Kehidupan spiritual manusia hadapi dua bahaya yang mendesak: yang satu adalah kemalasan dan yang lainnya adalah tirani (Gilbert Highet)
***
Rektor seperti tak ada ide lain kecuali melarang mahasiswa. Di UIN Jogja Rektor menduga yang bercadar itu anti Pancasila. Di UAD katanya yang gondrong diperingatkan. Di Filsafat UGM terbit spanduk mahasiswa harus selesai tepat pada waktunya. Jika tidak, ada surat peringatan yang diberikan. Di Unprok mahasiswanya di DO oleh Rektornya. Jika diukur dari apa yang terjadi dan yang diputuskan jelas tindakan semua itu berlebihan.
Lihat saja mahasiswa hari ini. Kegiatanya jika tidak kuliah, main medsos, ngaji, pacaran atau nongkrong ngopi. Sedikit sekali mahasiswa yang teriak di jalan, bakar ban atau lempar selebaran gelap. Sedikit sekali yang mau demonstrasi apalagi ikut bela nasib petani. Jika pun ada jumlahnya tak sebesar mereka yang saya sebutkan diatas. Singkatnya ini jenis anak muda yang tak bahaya sama sekali. Anak muda yang asyik dengan dirinya sendiri.
Kalau ada yang ngaji kemudian merasa dunia atau negara ini brengsek hal itu wajar saja. Kitab suci memang selalu punya pesan idealis. Yang idealis sejak dulu selalu bertentangan dengan yang ada dalam kenyataan. Bahkan kalau muncul keinginan untuk membuat rambut gondrong sebagai ekspresi atau tuntutan gaya itupun normal saja. Yang muda akan selalu ingin mencoba dan sering kecewa.
Pahami anak muda dan mengerti apa maunya mereka. Yang muda memang sering punya ide gila. Yang muda kadang ingin punya petualangan baru. Yang muda selalu saja tak mudah percaya. Yang muda bisa jadi akan gampang melawan apa saja. Mereka kadang pragmatis tapi juga bisa jadi sangat idealis. Rektor siapapun itu pasti pernah muda. Melarang bukan saran yang tepat untuk anak muda.
Anak muda tak semua punya pandangan progresif. Sebagian ada yang konservatif bahkan reaksioner. Kebanyakan malah konsumtif. Itu semua keyakinan yang tak pantas diadili. Tugas pendidikan tinggi bukan mengadili keyakinan tapi membuat tempat dimana keyakinan bisa diperdebatkan. Mau cadar, jilbab bahkan tanpa berjilbab itu boleh saja. Kampus bukan pesantren apalagi kantor pengadilan. Rektor selayaknya tahu hal itu.
Rektor memelihara keyakinan atas pengetahuan. Dimana pengetahuan itu tampil melalui ruang kebebasan. Tiap pandangan diperagakan dalam ruang kuliah dan organisasi mahasiswa. Pintu yang bisa membuka kampus untuk menjadi peragaan gagasan. Itu sebabnya banyak orang pintar tumbuh dari lingkungan kampus yang bebas: Albert Einstein hingga Steve Jobs. Larangan bukan petunjuk pengetahuan.
Para Rektor itu mungkin masa lalunya tak memiliki drama atau tragedi. Bisa jadi ia mahasiswa yang tak pernah punya pikiran liar. Hidupnya berasal dari buku dan ketaatan buta pada apa saja. Tak yakin saya kalau semasa mahasiswa pernah membangkang. Pada aturan negara apalagi jalan raya. Dugaan saya hidupnya lurus dan licin. Selicin kemeja Rektor yang selalu dipakainya.
Coba apa yang dikatakan Rektor UIN Jogja tentang yang bercadar. Mereka akan dibimbing, dibina dan kalau tak bisa akan diminta pergi dari kampus UIN. Seolah kampus itu seperti miliknya sendiri yang aturanya mengikuti kemauanya. Tak ada dalam sejarah sebuah perguruan tinggi di dunia manapun mahasiswa terusir hanya karena busana yang dikenakanya.
Mungkin itu referensi pengalaman pribadi yang selalu takut dengan yang beda. Hidupnya berasal dari dunia yang selalu menganggap semua yang seragam itu indah, semua yang patuh itu benar dan semua yang unik itu berbahaya. Kalau jalan pikiran seperti itu yang terjadi maka kampus bisa bawa ancaman ganda. Ancaman atas akal sehat dan ancaman atas kebebasan. Dua-duanya itu bisa punya efek serius.
Larangan itu semua tak bersandar pada nalar yang rasional. Dari cadar hingga rambut gondrong. Semua hanya dari anggapan dan stigma: yang gondrong itu nakal sedang yang cadar pasti radikal. Data untuk menarik kesimpulan itu semua tak punya. Maka saat keputusan itu disangsikan yang muncul hanya dugaan. Bahwa keputusan ini sudah diambil serta tak bisa diubah apalagi dipertanyakan kandunganya.
Kalau begini kebebasan tak dijamin sama sekali. Belenggu kebebasan itu yang membuat kampus dipenuhi oleh udara fanatisme, intoleran dan kekerasan. Maka kreativitas, gagasan segar dan ide-ide alternatif tak mampu hidup. Wajar saja Presiden Jakowi gelisah terus dengan kampus yang tak bisa sesuaikan perubahan dan kurikulumnya berbekal pada kepercayaan masa lampau. Fakultasnya itu-itu saja dan metodenya tetap sama dalam mengajar.
Sungguh jika itu aturan yang dipertahankan kampus akan dicengkram banyak persoalan. Yang prinsip adalah hilangnya gagasan alternatif. Gagasan yang bisa terbit dari keragaman dan muncul karena pintu kebebasan. Disusul soal berikutnya adalah iklim otoriter. Jika tiap aturan lahir hanya karena anggapan atas adanya ancaman itu bisa membuat kampus kehilangan nilai kepedulian dan kepekaan. Sumber masalah yang membuat kampus hingga kini berada dalam posisi elitis sekaligus feodal.
Maunya mahasiswa itu seragam, patuh dan senang dengan aturan. Inginya mahasiswa itu selalu rapi, pintar dan tertib. Sungguh jika itu yang mau dicapai kampus tak selayaknya meneguhkan diri sebagai pendidikan tinggi. Pendidikan yang sebaiknya memberi kesempatan bagi munculnya gagasan berbeda yang bisa tampil lewat penampilan yang tak sama. Jangan sampai kita musnahkan sebuah ide hanya karena itu dikira akan menganggu keamanan. Ini kampus pak bukan tangsi tentara!
[Bahan diskusi Pendidikan dan wacana Pelarangan Rambut Gondrong, 9 maret 2018, UAD dan LPM Poros]