Meila Riskia – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Setelah sukses dengan “Pulang” yang diterbitkan pada 2012 lalu, baru-baru ini Leila S. Chudori kembali hadir melalui karyanya yang berjudul “Laut Bercerita”.
Laut Bercerita merupakan novel tentang aktifitas mahasiswa-mahasiswa Jogja yang gemar berdiskusi dan melakukan aksi pendampingan petani dan buruh. Kisah yang ada disana sudah barang tentu seringkali kita dengar, apalagi untuk mahasiswa di Jogjakarta. Bahwa pada masa itu, beberapa tahun sebelum jatuhnya orde baru, suara-suara kritis terhadap pemerintah semakin sering terdengar.
Pun tentang penyiksaan yang dialami oleh Laut dkk di Bungursari maupun Jakarta, bukanlah sesuatu yang aneh di telinga. Bahkan beberapa pengakuan teman yang aktif sebagai aktivis kampus mengaku masih mengalami “siksaan-siksaan” serupa ketika tertangkap tangan oleh “yang berwajib”.
Bagi generasi millennial seperti saya, tahun 1996-1998 adalah masa dimana kami masih sibuk bermain orang-orangan atau memetik buah kecapi di kebun tetangga sepulang sekolah. Seragam putih-merah yang kami kenakan saat itu hanya memungkinkan kami memikirkan omelan guru karena berisik di kelas, PR yang harus dikumpulkan esok hari, ataupun ceramah ibu di rumah ketika mendapati baju putih kami berubah warna menjadi coklat sepulang sekolah.
Kami tidak memiliki kapasitas untuk mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Indonesia, yang saat sudah dikenal (dan masih hingga sekarang) sebagai negara berkembang. Kami tidak paham akan riuh mba-mba dan mas-mas di kampus yang asyik membahas tentang aksi demonstrasi yang akan mereka laksanakan untuk menolak serangkaian paket kebijakan pemerintah.
Laut Bercerita dapat dianggap sebagai sejarah alternatif karena sumber cerita adalah kisah nyata yang dialami oleh orang-orang yang dihilangkan secara paksa pada masa itu. Dan sampai hari ini ke- 13 orang tersebut masih tidak diketahui dimana dan bagaimana keadannya. Cerita yang dipaparkan dalam novel ini membawa kita pada imajinasi dimana kekejian yang dilakukan aparat yang mengatasnakaman “menjaga keamanan negara” membuat hati teriris. Terlebih membayangkan jika kakak, adik, kekasih, anak, suami atau ayah kita yang mengalaminya.
Kepedihan itu bukan hanya dirasakan oleh korban penghilangan paksa, melainkan juga membuat terluka keluarga, rekan, dan orang-orang yang ditinggalkan. Terlebih saat tidak tahu nasib orang terkasih. Menerima hilangnya mereka tanpa pesan, sama sekali bukanlah hal yang mudah. Penyangkalan akan kondisi terburuk yang mungkin dialami oleh korban menjadi bagian dari kehidupan, harapan yang terus dijaga yang dirawat akan kembalinya mereka seperti sedia kala walaupun mungkin akan sia-sia.
Siapa saja bisa menjadi Laut Biru yang tidak jelas bagaimana kabarnya. Siapa saja bisa menjadi Asmara, si bungsu yang harus menjadi dewasa dan “waras” menghadapi Bapak dan Ibu yang kerap menunggu pulangnya Laut setiap hari Minggu di meja makan. Dan siapapun bisa menjadi Anjani, gadis yang ceria dan bersemangat kemudian menjadi kehilangan separuh jiwanya Bersama Laut yang entah dimana. Ya siapapun bisa mengalaminya, termasuk saya, anda, ataupun keluarga kita!