Aku cinta orang yang jiwanya pemurah, yang tidak ingin menerima terima kasih maupun berterima kasih: karena dia selalu memberi dan tidak menghemat dirinya (Nietzche, Zarahustra)
Borjuasi telah merenggut selubung perasaan yang memilukan dari hubungan keluarga, dan telah memerosotkanya menjadi hubungan uang belaka (Marx Engels, Manifesto)
***
Saya menulis buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa empat tahun lalu. Tesis buku itu selalu sama: meyakinkan pada pembaca kalau perubahan sosial dapat didorong lewat gerakan mahasiswa. Sejarah memberi petunjuk mengenai hal itu. Kisah heroiknya diulang hingga kini dan setiap memasuki bulan Mei. Para mahasiswa yang menduduki gedung parlemen serta mendesak agar Soeharto turun dari tahta. Tak hanya Jakarta tapi kota lainya juga menyulut situasi yang serupa: gerakan mahasiswa protes pada penguasa Orba.
Penguasa yang hari itu telah menjajah rakyat begitu lama. Diperas sumber kakayaan alamnya dan dimonopoli kekuasaan oleh tangan keluarga Cendana. Soeharto kendalikan negeri seperti rumahnya sendiri: siapa yang menentang akan ditahan, siapa yang tak tunduk akan dibinasakan dan siapa yang loyal dapat kedudukan. Bersama aparatnya Soeharto menciptakan rezim yang bengis: pembuangan, pembunuhan dan penghilangan paksa. Tak ada keadilan sekaligus kemakmuran. Hingga hantaman krisis ekonomi telah mendorong keberanian mahasiswa untuk memukul tahta Soeharto.
Harapan tak lama kemudian terbit. Bangunan demokrasi tampil dengan asaz kebebasan. Muncul partai politik beraneka rupa. Saling unjuk diri dengan promosi akan kemakmuran, stabilitas dan keadilan. Tak hanya itu aturan kekuasaan didekonstruksi begitu rupa. Jabatan penguasa dibatasi, hukuman keras untuk yang korupsi dan dibebaskanya media. Perubahan juga meyentuh dunia kampus dimana mahasiswa dulu belajar di dalamnya. Otonomi diberikan sepenuhnya dan mahasiswa didorong untuk menjadi sarjana yang punya kemampuan memadai.
Dampak semua itu kita tak bisa mencatatnya dengan rinci. Kalau itu dirangkum memang kehidupan politik makin dinamis, kondisi ekonomi terus bergolak dan situasi sosial didera berbagai krisis. Ternyata Soeharto telah berhasil menanam sistem yang tak gampang diruntuhkan. Biarpun dirinya sudah mangkat tapi bangunan politik yang diciptakan tak bisa lenyap begitu saja. Terutama dalam memposisikan anak muda serta bagaimana mengendalikan mereka. Di masa Orba anak muda seperti kumpulan bocah yang terus dikontrol, dikendalikan dan ditanam mimpi kesuksesan. Maka kehidupan anak muda terus-menerus dikendalikan melalui berbagai sarana. Yang populer-di masa Orba- adalah kebijakan NKK/BKK (Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan)
Sterilisasi kehidupan kampus dengan memutus mata rantai kegiatan politik. Tentu situasinya saat ini berbeda karena kampus malah kian terbuka dengan kehadiran politisi. Banyak menteri berasal dari kampus dan sejumlah ketua partai punya hubungan mesra dengan kampus. Relasi yang kusam itu membuat kampus dicemari oleh banyak konflik serta menjadikan kampus kehilangan kebebasan akademiknya. Banyak kegiatan diskusi yang digagas oleh mahasiswa dibungkam dan bahkan sejumlah pers mahasiswa dibredeil. Intervensi tak hanya berlangsung dengan cara represi tapi juga gerakan mahasiswa seringkali ‘melayani’ penguasa untuk ikut campur dalam urusan internalnya. Misalnya Konggres mahasiswa atau pertemuan nasional mahasiswa selalu membawa bawa sejumlah pejabat atau politisi di dalamnya.
