Oleh Eko Prasetyo
Tak pernah di dalam sejarah Negara menjadi begitu kuat, menjadi sangat reaksioner dan bahkan kontrarevolusioner, pendeknya menjadi antithesis revolusi (Emma Goldman)
***
Beberapa bulan yang lampau saya menulis tentang lenyapnya kaum muda. Dimuat oleh Indoprogres sebagai sambutan saya atas buku mengenai Pesindo. Organisasi politik radikal yang dihuni oleh banyak anak muda. Berjuang atas dasar ide sosialisme yang mewujud pada serangkaian aksi sosial yang inspiratif. Tapi gerakan ini tak bertahan lama diguncang oleh berbagai peristiwa politik. Tapi Ben Anderson merekam peran anak muda pada masa itu dalam judul yang gagah ‘Revolusi Pemuda’. Buku yang sayangnya belum terbit ulang.
Kini menginjak bulan Mei ada kerinduan untuk mengenang anak muda. Terutama yang berperan aktif dalam jatuhkan Soeharto. Anak-anak muda itu ada yang hilang, dianiaya hingga di penjara. Yang hilang ada yang tak kembali. Leila mendeskripsikan itu dalam novel yang indah: Laut Bercerita. Kisahnya tentang anak-anak muda yang menentang Soeharto kemudian dibasmi dengan keji. Kini diantara yang selamat malah duduk di partai para penculik. Meski ironis tapi itu tampilan politik hari ini. Perjuangan reformasi yang didorong oleh anak-anak muda dibajak dengan cerdik oleh sekutu Orba.
Banyak tesis diajukan mengapa situasi bisa berubah. Kalau dirumuskan setidaknya ada tiga sebab: pertama arus kekuatan orbais yang berhasil beradaptasi dengan struktur politik yang dasarnya tidak berubah. Sistem politik yang mempertahankan oligarkhi sembari meneguhkan patronase dengan para komparador. Kedua bangunan politik yang ditanam tak mampu mengadili dengan sungguh-sungguh kejahatan HAM yang diperbuat oleh rezim sebelumnya. Sehingga secara jitu para pelanggar HAM masa lalu mengambil peran aktif dalam gerbong kekuasaan berikutnya. Berkuasa sambil mempertahankan kepentingan lamanya.
Tesis ketiga yang belum banyak diungkap adalah matinya gagasan politik kaum muda. Ide progresif tentang pemerintahan demokratis yang meletakkan peran sipil sembari menuntut tanggung jawab atas pelanggaran HAM tak mampu dipenuhi. Pahlawan muda yang hilang itu hanya dikenang melalui aksi kamisan yang secara radikal terus menerus dijaga. Tapi api perlawanan yang diimaginasikan oleh anak-anak muda yang dihilangkan itu mulai kian meredup. Begitu mudahnya ide politik konservatif tampil ke permukaan yang sialnya didukung pula oleh anak-anak muda yang dulunya pernah melawan.
Dasar bangunan politik yang tampil jadi kacau balau karena dipadati oleh pelaku lama yang punya agenda busuk. Tampillah masalah yang memang tak bisa ditangani dengan prosedur hukum. Soal korupsi tetap tak bisa dikurangi, soal pelanggaran HAM yang tak ditangani dan pembangunan ekonomi lipat gandakan angka kesenjangan. Implikasi serius yang kita hadapi amat berbahaya: ide politik yang progresif tak lagi dijadikan cita-cita utama tapi lebih mengakomodasi gagasan politik yang pragmatis. Lebih serius ancamanya ada pada anak-anak muda yang tak lagi percaya dengan cita-cita radikalnya.
Kini anak-anak muda memang menikmati kekebasan bersuara tapi bukan kebebasan berpolitik. Tiap muncul gagasan radikal selalu dianggap berbahaya bahkan melanggar norma. Ide seperti sosialisme hingga marxisme terus dimusuhi. Tak hanya diusut oleh penegak hukum tapi bisa dihakimi oleh massa. Pelucutan kebebasan berpolitik itu tampil dalam manifestasi yang gila: kriminalisasi pada aktivis muda yang melakukan advokasi, provokasi pada ide-ide fasistis untuk hidup lagi dan dukungan besar pada sayap konservatif yang menginginkan kehidupan seperti Orba.
