Dari Rudal Hingga Sandal: Kisah Perlawanan Anti-Zionis yang Kena Stigma?

Oleh Nalar Naluri

Layang-layang berisi molotov diterbangkan ke pemukiman ilegal, paralayang ditumpangi kombatan menyeberangi tembok pembatas (serangan taufan 7 Oktober) hingga rudal-rudal beterbangan dari jarak jauh―apapun itu adalah cara Palestina mempertahankan tanahnya dari kolonialisme-pemukim Israel. Di luar Palestina marak aksi damai, yang tak kalah elegan, seperti: Boycott, Divestment, Sanction (BDS) sebagaimana sebagiannya telah ditunjukkan oleh demo-demo mahasiswa di Amerika, Barat, dan belahan bumi lainya–maupun perlawanan melalui sandal jepit, semuanya adalah sah!

Protes-protes mahasiswa, dosen, profesor dan civitas academia di kampus-kampus elit Amerika yang menduduki kampus dengan cara “camping melawan”, telah menular ke negara-negara Barat dan lainnya. Sebut saja Inggris, Prancis, Belanda, Jerman dlsb., telah mengalami hal yang sama. Bukan hanya aksi, metode dan tuntutan mereka yang mirip (gencatan senjata permanen, divestasi, anti-genosida, anti-apartheid dan anti-zionisme) tetapi juga represifitas aparat yang brutal yang sungguh tak jauh berbeda dari tempat satu dengan tempat lainnya. Namun, bentuk perlawanan tak bisa tunggal, dia bisa sangat beragam dan kaya. Entah itu dilakukan rakyat Palestina maupun yang berada di luar Palestina. Dari pendekatan militeristik, aksi damai, hingga aksi kreatif.

Kisah ini bermula saat perayaan hari Al-Quds. Hari penting di mana menjadikan hari Jumat terakhir di bulan Ramadhan sebagai aksi solidaritas serentak seluruh dunia untuk memperingati, menyuarakan, perlawanan Palestina. Tentu saja di sana terdapat berbagai bentuk aksi, tapi pada umumnya diadakan longmarch di sejumlah negara. Pasca kemenangan revolusi Islam 1979 di Iran, Imam Khomeini, sosok penting di balik revolusi Islam Iran itu adalah pencetus ide hari Al-Quds. Saya sendiri mencoba memeriahkannya dengan cara lain: mengukir bendera Israel (di sisi kiri) dan menuliskan kata ”zionis” (di sisi kanan) di sepasang sandal jepit swallow berwarna putih-hijau yang baru seminggu dibeli di toko kelontong kampung sebelah.

Proses pembuatan kaligrafi di sandal itu melalui tahapan ritual reflektif yang kritis. Pertama-tama, saya membuat sketsa pada bidang yang putih di sepasang sandal dengan menggunakan spidol. Namun saat itu saya membayangkan tintanya adalah darah para syuhada. Selanjutnya saya mengukirnya dengan besi panas panjang yang kecil seolah itu adalah senjata yang menghujam tubuh kekuasaan Israel. Besi itu saya panaskan hingga lempengnya berwarna merah, yang kemudian sedikit demi sedikit bukan saja telah membersihkan tinta di sandal tapi juga karet-karet putih yang sebelumnya berpola di atas sandal itu ikut terkelupas sebagaimana kulit-kulit anak-anak Palestina yang gosong akibat terbakar rudal pesawat tempur Israel. Asap yang mengepul dari ukiran itu menguarkan bau angus sebagaimana saya mencoba membayangkan bagaimana bau angus jasad-jasad manusia di Gaza.

Alkisah sandal swallow propaganda saya pun jadi. Sebagaimana selemah-lemahnya perlawanan, ini adalah bentuk kecil tindakan perlawan saya. Akhirnya sandal itu saya gunakan ke mana-mana, ditengok dengan ragam ekspresi dan perasaan oleh orang-orang dan, terparkir di tempat yang strategis. Masjid. Tempat di mana ada banyak mata yang akan menatapnya.

Singkat cerita, Ketika hari-hari Ramadhan akan pergi sandal itu masih ada dan masih saya kenakan sebagai alas kaki berangkat-pulang salat tarwih di masjid. Biasanya, sandal itu berbaris di bawah tangga masjid berjejer setengah rapi (agak kacau) dengan sandal-sandal jamaah lainnya. Ya, sandal itu memang mengundang perhatian. Kata-kata “zionis” dan bendera Israel sangat mencolok ketika berdampingan dengan sandal-sandal lainnya.

