Oleh; Ali Akbar Muhammad*
***
Dewasa ini, mempunyai gelar atau title kesarjanaan menjadi status sosial baru dalam kehidupan masyarakat. Apalagi gelar tersebut lain daripada yang lain. Atau langka. Hal terebut bisa dipercaya dapat menghantarkan kesuksesan. Oleh karena itu, tak jarang harus meninggalkan kampung halaman dan menghabiskan biaya yang tak terhingga hanya untuk bisa merubah status sosial tersebut. Makanya, tak heran hampir setiap tahun ribuan manusia berburu pendidikan kemana saja.
Pendidikan seharusnya menjadi jembatan untuk meraih impian yang didamba. Dalam banyak contoh, pendidikan adalah syarat formal untuk bisa merubah nasib menjadi lebih baik. Kamu mau jadi PNS, ijazahmu syaratnya. Kamu jadi pekerja kantoran, ijazah umu lagi-lagi syaratnya. Secara empirik, tidak ada satupun hal yang akan kita kerjakan tanpa melihat background pendidikannya. Meski tak jarang ilmu itu tak terpakai dengan kesesuaian yang ada.
Dengan animo pendidikan yang besar itulah kemudian pendidikan bergeser fungsi dari alat mencerdaskan rakyat menjadi komoditi bisnis yang menggiurkan. Institusi pendidikan bukan berasa intelektualitas lagi tetapi sudah berasa barang dagangan. Makanya tak heran semakin hari biaya pendidikan makin tidak terjangkau. Akses pendidikan pun akhirnya terbatas bagi yang mampu saja. yang kurang mampu, menyingkir. Disini pendidikan tercerabut dari akarnya. Padahal menurut Paulo Freire, pendidikan sejatinya adalah jalan pembebasan bagi manusia. Kalau pendidikan sudah bukan jalan pembebasan lagi, maka akan jadi apa generasi kedepan?
Sebelum merdeka, kita bahkan sudah yakin jalan pemebebasan dan kemerdekaan itu adalah pendidikan. Makanya pendidikan masuk dalam amanah yang disebutkan dalam batang tubuh UUD 1945. Amanah tersebut kemudian dipertegas seperti pada pasal 31 ayat 1 sampai 5. Bahkan tidak hanya itu, pendidikan juga dibahas dalam Hak Asasi Manusia (HAM). Bahwa mendapat pendidikan yang layak adalah sebagai salah satu hak mendasar dalam HAM.
Tapi kenyataannya, ketimpangan pendidikan makin terjadi. Pendidikan bahkan melahirkan sekian dikotomi. Hal tersebut dikarenakan semakin mengkapitalnya dunia pendidikan kita. Dengan menjadikan pendidikan sebagai ladang bisnis, maka tak heran anak kernet angkot mustahil menjadi dokter. Karena dari masalah biaya saja sudah sangat berbeda. Lihat saja contoh biaya masuk sekolah kedokteran di beberapa kampus di negeri ini. Dan lihat juga background yang belajar disana. Agak absurd memang kalau mencari anak kernet angkot. Dan negara pun seolah lepas tangan dengan semua itu. Negara tutup mata. Negara bahkan menjadi katalisator begesernya dunia pendidikan kita.
Sehingga wajar kalau saat ini pendidikan menjadi barang mewah yang harus dibeli dengan harga yang mahal. Apalagi kalau sampai mau ke perguruan tinggi. Hanya segelintir orang saja yang bisa menikmatinya. Yaitu mereka yang secara ekonomi tergolong kaya. Pendidikan mewujud segregasi kelas di tengah masyarakat. Kaum miskin yang beruntung bisa mengakses pendidikan, alih-alih berjuang untuk pendidikan yang murah, setara, dan bervisi kerakyatan, malah cenderung ikut tren yang bercita-cita menjadi orang kaya dan sukses dengan segala keistimewaan yang ada.
Akhirnya, proses tersebut hanya mampu menghasilkan intelektual yang pragmatis. Alih-alih menjual diri dan intelektualitasnya pada orang yang bersedia membayar. Karena memang pendidikan yang mereka pelajari bukan untuk memerdekakan diri lagi, tapi untuk menyambung jalur bisnis kedepan; menjadi sekrup-sekrup sistem kapitalisme-neoliberalistik. Lihat saja bagaimana para akademisi hari ini justru banyak yang menggadaikan ilmunya untuk kepentingan-kepentingan korporasi.
Apalagi di Tahun 1994 kita turut bergabung dengan GATS (General Agreement Traid Service). GATS adalah sebuah organisasi perdagangan jasa dunia. Ada 12 sektor jasa di Indonesia yang di liberalisasikan. Satu di antarnya adalah sektor pendidikan. WTO (Word Traid Organization) di tahun 1995 Indonesia menjadi bagian dari organisasi perdaganan dunia ini. Melalui kesepakatan itulah pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan regulasi untuk meliberalisasi sektor pendidikan. UU Sisdiknas 2003 adalah salah satu bentuk legitimasi negara untuk meliberalisasi pendidikan di tambah lagi dengan UU No 12 tahun 2012 yang semakin masif menjelaskan komersialisasi dunia pendidikan.
Kita miris melhat itu semua. Sekaligus kecewa dan marah pada sistem yang dijalankan. Maka itu, merebut kembali ruang-ruang terseut menjadi agenda penting. Kita harus merebut kembali intelektualitas tersebut untuk menjadi penyeimbang bagi inteltualitas-intelektualitas yang suka melacurkan diri dengan penguasa ataupun korporasi hitam. Hanya dengan itu kita bisa mengembalikan pendidikan ke akarnya; pembebasan manusia.
Mahasiswa Program Magister STPMD–APMD Yogyakarta
Aktif di Cakrawala Mahasiswa JOGJA (Divisi Pendidikan dan Bacaan)