberadaannya sampai hari ini.
Puisi ‘Kau Berhasil Jadi Peluru’ yang ditulis oleh Fitri Nganthi Wani, seakan menebalkan kembali ingatan kita pada sosok Wiji Thukul. Tidak hanya karena mereka dua terhubung sebagai anak dan bapak. Tapi karena nafas dan semangat perlawanan itu masih ada dan terus terpelihara. Dan penulis tidak hanya mewarisinya secara biologis semata tetapi juga mengikuti jejak sang bapak sebagai kuli sastra dalam jagad tanah air. Cuma mungkin berbeda dengan sang bapak yang karya-karya merupakan tempahan alami yang keras di zaman kediktatoran orde baru, sementara penulis hidup dalam era milenial seperti sekarang ini. ‘Kau Berhasil Jadi Peluru’ jelas menggambarkan bahwa apa yang dilakukan penulis karena terinspirasi dari sang bapak yang memang seniman, penyair cum pejuang HAM.
Puisi-puisi dalam buku ini merupakan kumpulan rasa yang menjadi satu. Disini ada kemarahan, ada perlawanan dan ada juga kerinduan. Ada kemarahan dan kebencian pada rezim yang sengaja menghilangkan bagian hidupnya. Dan juga kepada rezim-rezim berikutnya yang tidak tuntas mencari kebenaran dan keadilan atas kasus tersebut. Hal itu diungkapnya dalam bait; Kali ini/Rentenir lebih mulia/Daripada harga diri seorang presiden/Persetan dengan segudang prioritas lain! – (Aku Rangkaian Bait yang Tak Pernah Diam).
Beberapa judul puisi dalam kumpulan tersebut juga menyiratkan perlawanan. Meskipun tidak secara langsung tetapi hadir seperti slilit atas sebuah rezim yang seolah-olah enggan menuntaskan peristiwa yang ada. Diantaranya tergambarkan dalam bait; Aku rangkaian bait yang tak pernah diam/Lahir dari rahim pertiwi yang diperkosa Suharto/Mulutku sumpah serapah untuk Orde Baru/Karena aku bayi yang belajar berjalan sendiri – (Aku Rangkaian Bait yang Tak Pernah Diam). Dan masih banyak lagi seperti ‘Bekas Luka Berkabar’, ‘Diatas Putih Merahku Menyala’, ‘Kehilanganmu Adalah Pelajaran’, ‘Padamu yang Direnggut Dari Masa Kecilku’, dan lain-lain.
Disini, kumpulan puisi ini seolah menjadi pengingat atas peristiwa kelam yang pernah terjadi. Ia menjelma menjadi suara lirih yang terus mencari keadilan atas tragedi kemanusiaan dan peristiwa penghilangan orang secara paksa. Tidak hanya yang dialami penulis, tetapi juga seluruh orang yang anggota keluarganya menjadi korban dari tragedi tersebut, yang tidak ada kabar dan tak pernah kembali sampai hari ini. Bahkan jasadnya pun tidak tahu ada dimana. Kumpulan puisi ini seperti monumen peringatan bagi mereka yang telah berjuang dengan gagah berani melawan kekuasaan meskipun harus dibayar mahal dengan mengorbankan dirinya sendiri. Sekaligus peringatan kepada negara bahwa masih ada PR yang mendesak untuk dituntaskan segera kalau bangsa dan negara ini mau dihormati sebagai bangsa yang bermartabat. Bapak harus tahu/Sebesar apa cintamu/Seperti besar cintanya/Pada negara yang durhaka – (Aku Ingin Pencitraan tapi Puisiku Tidak).
Disisi yang lain, kita diajak untuk melihat dan merasakan perih dan pahitnya rasa rindu yang harus dilalui penulis beserta keluarga yang ditinggalkan. Rasa rindu pada sosok bapak, suami dan tempat berbagi keluh kesah. Terutama bagi penulis yang sempat mengenal dan berinteraksi langsung meski hanya sebentar. Karena setelah itu, pasca tumbuhnya badai perlawan menentang rezim orde baru, sosok tersebut hilang entah kemana. Sampai hari ini tidak tahu rimbanya. Ada yang berprasangka masih hidup. Tapi ada juga yang mengatakan kalau sosok tersebut sudah tiada. Hal itu diumbar penulis dengan lugas dan apa adanya. Tiga hari telah berlalu/sejak wafatmu/namun tanyamu bertahun lalu/waktu terakhir kita bertemu/masih nyaring buatku termangu/’Wiji ketemu?’ – (Terkenang Simbah). …./aku dewasa karena terbiasa terluka/karena terbiasa digempur ingatan yang diseru-serukan/ingatan tentang dirimu/ingatan tentang tindakanmu di masa lalu/yang memang layak untuk abadi/seperti halnya kata-katamu/yang tak lekang oleh waktu – (Babak Baru).
Dititik ini, kumpulan puisi ‘Kau Berhasil Jadi Peluru’ memang mirip seperti memoar atau kenangan. Sakit memang. Tentu banyak kerinduan mendalam yang getir yang harus terkenang. Semua harus dilalui dengan kuat dan tabah. Tapi penulis ingin mengatakan bahwa sebenarnya hal itu bukanlah ‘hilang’. Melainkan ‘pulang’. Dan penulis berusaha berbesar dengan itu. Seperti yang disampaikan pada bait ‘Sebuah Pulang’; Aku hanya menulis/Dan kata-kata itu keluar sendiri/Kalimat-kalimatku bukanlah senjata/Puisi-puisiku bukanlah pelarian/Menulis adalah pulang.
Dan penulis sudah berhasil pulang. Ia telah menemukan jalan untuk berkumpul kembali dan berada disisi sosok yang dirindukan sekaligus dibanggakan melalui karya-karya yang dibuatnya hari ini. Dan ia telah menemukan rumahnya dengan menulis kumpulan puisi ini.
Semoga kedepan makin banyak yang bisa menemukan jalan pulang.
***
Judul Buku; Kumpulan Puisi Kau Berhasil Jadi Peluru – Penulis; Fitri Nganthi Wani – Terbitan; Warning Books – Tahun Terbit; Cetakan Pertama, Mei 2018