Tentang Mesir Kuno dan Obsesi Manusia akan Status Quo

 

Averio Nadhirianto – [Mahasiswa Departemen Hubungan Internasional UGM]

***

Nasir Hamid Abu Zayd, pemikir Islam sekaligus sejarawan terkemuka asal Mesir, menyatakan bahwa dunia ini mengenal tiga peradaban adiluhung yang memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk sejarah manusia. Peradaban pertama adalah apa yang ia sebut sebagai “peradaban akal”  Yunani kuno yang menjadi awal dari lahirnya suatu “pemikiran filosofis” yang terstruktur. Kedua, “peradaban pasca-kematian” bangsa Mesir kuno, lalu terakhir adalah “peradaban teks” yang tumbuh di dataran Arab pada awal kelahiran Islam. Peradaban pasca-kematian Mesir kuno membangun piramida sebagai simbol kejayaan sekaligus ketinggian “peradaban pasca kematian” mereka (Very Verdiansyah, Islam Emansipatoris: Menafsir Agama untuk Praksis Pembebasan, P3M, 2004 hlm 83). Apa saja yang menjadi ciri khas peradaban tersebut? tentu kita bisa menyebutkan banyak pencapaian dan warisan peradaban yang diberikannya untuk dunia, salah satu diantaranya yaitu: rasa berahinya yang besar akan keter-aturan (baca: status quo).

Dalam pandangan-dunia (worldview) bangsa Mesir kuno, semua adaan (beings) yang ada di dunia ini (manusia, hewan, benda angkasa, pot bunga, hingga para dewa) ber-ada dengan terikat pada suatu prinsip keteraturan (principle of order) fundamental yang disebut ma’at. Kata ini sendiri tidak memiliki terjemahan definitif dan dalam bahasa kita lebih kurang dapat diartikan secara harfiah sebagai “dasar” atau “fondasi” (Norman Cohn, Cosmos, Chaos, and the World to Come: Ancient Origins of Apocalyptic Faith, Yale Nota Bene 1999 hlm 9), namun kata ini dapat dimaknai sebagai “keter-aturan” jika merujuk pada apa yang sesungguhnya dimaksud dari istilah itu, yaitu harmoni dan “order”.

Ialah yang mengatur segala aspek eksistensi di semesta Mesir Kuno. Singkatnya, apapun yang menunjukkan harmoni dan keteraturan merupakan manifestasi dari ma’at. Mulai hal sebesar dan sekompleks pergerakan teratur benda-benda kosmik, pergantian siang-malam, pergantian musim, cuaca, kemenangan perang melawan musuh, ditegakkannya keadilan hukum, dijalankannya ritual keagamaan, sikap jujur, hingga sapi yang melahirkan anaknya dengan selamat. Semua pharaoh (raja) yang memerintah di Mesir Kuno dari zaman ke zaman selalu menjadikan prinsip ma’at sebagai tujuan sekaligus sumber legitimasi kekuasaannya. Raja yang baik adalah “ia yang menjadi pengawal ma’at”.

Ternyata, prinsip ini juga dikenal di pelbagai peradaban lain dengan nama berbeda, dengan makna yang kurang lebih sama. Peradaban Mesopotamia mengenal kata kettu atau mesharu. Masyarakat India pada periode Weda (Vedic Indians) menggunakan istilah rita. Pengikut Zoroaster, pembawa agama yang pernah berkembang pesat di wilayah Iran pada zaman pra-Islam menyebut prinsip keteraturan fundamental ini sebagai asha. Semua penguasa dan rakyat peradaban-peradaban tersebut selalu berusaha memegang teguh prinsip tersebut dengan tujuan menghindarkan dunia dari kekacauan. Prinsip-prinsip ini kemudian mengalami personifikasi sehingga untuk peradaban Mesir Kuno, ma’at digambarkan sebagai dewi yang menjaga keteraturan alam raya dari ancaman kaos. Jadi, ma’at eksis sebagai persona dan ide.

Ya, kaos, kalibut, atau “kekacauan”. Kekacauan  seperti apa? Tentu saja kekacauan yang mengancam semua bentuk keter-aturan tadi, misal perang, wabah penyakit, bencana alam, perilaku korup, orang asing, dan tentu saja pemberontakan. Kita bisa menyebut “Keteraturan” dan “Kekacauan” sebagai oposisi biner paling primordial yang diciptakan mendahului semuanya. Terang-gelap; dingin-panas; elektron-positron; materi-antimateri; perempuan-lelaki;. Kiranya eksistensi oposisi biner dari semua hal yang ada di alam raya ini memang sudah menjadi hukum absolut dari Sang Maha Ada. Maka, jika prinsip keter-aturan eksis, begitu juga dengan prinsip atau hukum kekacauan, “kekuatan yang mengacau”. Masyarakat Mesir menamakannya isfet. Penganut Zoroastrianisme memerangi druj sebagai lawan dari asha. Anrita sebagai musuh abadi rita bagi masyarakat India Weda. Istilah-istilah ini merujuk pada semua kekuatan yang menentang dan mengancam keter-aturan dunia.

