Ilmu adalah apa yang bermanfaat bukan apa yang dihafal (Imam Syafii)
Bukan kesadaran manusia yang menentukan keadaan mereka, tetapi sebaliknya keadaan sosial merekalah yang menentukan kesadaran mereka (Karl Marx)
***
Mingguan Tempo disusul Kompas mulai melihat gejala bahaya. Radikalisme agama yang telah meyentuh kehidupan kampus. Tempat yang harusnya sekuler kini dikuasai oleh paham agama yang bahaya. Paham yang menjangkiti tak hanya mahasiswa tapi dosenya.
Kompas mengutip survei BIN tahun 2017 yang menyatakan 39% mahasiswa dari perguruan tinggi terpapar radikalisme. Dari data itu 24% mahasiswa setuju menegakkan negara melalui jihad. Disusul peristiwa penangkapan tiga alumnus Universitas Riau di kampusnya oleh Densus 88.
Rasa genting itu yang melecut kampus untuk berlomba membuat deklarasi. Tercatat pada 16 Juni 2017 29 Rektor PTN yang tergabung dalam konsorsium PTN se-Kawasan Timur Indonesia menyatakan sikap memegang teguh empat pilar kebangsaan. Sambil menolak radikalisme agama.
Lalu 6 Juli 2017 Deklarasi antiradikalisme bertema ‘Deklarasi dari Surabaya untuk Indonesia’ yang ditanda-tangani 300 Rektor dan perwakilan mahasiswa negeri dan swasta se-Jatim. 26 September 2017 Presiden Jakowi di Nusa Dua mengingatkan kampus pada bahaya radikalisme pada pertemuan Pimpinan Perguruan Tinggi se-Indonesia.
Sampai-sampai pada 29 Mei 2018 kepala staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan Rektor Perguruan Tinggi bakal dicopot jika tidak mampu menghentikan penyebaran radikalisme di Kampus. Ancaman ini tentu membuat para Rektor musti siaga karena pertaruhanya adalah jabatan mereka.
Wajar jika banyak kampus kemudian minta bantuan aparat. Mengawasi kegiatan mahasiswa yang punya potensi radikal. Inteljen hingga BNPT peranya dibuka oleh kampus. Tugas utamanya mengawasi kegiatan mahasiswa yang bisa mengarah pada ancaman stabilitas.
Walau tesis ini merupakan temuan riset-yang perlu diperdebatkan- tapi langkah pencegahan merupakan inisiatif pejabat kampus. Setidaknya para petinggi kampus percaya kalau pendekatan keamanan itu lebih manjur. Melawan radikalisme yang dipicu oleh pemahaman doktriner agama.
Kita kemudian mencurigai kata ‘radikal’ itu begitu rupa. Seakan yang radikal itu bahaya dan kemudian harus ditangkap secepatnya. Inflasi kata radikal apalagi kemudian disandarkan pada kampus jadi sesuatu yang bawa petaka.
Kalau menengok sejenak ke belakang kampus memang dari dulu dihuni oleh kaum muda radikal. Mereka yang mencoba mempertanyakan sistem politik bahkan ingin mengubahnya. Kejatuhan Soeharto didasarkan oleh tuntutan anak-anak muda yang radikal.
Radikal dalam arti sederhana ingin mengubah sistem, keadaan dan kondisi. Secara subyektif kata itu dilekatkan pada pribadi yang ingin mengubah sejarah. Seluruh pejuang kemanusiaan bisa disebut sebagai radikal. Cobalah sejenak melihat peristiwa reformasi 98.
Kalau dibaca pada konteks saat itu amanah reformasi merupakan misi bahaya. Ingin pencabutan Dwi Fungsi ABRI hingga minta dicopotnya Soeharto dari tahtanya. Jejak tuntutan itu yang mengantarkan sejumlah mahasiswa hilang, diculik dan kemudian di penjara. Beberapa terbunuh dalam aksi.
Mereka adalah kawanan radikal. Tapi karena tindakan mereka itulah, situasi demokrasi ini bisa kita nikmati. Jika kemudian muncul kelompok radikal yang tak hanya ingin ubah keadaan tapi juga ciptakan keadaan yang serupa dengan surga maka pertanyaanya apa yang sedang berlangsung di kampus sebenarnya?
