JOGJA: MENCARI RAKYAT KECIL DAN KAUM TERPELAJAR

Eko Prasetyo

***

Saya datang ke kota ini tahun 1990. Saat Dilan masih jatuh cinta dan ketika Lupus masih jaya. Terdapat banyak bus kota dengan label angka. Murah sekali ongkosnya: lima ratus hingga seribu. Tak bagus memang tapi nyaman untuk jadi angkutan. Kalau ke kampus saya cegat bus di pinggir jalan. Nanti ketika pulang kami jalan berombongan.

Gedung bioskop banyak saat itu. Tayanganya beragam: film Indonesia, Holywood, China dan India. Saya suka sekali nonton film silat dan hantu. Ditayangkan di gedung bioskop yang sekarang jadi taman Pintar. Dulu disana toko buku, pasar buah dan gedung bioskop jadi satu. Sungguh ini pemandangan radikal tapi menggembirakan. Kita makan buah sambil baca buku. Habis beli buku kita nonton film.

Kampus saya memang UII tapi jarang saya kuliah disana. Lebih banyak duduk sama teman UGM, IAIN dan Cokroaminoto. Kami punya hubungan erat, akrab dan hangat. Terutama ketika saya aktif di organisasi kampus. Tempat yang banyak membuat kita mengenal kampus lain dan kawan mahasiswa lain. Sering kami ketemu di toko buku atau kalau lagi rapat organisasi.

Di jalanan Jogja dulu banyak kantor sekretariat gerakan. Kantor HMI komisariat FH UII yang berada di bawah gang jembatan. Kemudian sekretariat SMID yang hampir masuk sungai. Juga ada sekretariat RODE yang ada di gang sempit. Hingga sekretariat PMII yang ada di gang kecil. Rumah sederhana itu dulu menampung banyak ide dan mimpi. Kami selalu menghabiskan banyak waktu disana. Pemilik rumah saat itu dengan antuasias menyewakan rumah untuk sekretariat gerakan. Rasanya ada kebanggaan.

Soeharto memang masih perkasa tapi mulai banyak disangsikan. Terdapat banyak mahasiswa saat itu yang dihukum karena soal sederhana. Mengedarkan buku Pramoedya. Persidanganya penuh dan media memuat itu dengan berani. Menjadi mahasiswa seperti superhero yang bermartabat dan nekat. Sejumlah aksi demo digelar di jalan yang selalu sama: bunderan UGM dan titik Nol Malioboro. Mereka yang melintasinya selalu akan acungkan jempol. Demo jadi kegiatan yang menegangkan tapi juga banyak dukungan.

Suasana kota memang masih sederhana. Di kampus IAIN masih ada yang naik sepeda. Di UII juga begitu. Apalagi di UGM. Kalau sore para pekerja yang ada di kota pulang bawa sepeda. Saya kesana kemari juga naik sepeda. Lebih sehat dan lebih hemat. Paling tidak kota jadi tak terlampau padat dan penuh polusi. Sepeda telah jadi alat transportasi yang murah, massal dan menyenangkan. Situasi yang hari ini hanya ada pada hari libur saja.

Media juga lebih banyak: pers kampus dan harian lokal. Dulu ada Bernas yang radikal dan wartawanya sampai dibunuh. Udin pria pemberani yang dianiaya dengan keji. Pemuda Bantul yang berani ungkap kasus korupsi. Bahkan pentas teater membawa topik-topik politik yang panas serta kontroversial. Seperti Lautan Jilbab yang ditulis oleh Emha. Rasanya kita seperti memiliki kota yang kaya dan beragam: seniman, aktivis hingga pekerja hidup dengan fantasi tak terbatas.

Suasana proletar membuat kota ini nyaman dihuni. Memang orang miskin ada tapi berwibawa. Bisa sekolah dan bergaul dengan siapa saja. Tinggal di kampung yang berbaur dengan kelas sosial mana saja. Kost kost kecil bermunculan dengan induk semang yang tinggal bersama. Serupa dengan sinetron Losmen tahun 80-an. Hidup bersanding dengan keragaman dengan konflik seputar relasi yang mudah diatasi. Mungkin itu sebabnya usia harapan hidup di Jogja tinggi: tentram, aman dan terlindungi.