Keteraturan atau Status Quo?

Penting untuk dipahami, bahwa kehidupan orang Mesir kuno saat itu sangat bergantung pada sungai Nil. Peradaban mereka dibangun disekitar sungai tersebut. Sebagian besar fitur geografis yang mendominasi gurun pasir mahaluas dengan curah hujan minim yang tidak sanggup menghidupi kegiatan pertanian rakyat. Kegiatan agrikultur kemudian hanya bisa dilakukan di kedua sisi pinggiran sungai Nil yang sempit itu. Menurut Norman Cohn, orang Mesir kuno merasa begitu takjub dengan kontras tajam yang ditimbulkan antara “Negeri Hitam” yang mereka tinggali—peradaban pinggir sungai yang mengambil namanya dari lumpur hitam yang ada di dasar sungai—dengan “Negeri Merah”—gurun luas yang begitu panas dan mematikan yang mengelilingi mereka (Norman Cohn, Ibid.). Jadi, pembedaan yang dibuat orang Mesir kuno antara keduanya muncul dari fitur geografis, mereka serasa berada di “satu pulau keteraturan kecil” yang dikelilingi oleh kaos.

Selain itu, tingkat teknologi mereka belum mengizinkan adanya pembangunan dam canggih seperti sekarang yang mampu mengontrol volume aliran sungai. Jadi, sungai Nil senantiasa berada dalam kondisi yang tidak dapat diprediksi: dalam satu waktu, ia bisa meluap hebat, namun di waktu lain ia dapat menyusut kering secara tiba-tiba. Konsekuensi dari terjadinya dua hal ini sama saja bagi orang Mesir kuno: hancurnya pertanian yang pada akhirnya berakibat pada kelaparan, dan kelaparan berarti kematian. Ketidakpastian dan ketidakberdayaan yang ditimbulkan dari situasi ini sebagaimana dijelaskan Cohn, sangat berpengaruh dalam memberikan impresi dan keyakinan mendalam tentang “dunia yang senantiasa dibayangi oleh kekacauan dan kematian” bagi mereka.

Situasi tersebut membuat harga yang harus dibayar untuk mempertahankan ma’at adalah kewaspadaan senantiasa, semua dituntut memiliki sikap awas yang abadi. Pada perkembangannya, sikap konservatisme berkembang kuat dan menjadi karakter khas orang Mesir kuno dalam menjalankan roda pemerintahan negara. Sikap ketakutan terhadap setiap kemungkinan perubahan yang mengancam keteraturan akhirnya bertransformasi menjadi pelanggengan tatanan sosial yang hanya menguntungkan segelintir kelompok elit. Jadi, ma’at tidak lagi memiliki arti “keteraturan untuk semua”, melainkan hanya “keteraturan bagi sebagian” alias status quo. Cohn menyatakan: “orang-orang ini benar-benar konservatis tulen dalam arti yang sebenarnya, satu-satunya yang menjadi perhatian utama mereka adalah untuk melanggengkan semua tatanan yang ada” (Norman Cohn, Ibid). Siapa kelompok elit yang menjadi motor pelanggengan ini? Tidak mengejutkan apabila kita sebut para agamawan dan teolog yang merangkap menjadi propagandis politik kerajaan. Mereka berperan penting dalam membentuk pandangan-dunia (worldview) masyarakat. Kita tentu bisa memahami mengapa mereka melakukannya, eksistensi para penjaga kuil-kuil besar ini sangatlah tergantung dukungan dari pihak kerajaan (royal patronage). Jadilah mereka agen-agen ideologis yang menjalankan “tugas suci” sebagai pengawal kestabilan monarki dari “semua kekuatan yang mengacau”.

Apa buktinya? Kita bisa tengok salah satu peninggalan literatur terbesar mereka yang berjudul “Ramalan-Ramalan Ipuwer” (Admonitions of Ipuwer) yang ditulis pada Periode Menengah Pertama (First Intermediate Period) dalam sejarah mereka (Periode Menengah Pertama (First Intermediate Period) merupakan era yang mewarisi kehancuran Periode Kerajaan Lama (Old Kingdom). Era ini berlangsung selama lebih kurang 125 tahun daru 2181 sampai 2055 SM dan menjadi periode paling penuh gejolak dalam sejarah Mesir Kuno karena dalam kurun waktu yang relatif singkat tersebut Mesir mengalami empat kali pergantian dinasti (Dinasti ke-7 hingga ke-11). Untuk periodisasi sejarah Mesir Kuno, lihat Ian Shaw, Ancient Egypt: A Very Short Introduction [Oxford: Oxford University Press, 2004]). Dalam karya yang berbentuk puisi tersebut, Ipuwer sang pujangga, meratapi kerusakan yang terjadi diakibatkan oleh kehancuran tatanan sosial tradisional, perang saudara, invasi orang asing, kelaparan, dengan kata-kata berikut:

Lo, great and small <say>, “I wish I were dead,” little children say, “He should not have made me live!”