Tak jarang kampus dengan ringan memberi gelar Doctor Honoris Causa untuk para penguasa. Sikap kampus yang melacurkan diri itu membawa akibat ganda pada lingkungan mahasiswa. Di sisi lain mahasiswa kehilangan kepercayaan pada kultur akademis di kampusnya sendiri dan pada sisi berikutnya pragmatisme subur di arena kehidupan kampus. Lunturnya kehidupan akademis itu membuat kampus ditawan oleh sikap fanatik, dogmatis dan intoleran. Sedang pragmatisme membawa kampus hanya pada urusan kompetisi, prestasi dan proyek. Pengapnya suasana itu membawa dampak pada kondisi Gerakan Mahasiswa. Terutama pada dua proses besar yakni kaderisasi dan aksi.
Pengkaderan mulai kehilangan unsur ideologisnya. Proses yang dijalankan merosot menjadi kegitan rutinitas dengan alur yang dogmatik. Seolah kader gerakan itu memang dibentuk untuk memiliki watak fanatik, menutup diri dan sulit untuk menerima hal berbeda. Maka yang terbentuk adalah sikap merasa diri paling unggul serta sulit untuk mengembangkan kerja sama. Proses ini membawa gerakan mahasiswa pada situasi yang banal: kurangnya gagasan segar, inisiatif radikal dan tidak terlampau percaya diri pada kekuatan yang dimiliki. Kondisi yang membawa gerakan pada defisit kepercayaan diri terutama pada pikiranya sendiri.
Aksi-aksi yang muncul jadi sporadis, mengulang-ulang dan tidak taktis. Cerminan situasi ini ada pada aksi gerakan mahasiswa saat menyambut mahasiswa baru: dipenuhi oleh jargon, terdorong hanya sebagai seremoni serta berorientasi pada pesta. Asumsi yang dibangun mengikuti logika umum yang dipercaya: mahasiswa makin pragmatis, butuh yang ringan saja dan sangat suka jika dihibur. Penilaian secara serampangan ini terjadi karena kampus membentuknya demikian: mahasiswa itu barisan para pencari kerja yang dipuaskan dengan harapan pekerjaan yang mapan. Terjadilah apa yang menjadi ancaman bagi gerakan mahasiswa: kehilangan utopia.
Utopia tentang keadilan, kemerdekaan dan pemerataan yang memacu Soekarno bersama anak muda seusianya untuk berjuang. Utopia tentang demokrasi, hak asasi manusia hingga tatanan sipil yang membuat mahasiswa 90-an berani bertarung dengan penguasa Orba. Kini utopia itu memudar jadi keniscayaan individual yang bertumpu pada motivasi, prestasi dan semangat memupuk laba. Bila gerakan adalah membangun kebersamaan maka saatnya gerakan mahasiswa menemukan ‘titik’ kebersamaanya. Dari titik menuju bidang: gerakan memerlukan jiwa-jiwa segar yang tak dibutakan oleh keyakinan palsu, tak dimanipulasi oleh kesadaran semu dan tidak digerakkan hanya oleh sentimen sederhana.
Titik itu dapat dipupuk bukan hanya dengan pelatihan tapi perjuangan. Membiasakan diri untuk berpikir kritis dan konfrontatif. Kritis terhadap apa yang terjadi dan konfrontatif pada apa yang memang mengancam akal dan kedaulatan. Melalui pembiasaan cara berfikir seperti ini gerakan dapat menemukan titik utopianya: mudah untuk berkorban bagi kepentingan yang dianggap ideal, berani mempertaruhkan resiko untuk apa yang diyakini sebagai kebenaran dan tak gampang pesimis menghadapi tantangan yang makin berat. Jejak gerakan tak dilihat dari keberanianya meruntuhkan sesuatu tapi yang jauh lebih penting adalah pengaruhnya untuk ‘mengusut dan menghasut’ keyakinan lama yang terus-menerus dipercaya.
Terimakasih
[Disampaikan untuk kebutuhan diskusi di FIA Universitas Brawijaya Malang 24 April 2018, Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 27 April 2018 dan Universitas Sarjanawiyata Taman Siswa 28 April 2018]