Kini suasana itu tinggal nostalgia. Berubah kota ini sejak pendirian istana belanja. Mall mulai muncul yang melahirkan ummat konsumtif. Aliran komersialisasi itu melesat begitu rupa saat tata kota juga mulai menerapkan ketertiban, keindahan dan kebersihan. Mall telah mengubah jalan bebas menjadi jalan konsumtif. Pusat belanja buku dan buah dipugar karena dianggap kotor serta tidak indah sama sekali. Diatas puing lahan itu berdiri tempat yang namanya angkuh: Taman Pintar. Muncul pula pusat hiburan modern yang menggasak gedung bioskop lokal dan pusat wisata raksasa yang berdiri melumat sawah.

Tak hanya itu tapi kampus memerankan diri dengan cara beda. Dulu kampus adalah tempat dimana pendidikan tinggi diselenggarakan. Disana diskusi, keragaman hingga organisasi dirayakan. Kini suasana itu berganti rupa: kompetisi, disiplin dan wirausaha yang dikembangkan. Tiap kegiatan selalu diukur dari keharuman nama kampus dan stabilitas mahasiswa. Terlebih ketika biaya pendidikan tinggi dibiarkan mahal dan sulit dijangkau. Seperti ada keinginan buta agar kampus tak lagi berfungsi mengubah yang miskin jadi pintar tapi menghimpun yang kaya serta pintar dalam satu lokasi. Perubahan yang sesungguhnya telah ikut mengubah watak kota.

Kota ini seperti ingin berburu jadi modern. Terutama ketika menyadari bahwa yang datang bukan hanya pelajar tapi wisatawan. Kumpulan makhluk yang ingin mendapatkan kepuasan, hiburan dan kenyamanan. Logika itu yang melecut kota ini untuk tampil dengan beringas: mendirikan hotel dimana-mana, menciptakan tempat wisata yang raksasa dan menghidupkan tempat makan yang berlebihan. Padat, sumpek tapi kenyang. Seolah yang digali dari kota ini bukan lagi ide tapi rangsangan untuk terus menerus mendapatkan hal yang baru.

Perburuan untuk meraih hal baru itu yang telah menciptakan kejemuan pada kota ini. Macet mungkin salah satunya tapi penyeragaman itu yang bahaya. Tiba-tiba selera warga kota jadi seragam. Kota yang tentram, soleh dan tak ingin ada yang berbeda. Saksikan saja bagaimana baliho yang mengotori jalanan kota ini. Pesanya serampangan dan kadang eksploitatif. Dari mulai belanja murah hingga kampus yang akreditasinya A. Limpahan iklan itu membuat kota ini jadi kehilangan keunikanya karena terjatuh pada penyeragaman selera.

Tiap orang kemudian harus berburu dan bertengkar. Cerminan itu ada pada dua fakta; kesenjangan dan kriminalitas. Jembatan soal ini pada ketimpangan yang menganga serta kejahatan yang kian sadis. Salah satu yang dulu sempat populer adalah klithih. Anak-anak muda yang berasal dari keluarga kacau memutuskan diri untuk mengacaukan jalanan. Panggung jalanan kemudian jadi pentas raksasa yang tak lagi mampu menampung aspirasi publik: ruas jalan diatur bukan untuk menampung ide tapi atasi kemacetan, konvoi memakai jalanan dengan cara intimidatif dan karnaval gunakan jalan sebagai sarana iklan.

Kota ini kehilangan rakyat kecil dan kaum terpelajar. Kalau anda rakyat kecil dengan pendapatan kecil tentu tak mudah untuk kemana-mana. Wisata kuliner tak murah, wisata belanja apalagi. Bahkan pengajian sekalipun harus diingatkan untuk siapkan infaq segala. Yang kecil juga tak mudah dapat tempat: rumah kian mahal dan sekolah tinggi tak murah. Keadaan itu kian tak nyaman kalau kaum terpelajar juga kehilangan ruang. Buat diskusi kiri dianggap PKI dan bikin diskusi Iran dikatakan Syiah. Pertaruhan paling bahaya adalah kebebasan akademik yang kini jadi tak bermakna.

Jika rakyat kecil kehilangan posisi dan kaum terpelajar hilang kebebasan maka kota ini bisa meluncur jadi tempat yang hilang harapan. Harapan agar warganya yang berbeda pandangan dilindungi, harapan keadilan untuk semua dijamin dan harapan agar semua orang punya kesempatan dan hak yang sama. Sebuah kota yang sibuk tapi kehilangan imaginasi. Kota yang mulai kehilangan rakyat kecil dan kaum pelajar!

 

[Bahan diskusi Writing Camp, Menulis untuk Reproduksi Narasi Alternatif Perkotaan, Kamis 8 Maret 2018, Perpustakaan Fakultas Tekhnik UGM]

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0