***
Puluhan tahun sudah warga Tionghoa tak punya hak milik atas tanah, meski sejengkal ruas sekalipun di Yogyakarta. Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta No. K. 898/I/A/1975 mendikte bahwa Warga Negara Indonesia (WNI) ‘non pribumi’ dilarang mempunyai hak milik atas tanah di Yogyakarta.
Istilah ‘non pribumi’ ini terang sudah diharamkan oleh Instruksi Presiden No. 26 tahun 1998. Namun, anehnya, surat instruksi wakil gubernur ini masih dijadikan rujukan bagi seluruh kantor pertanahan di Yogyakarta untuk mendiskreditkan warga Tionghoa.
Liem (nama samaran, kisah nyata), berharap bisa mendaftarkan tanah hasil warisan orang tuanya seluas 200 m. Sesampai di Kantor Pertanahan Gunungkidul, petugas menyingsingkan pandangan menyisir penampilan fisik Liem. Mata sipit dan kulit terang Liem langsung disikapi oleh petugas dengan berkata bahwa Liem tak bisa mendapatkan sertifikat hak milik. Liem pulang dengan harus mengantongi sertifikat hak pakai. Dengan hak pakai ini, Liem harus berpikir keras saban berapa tahun sekali untuk membayar perpanjangan tanah (miliknya) itu.
Dari sekian banyak warga Tionghoa di Yogyakarta, banyak di antaranya bungkam. Tak ada perlawanan hukum atas ketidakadilan yang mereka terima. Hingga akhirnya, semangat Yap Thiam Hien, sang legendaris advokat yang bersahaja muncul dalam diri Handoko. Handoko sadar akan haknya, dengan bekal keilmuan yang melekat pada kesarjanaan hukumnya itu, ia maju ke Pengadilan.
Pada tanggal 28 Januari 2015 pergi ke pengadilan, mengajukan permohonan pengajuan uji materiil terhadap Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta 1975. Pengadilan mengatakan bahwa objek permohonan hak uji materiil (Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta 1975 itu) bukan merupakan perundang-undangan (Putusan Mahkamah Agung Nomor 13 P/HUM/2015). Meskipun permohonannya ditolak oleh Mahkamah Agung, namun dalam putusan hakim jelas diterangkan bahwa Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta bukanlah produk perundang-undangan.
Tak kenal rasa lelah, pada tanggal 18 Mei 2016 Handoko mengajukan kembali gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN). Sekali lagi, gugatan Handoko kandas, hakim bersabda bahwa Instruksi Wakil Gubernur tersebut bukan keputusan tata usaha negara yang bisa diuji di PTUN (Putusan Nomor 179 K/ TUN/ 2017).
Dua putusan tersebut, mengukuhkan bahwa Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta sudahlah seharusnya bukan peraturan, bukan pula keputusan hukum. Dengan kata lain, surat instruksi ini sama sekali tidak punya kekuatan hukum mengikat. Namun, di lapangan, ternyata praktik pendaftaran tanah di kantor pertanahan masih saja menyandarkan instruksi ini.
Sekali lagi, setelah uji material dan tata usaha negara dilakukan, dan praktik pendaftaran masih bertumpu pada Surat Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta, Handoko tak patah arang. Kembali ia mengajukan gugatan perdata. Kali ini malah pertimbangan hakim cukup menyesakkan dada. Pertama, hakim berpendapat seakan-akan mengamini bahwa Surat Instruksi Wakil Gubernur ini dibuat dengan alasan untuk melindungi warga masyarakat DIY yang ekonominya relatif lemah. Kedua, majelis hakim yang dipimpin oleh P. Cokro Hendro Mukti, SH juga berpandangan bahwa Surat Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta tersebut tidak pertentangan dengan (hukum tidak tertulis) Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik.
Putusan terakhir ini perlu disimak secara kritis. Pertama logika Instruksi Wakil Gubernur Yogyakarta direkonstruksi seolah-olah adalah tindakan afirmatif (affirmative policy), untuk melindungi warga yang ekonominya relatif lemah. Padahal sejak 11 Agustus 2014, Komnas HAM sudah mengeluarkan rekomendasi, bahwa Instruksi tersebut bukanlah tindakan afirmatif. Lebih lanjut, Komnas HAM menekankan tindakan afirmatif justru diperuntukkan bagi anak-anak, perempuan, kaum lanjut usia, penyandang cacat dan kelompok minoritas. Sedangkan hakim juga berdalih bahwa Azas-Azas Umum Pemerintahan yang Baik (AAUPB) pada hakikatnya adalah norma pemerintahan tidak tertulis.
Padahal Azas-Azas ini tersebar pada produk perundang-undangan tertulis, seperti UU No. 30 tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, UU No. 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, dan masih banyak lagi. Lebih lagi, AAUPB, tidak boleh tidak, harus menghormati hak asasi manusia. Syahdan, instruksi ini melanggar hak untuk tidak didiskriminasi, hak kesetaraan di muka hukum, dan ragam item-item HAM di berbagai instrumen HAM nasional: UU No. 29 tahun 1999 tentang Ratifikasi CERD, UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM, UU No. 40 tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, UU No. 11 tahun 2005 tentang hak ekosob, UU No. 12 tahun 2005 tentang hak sipol, dan utamanya Pasal 28 D ayat 1 Konstitusi Indonesia.
Alih-alih melindungi rakyat yang ekonominya lemah, instruksi ini malah memproduksi rasisme. Padahal tanpa adanya instruksi ini, pembatasan hak milik sudah merujuk Surat Edaran Menteri Agraria Nomor 500-3460 tanggal 18 September 1998, tersedia. Surat ini mengisyaratkan sebuah norma, setiap orang untuk satu bidang tanahnya hanya diperbolehkan memilikinya maksimal 2000 m, tak lebih! Dengan diktum ini, hukum tak tebang pilih, tanpa memandang ras, agama, suku, dst. Satu-satunya orientasi Surat Edaran Menteri Agraria ini adalah ‘kelas sosial.’ Sang kaya tak akan rakus, si miskin tersedia peluang, seperti apa yang dikatakan Boaventura de Santos (2002) tugas mulia (telos) hukum adalah emansipasi yang mengangkat martabat masyarakat tertindas dan terlupakan (uncivil civil society).
Hal yang sama diungkapkan pada hasil investigasi Ombudsman pada 9 Februari 2018, bahwa Instruksi Wakil Gubernur tahun 1975 dipandang ‘sudah tidak lagi relevan untuk kondisi saat ini,’ hendaknya ‘mempertimbangkan aspek hukum dan perlindungan hak asasi manusia, sehingga tidak ada lagi membedakan warga asli ataupun warga keturunan, suku, agama, ras, dan golongan.’
Melihat pertimbangan di atas, dengan demikian, kami :
Leiden, 12 Maret 2018
Kami ;