Mesin politik yang ada memang memerlukan pasokan anak-anak muda. Tapi himpunan anak anak muda itu dicemari watak orbais. Mempertahankan eksistensi ekonomi liberal yang didukung dengan banyak proyek infrastruktur, mendukung keberadaan partai politik yang tak pernah mau berjuang untuk pengusutan pelanggaran HAM dan tidak adanya perjuangan progresif demi kebebasan akademik di kampus. Dua agenda utama butuh perjuangan besar untuk mencapainya tapi minimal program terakhir yang bisa didengungkan itu juga tak bisa disuarakan. Padahal kilang anak-anak muda yang bisa jadi penarik gagasan-gagasan progresif berada di kampus. Kawasan yang kini terus dianiaya.
Kampus dibelengu oleh ambisi konyol. Hendak menjadi sumber pemasok tenaga kerja, dikelola mirip korporasi dengan tenaga akademik yang serupa sales. Pasokan tenaga kerja dilakukan dengan memfasilitasi kampus agar melahirkan sarjana yang sesuai kebutuhan pasar. Tata kelola disusun dengan cara menilai mahasiswa sebagai produk: diciptakan disiplin buta, ketaatan penuh pada kurikulum serta tamat sesuai waktu yang dipastikan. Maka tenaga akademik memerankan diri sebagai sales yang menjajakan mata kuliah hingga kampus serupa produk yang dipromosikan secara gencar.
Tumbuhlah anak-anak muda yang jadi tumbal kapitalisme. Jika individu spontan akan menempuh karir sebagai pengusaha atau penguasa. Kalau berombongan akan menjadi penyemarak acara apa saja: musik, kuis hingga lawak. Rembesan situasi ini tumbuh melalui organisasi mahasiswanya. Hidup didasarkan atas perlindungan senior dan aktif melalui agenda yang dirumuskan oleh situasi. Kondisi yang membawa anak muda pada jalur keji: bertarung dalam bursa tenaga kerja, sibuk mematut diri agar punya tempat di jalur politik atau dengan gigih berusaha mencari laba dalam arus pasar yang kompetitif. Ide yang tumbuh seperti iklan motivasi: ubahlah dirimu sendiri maka akan berubah yang ada di luarnya.
Tangkai ide politik yang ditanam oleh kaum muda 90-an itu layu. Kutukan atas Dwifungsi ABRI kini padam. Malah ada keinginan kuat untuk menetapkan militerisme sebagai ideologi. Tersirat dari popularitas serdadu yang naik daun sebagai pemimpin alternatif. Dibajaknya ide demokrasi bukan saja oleh kaum orbais tapi teknokrat politik yang membonsai pilihan figur berdasar atas hasil survai. Beradu dengan watak politik yang berbau laba maka kaum muda terkarantina oleh keyakinan politik semu. Kalau demokrasi wujudnya hanya partisipasi dan didelegasikan pada parlemen yang telah dipilih. Proses politik yang menjemukan hingga kehilangan gairah untuk berseteru.
Tapi tak semua anak muda tunduk pada logika sesat ini. Masih ada anak muda yang bertarung, melawan dan mengorganisir. Sebagai arus politik gelombang ini tak besar. Hanya pukulan yang terbit dari perlawanan sporadis itu punya peluang membesar. Pertama arus media yang tak lagi terpusat dan bisa dilakukan oleh siapa saja. Kebesaran media sosial yang mencengkram kemana-mana banyak didominasi anak-anak muda. Kedua menautkan diri dalam organisasi yang menghidupkan lagi tuntutan politik radikal. Mustahil kekuatan dilipat-gandakan kalau gerakan muda hanya porak poranda, tanpa tokoh dan tanpa dukungan massa. Semua itu bisa terwujud jika kaum muda mengembalikan politik perseteruan.
Politik yang menolak semua bentuk praktek ototerisme dalam wujud apa saja. Unsur pembangkangan dihidupkan lagi dengan menerbitkan soal-soal mendesak: ketimpangan, ketidak-adilan hingga diskriminasi. Soal-soal gawat ini tak bisa diatasi dengan cara seperti sekarang: menerbitkan aturan, mengusulkan perubahan personel hingga pengawasan aktif. Soal itu semua dapat diatasi kalau ada perubahan radikal pada bangunan politik yang selama ini tersandera. Ingat saja episode 90-an itu meledak ketika pertarungan aktif, rutin dan intens dilakukan dimana-mana. Ruang itulah yang butuh dibuka lagi, dikelola terus untuk menyuarakan hal yang sama.
[Disampaikan sebagai bahan diskusi mahasiswa Untidar Magelang dan APMD Yogyakarta: Media dan Politik di Indonesia: Melihat Peran Kaum Muda, 21 April 2018]