Hingga tiba 1 Syawal (yang pada akhirnya Nahdlatul Ulama bisa berbarengan dengan Muhammadiyah yang sebelumnya lebih dahulu telah menetapkan), tepatnya usai salat Idul Fitri. Saat ribuan jamaah berduyun-duyun mengantre keluar dari Masjid Agung dan, tentu saja juga mengantre mengenakan sandal masing-masing, di saat itu pula rasanya tinggal saya sendiri di barisan akhir dengan sikap kebingungan, mencoba memeriksa lebih teliti lagi setiap sudut di bawah tangga masjid. Nihil. Sandal propaganda anti-zionis saya hilang.

Walhasil saya pulang dengan kaki telanjang. Namun, dalam benak saya terisi pertanyaan-pertanyaan. Hingga kini hal itu yang mendorong alasan tulisan ini dibuat. Setidaknya saya memilik beberapa analisis dan kesemuanya bukan berarti tak memiliki keterhubungan dengan polarisasi nitizen kita khususnya dalam menanggapi genosida Palestina di media sosial.

Pertama, sandal itu hilang dicuri karena sang pencuri suka dengan ukirannya. Model orang seperti ini kira-kira dia punya kesamaan prinsip anti-zionis dan, ingin melanjutkan propaganda anti-zionis. Kesempatan emas yang ada di depan mata dan faktor irit modal bisa jadi motivasi besar ia melancarkan aksi ini.

Kedua, sandal itu hilang dicuri oleh sang pencuri yang tak punya sandal karena sandalnya sebelumnya juga telah hilang di masjid yang sama. Tipe manusia seperti ini sejenis orang yang cepat balas dendam. Tapi agak janggal. Di antara ribuan pasang sandal, mengapa hanya sandal propaganda saya yang ia ambil? Apa benar sekadar kebetulan?

Ketiga, sandal itu hilang dicuri mungkin oleh orang yang masuk kategori golongan “intelektual-influencer Israel” (semacam Luthfi Assyaukanie, Monique Rizker, Saidiman Ahmad, Sumanto Al Qurtuby, dlsb.) karena tak suka dengan propaganda anti-zionisme. Bisa jadi orang-orang dan tipe-tipe mereka yang gencar memproduksi narasi dan demonisasi atas perlawan Palestina, bereaksi dengan gesit ketika melihat sandal anti-zionis saya.

Keempat, sandal itu hilang dicuri oleh orang yang juga sama-sama anti-zionis. Dia mungkin menganggap sandal itu malah mempromosikan zionisme, karena ada lukisan bendera Israel dan “zionis” pada sol sandal. Tipe yang begini biasanya orang-orang reaksioner yang gagal paham, malas berpikir, apalagi diskusi.

Kelima, agak mirip dengan yang keempat tapi kadarnya sedikit lebih ekstrim. Sandal itu tidak dicuri. Tapi digunakan sebagai barang bukti bahwa saya pecinta zionis kemudian menunggu saya di tangga masjid yang sedang mencari sandal itu, lalu mencoba memberikan pelajaran buat saya (misal seperti:bogem mentah), tapi karena mungkin orang tersebut bimbang untuk menhardik saya, sandal itu kemudian dibuang di tempat sampah atau di tempat manapun yang terhindar dari pandangan orang banyak atau ke tempat yang paling tidak terhormat maupun sejenisnya.

Kisah sandal saya barangkali hanya asumsi pribadi yang terlalu hiperbolik. Terlalu lebai, mencak-mencak, dan penuh khayalli. Tapi kenyataan sikap masyarakat dunia yang terpolarisasi tidak bisa terbantahkan. Diskursus Palestina memunculkan masyarakat dunia yang menginginkan solusi two-state Vs solusi one-state. Mereka masing-masing memiliki dalih yang kuat tapi juga utopis. Atau, masyarakat muslim yang setuju dengan aksi-aksi negara muslim poros muqawamah/perlawanan (Iran, Irak, Yaman, Lebanon) vs negara-negara muslim yang punya normaliasi dengan Israel (Arab Saudi, Mesir, Yordania, Turkiye, Uni Emirat Arab dan negara Teluk/monarki Arab lainnya), yang cukup menggangu perjuangan kemerdekaan Palestina.

Operasi janji Sadiq Iran yang meluncurkan ratusan rudalnya ke jantung pangkalan udara IDF misalnya, sebagai respon sebelumnya atas pemboman konsulat Iran di Suriah yang menewaskan beberapa petinggi militernya. Israel melancarkan serangan tersebut karena memang Israel sangat berhasrat memerangi Iran, terlebih karena keterlibatan Iran yang mendukung penuh berbagai perlawanan bangsa Palestina. Yang tak kalah seru, hal ini juga direspon beragam oleh masyarakat muslim di Indonesia. Dan lagi-lagi, narasi yang mencuat sangat tidak produktif: mengulik-ulik perbedaan mazhab.   