Hingga pada Simposium Nasional Lembaga Dakwah Kampus 2016 di IPB pesertanya mengucapkan sumpah mendukung syariat Islam. Mengapa kampus IPB bukan memihak pada hidup petani yang digusur sawahnya tapi memilih dukung Syariah? Ada apa dengan kampus kita pasca reformasi ini?
Kita perlu memulai dari kejatuhan Soeharto:
Usai kejatuhan Soeharto kampus begitu merdeka. Secara antusias kampus mulai membenahi managemen dengan penerapan otonomi. Sistem yang mendorong kampus untuk melihat mahasiswa sebagai pasar konsumen yang potensial. Pintu masuk dibuka lebar untuk yang punya biaya.
Negara meletakkan kampus sebagai sektor jasa. Subsidi pada kampus mulai berkurang. Ditetapkan sebagai Badan Hukum membuat kampus secara administratif bisa berlaga mencari laba. Terutama kampus negeri yang dulu jadi tempat yang majemuk kini kian homogen. Komersialisasi penyebabnya!
Komersialisasi itu melanda hampir semua kampus. Kritik atasnya berkali-kali digemakan tapi tak banyak berpengaruh. Padahal ada resiko kultural yang harus dihadapi ketika kampus tidak mengembangkan akses bagi kelas sosial siapa saja. Kampus kian homogen dengan tuntutan seragam.
Penyeragaman itu muncul dalam tiga manifestasi yang menonjol: unit kegiatan kemahasiswaan diorientasikan pada prestasi, perluasan fungsi dosen bukan sebagai intelektual tapi juga politisi dan kompetisi kampus untuk merias bangunan fisiknya dengan megah.
Rangkaian pembaharuan sistem ini membawa soal yang tak disangka. Alienasi mulai meluas di lingkungan mahasiswa yang merasakan kampus bukan tempat untuk belajar, tapi juga teror. Teror atas gaya hidup, tekanan untuk berprestasi dan disiplin yang buta. Kampus sudah mirip barak serdadu.
Kebebasan akademik berkurang drastis karena diskusi kritis tak mendapat dukungan. Mudah sekali kampus dijajah oleh milisi yang tak setuju dengan acara kampus. Ruang sekuler yang kapitalistik membuat mahasiswa mengalami keterasingan. Konservatisme agama menyelinap masuk.
Konservatisme agama ini menawarkan harapan palsu tapi proposal perubahanya amat meyakinkan. Selalu didahului oleh kekecewaan atas sistem yang ada. Entah itu demokrasi, aparat pemerintah hingga program pembangunan. Semua itu menimbulkan kecewa, amarah dan terdorong untuk mendirikan sistem alternatif.
Terlebih jejaring sosial yang mudah bagi kelompok konservatif meraih dukungan massa. Pada situasi yang paceklik gagasan maka kampus secara liar jadi tempat untuk menanam ide-ide bahaya. Ide-ide itu subur didapatkan karena memang tak ada lawan tanding yang setara.
Eksitensi gerakan kiri mulai meredup. Dilucuti begitu rupa karena dianggap menganggu stabilitas kampus. Pipa kekuatan gerakan mahasiswa malah dikooptasi oleh partai politik yang menciptakan kader-kader oppurtunis. Suasana politik yang menjemukan menciptakan kerinduan akan datangnya mesianis gerakan.
Pada suasana itulah datanglah gerakan agama yang berpaham konservatif.
Gagasan konservatif itu memenuhi kebutuhan penting mahasiswa: pertama identitas yang selama ini ditanam oleh kampus dengan idiom kaum muda yang siap lulus kemudian bekerja. Tiap kali training wirausaha dan motivasi didorong untuk menuju citra diri mahasiswa yang prestasi, mapan dan punya masa depan gemilang.
Yang kita tahu tak semua mahasiswa mampu mencapai itu semua. Pandangan konservatif berhasil meraih dukungan pada mereka yang tak ingin menjadi seperti itu. Mulailah petualangan muncul dengan mengajak mereka untuk terlibat dalam proyek keagamaan alternatif: mungkin mendirikan sistem alternatif atau memuja sistem yang dulu dianggap digdaya.