Lo, children of nobles are dashed against walls, infants are put out on high ground.

Lo, those who were entombed are put on high ground, embalmers’ secrets are thrown away.

Lo, gone is what yesterday has seen, the land is left to its weakness like a cutting of flax.

Lo, the whole Delta cannot be seen (Ogden Goelet, Memphis and Thebes: Disaster and Renewal in Ancient Egyptian Consciousness, dalam The Classical World, Vol. 97, No. 1 (2003), hlm. 19-29)

Patut menjadi perhatian disini kalimat gone is what yesterday has seen, “telah hilang apa yang kemarin masih ada”. Ini benar-benar menunjukkan kehancuran orde sosial lama dan digantikan dengan tatanan baru. Ada inversi sosial yang mengubah lanskap sosial politik ekonomi secara radikal. Lebih lanjut, sang pujangga menambahkan:

See, he who had nothing is (now) a man of wealth (ia yang tadinya tak punya apa apa, kini menjadi hartawan), the nobleman sings his praise.

See, the poor of the land has become rich (kaum miskin negeri telah menjadi kaya raya), the man of property is a pauper (pemilik tanah menjadi kaum papa) (Ogden Goelet, Ibid).

Lo, the nobles lament, the poor rejoice. The man of rank can no longer be distinguished

from he who is a nobody. Noblewomen suffer like maidservants.

All female servants are free with their tongues. He who was a great man now

performs his own errands. He who could not make a sarcophagus for himself is now the possessor of a tomb.

Precious stones adorn the necks of maidservants, and men who used to wear fine linen are beaten (Glenn M. Schwartz dan John J. Nichols (ed.), After Collapse: The Regeneration of Complex Societies, The University of Arizona Press, 2006)

Dari bait tersebut dapat kita lihat Ramalan-Ramalan Ipuwer menempatkan kaum miskin papa pada posisi yang sama dengan para penyerbu asing, yaitu sebagai sumber kekacauan yang mengancam hegemoni kerajaan dan golongan elit dibawahnya. Cohn menarik kesimpulan bahwa literatur ini tidak lebih dari sekedar ungkapan keluhan dan kekhawatiran kelas elit akan potensi gangguan sosial yang mengancam privilese mereka. Para egiptologis pun bersepakat bahwa isi Ramalan-Ramalan Ipuwer tidaklah sepenuhnya merefleksikan kenyataan sejarah yang terjadi (Cohn, Ibid, hlm 20). Dengan kata lain, kita dapat menyebutnya sebagai salah satu karya propaganda politik tertua di dunia. Selain Ipuwer, kita juga bisa melihat teks lain seperti “Ramalan-Ramalan Neferti” (Prophecies of Neferti) yang berbicara dalam nada sama mengenai “disintegrasi sosial”, “terkikisnya hierarki tradisional” dan “kebahagiaan yang didapat kaum budak” (Cohn, Ibid). Kesemuanya ini merugikan golongan elit dan menghancurkan ma’at, tentu saja ma’at versi mereka.

Mencari Keteraturan Sejati

Pada akhirnya, tulisan ini ingin menunjukkan bagaimana sejatinya makna “keter-aturan” itu bisa dipelintir sesuka hati oleh penguasa menjadi sekedar “keter-aturan yang hanya menguntungkan sebagian golongan”. Sebuah “keter-aturan demi kekacauan”, bukan “keter-aturan demi keter-aturan itu sendiri”. Superprofit dan nilai lebih yang merupakan “keteraturan” bagi investor adalah neraka bagi ekologi dan lingkungan misalnya. Meningkatnya peringkat indeks kemudahan berbisnis (ease of doing business) negeri kita yang begitu menguntungkan pengusaha asing bisa jadi bumerang tersendiri lagi-lagi bagi lingkungan dan kaum pekerja kita. Dengan demikian, bukankah itu yang namanya “berkah bagiku, namun sengsara untukmu?”. Jadi, sekarang kita bisa pertanyakan, apakah kebijakan-kebijakan pemerintah selama ini yang memakai mantra “pembangunan”, “kemajuan”, “kesejahteraan”, dan “keter-aturan”, misal pelonggaran izin investasi, kredit pendidikan (student loan), pembangunan pabrik semen serta bandara baru, atau bahkan pelarangan penyebaran ajaran marxisme-leninisme memang benar ditujukan untuk kemaslahatan segenap umat? Atau justru hanya kemaslahatan korporat dan konglomerat?

Melalui tulisan ini penulis ingin mengajak kita untuk memahami betul-betul tugas mulia kita  mewujudkan keter-aturan sejati yang akan membuahkan kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, keadilan yang sebenar-benarnya keadilan, dan kebahagiaan yang sebenar-benarnya kebahagiaan untuk semua mahluk hidup di muka Bumi. Itu semua adalah konsekuensi yang telah disanggupi manusia sebagai wakil Tuhan yang mendapat “pendelegasian” sebagian daripada wewenangNya untuk menjadi sebaik-baiknya khalifah melawan segala bentuk pelanggengan penghisapan dan penindasan!.[]

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0