Perbedaan pandang dan keberpihakan umat muslim Indonesia terhadap Palestina terseret dalam dinamika polarisasi di atas. Perdebatan Sunni-Syiah adalah salah satu perdebatan yang sungguh melelahkan dan, di banyak peristiwa tak ada korelasinya tapi dipaksa dihubung-hubungkan. Kita bisa menyimak banyak percakapan dan ulasan setiap perlawanan Iran atas Israel dipandang pura-pura/taqiyah oleh kaum muslim yang mendaku paling sunnah, alias wahabi, mazhab resmi kerajaan Saudi Arabia.

Polarisasi adalah ujian yang bukan remeh temeh di setiap perjuangan. Jangankan pihak luar, sesama faksi di Palestina seperti Hamas (dan faksi lainnya) yang memilih jalan perlawanan dan Fatah sebagai Otoritas Palestina (PA) yang lebih memilih gerakan lobyloby ketimbang perlawanan (sikapnya yang terkondisikan di bawah otoritas Israel) pun saat ini sangat mengganggu kosentrasi perjuangan kemerdekaan Palestina.

Pembacaan geopolitik yang cukup bukan dengan perdebatan mazhab yang pengap adalah kunci memahami jalan pembebasan Palestina. Jahiliyah memang bukan terletak pada generasi di massa tertentu, tapi sikap mereka yang ajek, stagnan, dan tak bergerak ke arah perubahan yang lebih baik. Perjuangan Nabi saw., yang utama ialah memerangi jahiliyah. Yakinkah kita jika perdebatan mazhab yang pengap itu bukanlah salah satu dari ciri sifat jahiliyah?

Entah itu gerakan yang dilakukan oleh bangsa Palestina sendiri maupun mereka yang berada di luar Palestina, siapapun itu boleh melawan. Tidak harus muslim, apalagi sunni. Jangankan syiah, orang-orang non-muslim, yahudi, agnostik, ateis atau siapapun yang berdiri bersama Palestina dan melawan pendudukan Israel adalah sah. Hanya ada satu alasan yang paling bisa menyatukan perdebatan antar mazhab mengapa kita harus membela gerakan perlawanan Palestina: Genosida.

Genosida adalah perilaku paling biadap melebihi iblis. Tepat hari ini (15 Mei), peristiwa An-Nakba (1948) menjadi penanda awal genosida di Palestina yang dilakukan oleh Israel. Genosida Palestina adalah rangkaian dari kolonialisme-pendudukan. Sebagaimana yang pernah terjadi atas Aborigin di Australia, Maori di Selandia Baru, dan Indian di Amerika. Genosida Palestina adalah golongan genosida paling menyeramkan yang pernah ada di dunia.

Genosida Palestina adalah genosida pertama yang bisa disaksikan secara langsung oleh masyarakat seluruh dunia dengan ketakberdayaan dan segala macam kelemahan orang-orang Palestina juga bagi kita yang melihatnya. Setiap hati manusia normal sudah pasti teriris. Sulit untuk tidak berpihak pada Palestina. Saya tak tahu alasan mereka yang masih mendukung penjajahan Israel itu apakah di dalam hatinya telah digelayuti jelaga yang sangat besar sehingga bisa menutup nurani kemanusiaannya dan nalar berpikirnya.

Di akhir tulisan ini saya ingin mengatakan: gerakan melawan genosida rupanya juga mendapatkan perlawanan oleh stigma dan bisa berujung genosida. Stigmatisasi gerakan sangat dekat dalam riwayat kita. Akibatnya bisa sangat fatal. Pembantaian massal 1965 di Indonesia adalah hasil dari stigma yang berulang-ulang dilakukan, dirawat, dan akhirnya dipercayai. Kemudian menjadikannya dalih untuk menyingkirkan orang-orang kiri.  

Untuk melawan jiwa yang gelap seperti zionisme, apapun itu harus dilakukan. Jangankan sandal, serangan rudal Iran yang diluncurkan dari jarak 1.770 kilometer lebih (setara jarak Inggris ke Ukraina) itu saja masih harus kena stigma yang brutal. Sebagaimana stigma anti-zionis yang dianggap anti-semit. Tapi, inilah wahana perlawanan yang paling mendebarkan. Dan pada akhirnya di sana akan timbul semacam dialektika.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0