Petualangan ini memenuhi hasrat anak muda menemukan heroismenya. Sebab kampus tak banyak mengajak mahasiswa untuk bertemu dengan masalah sosial. Tuntutan untuk kuliah serta ruang kelas yang tak banyak debat mengkikis bangunan kesadaran kritis mahasiswa. Saat petualangan dijanjikan maka langkah terakhir adalah meneguhkan citra bukan lagi sebagai mahasiswa.
Tapi pejuang agama yang bakal mendapat imbalan di alam baka. Karakter mahasiswa sebagai agen perubahan sosial, pendobrak sistem yang jumud hingga intelektual organik mulai meluntur. Jati dirinya sebagai pejuang agama tak memberi ruang alternatif bagi pikiran yang berbeda.
Situasi tercemar ini berlangsung begitu lama karena banyak faktor. Secara internal lingkungan kampus mengalami suasana ‘agamis’ yang beriringan dengan ‘keringnya’ budaya intelektual. Produksi gagasan dari pengajar yang minim serta kesibukan berburu proyek atau jadi bagian kekuasaan menciptakan iklim hedonistik di banyak kampus negeri.
Diksriminasi yang mudah meletup, kompetisi gaya hidup hingga perburuan posisi struktural membuat kampus kehilangan budaya intelektual. Terjadilah defisit ide-ide alternatif, kian berkurang dosen yang cakap mengartikulasikan gagasan menawan dan mulai jenuh pada suasana pembelajaran yang monoton.
Lebih-lebih sejak Orba hingga reformasi gagasan kiri tak banyak bersemai dan hidup di kampus. Stigma kalau kiri itu komunis dan PKI menciptakan aura yang seram. Sehingga konservatisme jadi pilihan karena itu dianggap yang aman dan tidak menentang praktek komersialisasi kampus.
Tak berlebihan jika sejumlah dosen malah terlibat aktif di dalamnya. Mereka yang ketika menjadi pengajar hanya bermodal kemampuan akademis dan tak banyak mengalami petualangan pengetahuan. Sisi konservatisme itulah yang bangkit serta membentuk tradisi keyakinan yang berbahaya.
Kini pemerintah bersama kampus mau mengatasi itu semua dengan cara apa? Pendekatan keamanan dilakukan jika memang ada tindak pidana, tapi tak semua kegiatan kritis lalu diidentifikasi sebagai bahaya. Karena kampus berdiri sebagai altar pengetahuan yang membebaskan ide apa saja diperdebatkan.
Yang realistis adalah menghidupkan tradisi kritis di kampus dengan mendorong mahasiswa untuk mengembangkan organisasi kemahasiswaan secara sehat. Kampus waktunya mendukung kebebasan pers mahasiswa, membiarkan wacana kiri subur serta mendukung keberpihakan mahasiswa pada kasus-kasus keadilan.
Biarkan debat terus dibuka di ruang-ruang kampus sehingga mahasiswa terlatih untuk: berargumentasi, mengembangkan logika hingga menyatakan sesuatu berdasar referensi. Kita butuh aura pengetahuan dimana akal sehat dirayakan sehingga mampu mendorong terciptanya produksi pengetahuan.
Waktunya kampus untuk melakukan evaluasi total atas suasana akademik yang berlangsung selama ini. Praktek kedisiplinan buta hingga tak adanya diskusi yang bermutu akan membuat kampus jadi sarang para penyamun akal sehat.
Paras budaya intelektual bukan sekedar nilai akreditasi tapi bagaimana membentuk kesadaran kritis para mahasiswa untuk mencurigai gejala apapun yang menghina kesadaran apalagi mengabaikan keragaman.
Dosen, kebijakan hingga lingkungan kampus musti berada dalam ruang yang mencerminkan pengetahuan. Datangkan para pemuka pengetahuan serta dorong mahasiswa untuk mencintai pengetahuan dengan bergulat di masyarakat sembari dibimbing oleh teori perubahan sosial yang alternatif.
Ingatlah perisai kampus bukan aparat keamanan apalagi badan inteljen segala tapi mahasiswa yang memang penghuni sah di kampus serta pemegang kedaulatan yang sebenarnya. Waktunya pemerintah sadar kita butuh pikiran radikal di kampus, bukan untuk membongkar bangunan demokrasi, tapi mempertahankan sistem itu bagi kemajuan peradaban dan keadilan bagi rakyat yang memperjuangkannya.
Sekian.