Luna Febriani – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Beberapa hari belakangan linimasa media sosial menampilkan tema yang seragam, yakni perempuan-perempuan memakai kebaya dengan quotes-quotes tentang perempuan yang sungguh memukau dan aduhai. Mungkin jika ditanya siapa itu Kartini, sebagian dari mereka akan menjawab Kartini adalah pahlawan perempuan Indonesia yang berawajah bulat dan menggunakan kebaya dan konde. Coba tanyakan tentang seperti apa perjuangan Kartini dalam pergerakannya, mungkin mereka akan menjawab “Cukup, jangan ditanyakan karena itu berat, aku tidak tahu dan tidak sanggup. Kamu aja yang jawab aku jangan!”. Makjleb banget kan?
Tidak dapat dipungkiri, fenomena seperti ini banyak terjadi di era industri budaya yang sedang terjadi sekarang ini. Menurut Theodor Adorno, era industri budaya menjadikan masayarakat kita sedang membangun imperium (kerajaan) citra. Salah satu ciri dari imperium citra ini adalah ketika individu lebih tertarik dalam membangun kesan dan citra ketimbang substansi atau intinya, dengan kata lain ketika bungkusan menjadi prioritas utama ketimbang isi. Inilah yang terjadi pada peringatan hari Kartini sekarang ini, dimana pada peringatan hari Kartini orang-orang lebih bangga dalam memparadekan kebaya dan konde ketimbang mendalami dan mengembangkan substansi dari Kartini, yakni pemikiran dan kesadaran kritisnya, bakat membaca dan menulis serta kemampuan untuk berbicaranya. Hal-hal inilah yang kemudian menjadikan Kartini mampu mendobrak dan membongkar struktur dan narasi besar yang selama ini tidak berpihak bahkan menindas kaum perempuan.
Peringatan hari Kartini yang hanya diisi dengan memparadekan simbol kebaya dan konde, lomba masak serta lomba fashion show ini secara tidak langsung akan mereduksi substansi hari Kartini dan justru akan mengembalikan perempuan ke era-era kegelapan sebelum perjuangan Kartini dimana perempuan hanya akan ditempatkan pada ranah domestik: masak-manak-macak atau sumur-dapur-kasur dan menafikan peran perempuan dalam ranah publik. Ini tidak terlepas dari simbol-simbol yang diparadekan tersebut merupakan identitas ranah domestik, seperti simbol kebaya, konde dan fashion show yang identik dengan aktivitas macak (kegiatan bersolek atau mempercantik diri) dan simbol lomba masak yang berkaitan dengan aktivitas dapur yang selalu didentikan menjadi kaplingnya perempuan.
Namun, Ibu Kartini tidak perlu khawatir, meskipun banyak perempuan yang sekedar memperadekan kebaya dan konde pada peringatan hari Kartini, tapi di belahan bumi Indonesia lainnya masih ada perempuan yang memiliki spirit emansipasi dan berjuang dalam membebaskan diri dan haknya, salah satunya Ibu-ibu Kendeng. Sejak tahun 2014, ibu-ibu Kendeng ini aktif dan bertahan dalam memperjuangkan tanah dan kelestarian alam tempat tinggalnya dimana akan dibangun perusahan PT. Semen Indonesia. Perjuangan yang dilakukan oleh ibu-ibu Kendeng dimulai dari demonstrasi dan bahkan berhadapan langsung dengan aparat di lahan yang rencananya akan dibangun perusahaan, mendirikan tenda di sekitaran perusahaan hingga menyemen kaki mereka dengan semen sebagai bentuk resistensi pada PT. Semen Indonesia.
Penolakan ibu-ibu Kendeng terhadap perusahaan salah satunya disebabkan karena mereka menganggap bahwa air dan tanah itu sebagai sesuatu yang sakral dan sumber kehidupan bagi masyarakat, sehingga dengan dibangunnya perusahan semen di Pegunungan Kendeng maka otomatis akan merusak sistem kehidupan mereka. Ibu-ibu Kendeng yang menolak pembangunan perusahaan semen merupakan bagian dari masyaraka Sedulur Sikep (pengikut ajaran Samin). Bagi masyarakat Sedulur Sikep, pantangan besar bagi mereka untuk bekerja selain atau diluar bertani, oleh karena itu semua masyarakat yang menjadi anggota Sedulur Sikep berpofesi sebagai petani dan semua petani akan selalu menggantungkan hidup pada tanah dan air. Menurut ibu-ibu Kendeng, tanah dan air selain menjadi sumber kehidupan bagi mereka juga menjadi persoalan identitas, sehingga mereka dapat hidup tanpa semen tapi tidak bisa hidup tanpa tanah dan air.
Gerakan ekofeminisme yang dilakukan ibu-ibu Kendeng ini menunjukkan pada kita bahwa perempuan berkontribusi besar dalam keberlangsungan gerakan dan juga dalam pelestarian lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan tidak saja hanya ada dalam ranah domestik melainkan ranah publik juga. Keterlibatan perempuan didalam gerakan lingkungan tidak dapat dilepaskan dari persoalan bahwa ketika lingkungan rusak, maka perempuan adalah orang yang paling menderita. Mengapa demikian? Perempuan dan alam merupakan satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, ini karena kebutuhan hidup manusia terutama di dalam ranah domestik banyak ditopang oleh lingkungan dan perempuan merupakan aktor yang ditutuntut untuk bertanggungjawab dalam pemenuhan kebutuhan ranah domestik. Oleh karena itu, ketika ada sebuah agresi terhadap lingkungan maka itu sama dengan sebuah agresi terhadap tubuh perempuan. Dari sini kita dapat melihat bahwa peran perempuan dan spirit ekofeminisme menjadi sangat penting dalam menjaga kelestarian lingkungan.
Selain itu, hikmah yang dapat kita petik lainnya dari gerakan ibu-ibu Kendeng ini adalah pembebasan perempuan bukan sekedar pembebasan dari masyarakat struktur patriarkal saja, melainkan juga pembebasan dari penjajahan ekonomi maupun eksploitasi alam dengan modal. Agar perempuan dapat berdaya dan mandiri, maka selain kritis terhadap struktur yang menindas, perempuan juga harus melepaskan diri dari belenggu ekonomi dan eksploitasi alam dengan modal. Karena belenggu ekonomi dan eksploitasi alam ini menjadi salah satu penyebab kemiskinan bagi perempuan dan anak-anak. Ibu-ibu Kendeng telah menyadari dan melakukan pergerakan untuk emansipasi dari penindasan dan kemiskinan, moso kita sebagai perempuan jaman now justru melanggengkan penindasan dengan memperingati hari Kartini hanya dengan berkebaya dan berkonde saja? Ah, maafkan kami perempuan jaman now yang gagal paham perjuanganmu, ibu Kartini!
Selamat hari Kartini dan hari Bumi, lestari selalu perjuanganmu wahai Kartini penyelamat bumi!
*Luna Febriani, hanya seorang perempuan yang terinspirasi dari militansi Ibu-ibu Kendeng