Manusia ‘Bartleby’ dan Alienasi Bertubi

Oleh; Nalar Naluri (Pegiat Social Movement Institute)

 

“Entah dunia itu terbuat dari materi, roh, atau keju hijau bukanlah persoalan yang bikin Marx susah tidur” — Terry Eagleton

“Urusan Marx bukan apakah semesta raya tersusun atas materi atau roh, tetapi lebih pada hakikat terdasar dari realitas yang oleh para antropolog disebut sebagai ‘masyarakat manusia’” — Dede Mulyanto

 ***

Barangkali, kisah Bartleby Si Juru Tulis adalah novel yang begitu menggugah sekaligus sebagai kado muram Herman Melville kepada umat manusia. Ini kisah tentang pekerja teralienasi, berlatar kompleks bursa kapital Wall Street. Karya ini telah dibungkus rapih dengan prosa mengalir luhur, gemas, dan sedih. Diterbitkan pertama kali pada tahun 1856, yang sepertinya baru saat ini terasa kejutannya dengan mebuat mata terbelalak, “Oh ternyata, kapitalisme itu sangat jahat!”

Bartleby, pemuda juru tulis terhempas dalam pusara yang tak memihak. Senyum, salam, sapa adalah salah satu standar perusahaan yang absurd. Dirinya bukannya tak memiliki itu semua. Hanya saja, ada sederet alasan kompleks yang memaksanya agar tak mengeluarkan beragam ekspresi tersebut. Toh pada akhirnya perusahaan akan tetap menyingkirkan beragam perkakas perasaan manusia lainya.

Kesedihan, kejenuhan, marah, bahkan protes bukan iming-iming yang diharapkan oleh perusahaan atau si pak bos. Tugas ini hanya akan mampu dilakoni manusia terhadap Tuhanya (konsep kapitalisme lainya) bukan antara pekerja dan majikan. Sungguh, situasi yang rumit dalam diri manusia ibarat menerima kebahagian pada satu sisi, di sisi lain menolak kesedihan. Dua kutub psikologis yang saling tarik-menarik, sebuah kepastian yang tertambat pada semua insan. Dan keniscayaan pelik yang tertanam sejak manusia kali pertama menjadi orok. Lagi- lagi perosalan apakah perusahaan atau pak bos juga mengakui, sepertinya akan menjadi urusan lain.

Perusahaan itu bagai hukum rimba di pelataran neraka jahanam. Pekerja bak disambut karpet aturan dan hukuman menyeringai, kadang bahkan disusun di luar sikap manusiawi: yang kuat akan bertahan dan yang lemah akan binasa. Bartleby menganggap pekerjaan menulis dan menyalin dokumen hukum adalah kewajibannya sebagai buruh. Selebihnya, senyum, salam, sapa bukanlah urusanya.

Namun, bagi perusahaan itu bukan solusi baik bagi devisa. Seperti yang akan terjadi, sikap penolakanya itu akan dianggap aneh, sehingga mengantarnya pada kesedihan yang tak bertepi. Bukan hanya supermarket, swalayan, maupun perbankan yang menggunakan standar palsu untuk memancing pelanggan berjubel demi meraup keuntungan berlipat bagi perusahaan.

Kantor pencatatan hukum yang didiami Bartleby adalah kenyataan pahit yang telah lama ada. Mungkinkah Herman Melville telah memprediksi jauh-jauh hari tentang nasib buruh kerah putih ke depanya (hari ini)? Kepekaan manusia bisa diuji ketika manusia dipertemukan dengan piranti konsep manusia itu sendiri. Sebagai contoh, bagaimana sikap manusiawi kita memerlakukan membludaknya ‘bonus demografi’ yang didominasi oleh para pemuda penganggur (teralienasi) yang telah mengantri panjang dalam panggangan kapitalisme? (Rujukan tambahan, baca karya Muhtar Habibi ‘Surplus Pekerja di Kapitalisme Pinggiran’). Pada esensinya, semua tentang pertentangan kelas. Sejarah manusia adalah sejarah perang kelas. Kehidupan sosial pun bila diorat-oret secara kasar akan diperoleh dua kategori meruncing. Engkau yang berposisi sebagai buruh atau engkau yang berposisi sebagai majikan.

Bartleby adalah buruh teralienasi berkerah putih yang nasibnya tak sebening kita kira. Hanya karena dirinya berperawakan dingin dan pelit bicara penuh makna, kapitalisme menganggapnya adalah manusia yang tak produktif secara mental, mesin rusak dalam nilai lebih. Ini bukan pilihan hidup. Tapi kejamnya sebuah sistem, yang telah merengut jiwa manusia, sampai-sampai si manusia bisa melupakan ada manusia lain selain dirinya, ada beragam perasaan manusia selain senyum, salam, dan sapa yang palsu.

Novel pendek ini seperti mengilustraikan syarat-syarat memasuki dunia kerja yang kian kompetitif dan kadang sungguh tak manusiawi. Pekerja dituntut harus siap bila tiba-tiba dirinya akan dipecat atau PHK sepihak tanpa alasan yang terang, atau bahkan hanya karena engkau berperanggai susah senyum atau sedikit berkata. Kondisi keji ini belum termasuk bagi pekerja disabilitas yang sudah pasti akan mendapatkan pelototan nyelekit!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0