Oleh: Nuh Izzulhaq
Stunting adalah gangguan tumbuh kembang yang dialami anak akibat gizi buruk, infeksi berulang, dan stimulasi psikososial yang tidak memadai yang ditandai dengan panjang atau tinggi badannya dibawah standar (World Health Organization,2015). Salah satu indikator stunting adalah bedasrkan pada indeks panjang badan per umur (PB/U) atau tinggi badan per umur (TB/U) dan berat badan per umur (BB/U) dimana dalam standar antropometri penilaian status gizi anak, hasil pengukuran tersebut berada pada ambang batas. Antropometri digunakan untuk melihat ketidakseimbangan asupan protein dan energi (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2017). Faktor penyebab stunting terbagi menjadi dua jenis yaitu langsung dan tidak langsung.
Faktor penyebab langsung terdiri dari pemberian ASI ekslusif (6 bulan), pola konsumsi anak dan si ibu, gizi anak dan si ibu dan penyakit infeksi yang diderita anak dan si ibu. Sedangkan faktor tidak langsung terdiri dari rumah dengan air dan sanitasi yang bersih, lingkungan yang sehat seperti keluarga yang tidak merokok, tidak padat hunian, dan akses dan ketersediaan bahan makanan.
Permasalahan stunting harus ditangani dengan serius. Karena stunting merupakan penyakit kronis yang berdampak pada perkembangan dan pertumbuhan anak. Anak yang mengalami stunting akan menurun kemampuan dari perkembangan kognitif, motorik, dan verbal sehingga pertumbuhan dan perkembangan tidak akan optimal. Selain itu anak yang menderita stunting akan lebih berisiko untuk terkena diabetes dan penyakit lainnya saat dewasa.
Melihat dampak dari stunting diatas, jika penyakit stunting tidak ditangani, dalam jangka waktu yang panjang akan terjadi penurunan kapasitas intelektual, performa dan produktivitas serta kapasitas kerja di suatu populasi negara. Hal ini sangat membahayakan suatu perkembangan negara yang banyak terdampak stunting karena akan mempengaruhi daya saing sumber daya manusia dengan negara lain.
Di Indonesia, salah satu fokus utama pemerintah di bidang kesehatan adalah masalah stunting. Hal ini bertujuan untuk memuwujudkan Indonesia emas 2045 dengan salah satunya caranya menangani penyakit stunting. Jika dilihat data hasil dari Riskesdas terjadi penurunan sekitar 7% yang tadinya 37,6% pada 2013 menjadi 30,8% pada 2018. Selanjutnya Kementerian
Kesehatan mengumumkan hasil dari Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) yang dimana hasilnya menunjukkan bahwa stunting di Indonesia mengalami penurunan yaitu dari 24,4% pada 2021 menjadi 21,6% pada 2022. Namun angka ini masih di bawah standar atau batas ambang yang ditetapkan oleh World Health Organizatiton yaitu sebesar 20%.
Pemerintah menargetkan angka stunting pada tahun 2024 adalah sebesar 14%. Target tersebut ditentukan karena pemerintah akan memprediksi adanya bonus demografi yang diprediksi pada tahun 2030-2045 yang dimana Indonesia akan didominasi oleh penduduk dengan usia produktif. Oleh karena itu pemeritantah melakukan beberapa cara untuk melakukan penanganan dan perecenanaan stunting. Salah satunya adalah melakukan sebelas intervensi spesifik khusus fokus pada stunting yang difokuskan pada masa sebelum kelahiran dan anak usia 6-23 bulan. Pada remaja putri: skrining anemia dan konsumsi tablet tambah darah, pada ibu hamil: pemeriksaan kehamilan, konsumsi tablet tambah darah, dan pemberian makanan tambahan bagi ibu hamil kurang energi kronis, pada balita: pemantuan pertumbuhan balita, ASI ekslusif, pemberian MPASI kaya protein hewani bagi baduta, tata laksana balita dengan masalah gizi (Weight faltering, underweight, gizi kurang, gizi buruk dan stunting), peningkatan cakupan & perluasan imunisasi dan Edukasi remaja, ibu hamil, dan keluarga termasuk pemicuan bebas Buang Air Besar Sembarangan (BABS) (Badan Kebijakan Pembangunan Kesehatan Kementrian Kesehatan RI (2023). Pemerintah juga mengeluarkan Perpres nomor 72 tahun 2021 tentang Percepatan Penurunan Stunting dengan 5 pilar. Pilar pertama adalah komitmen, pilar kedua adalah pencegahan stunting, pilar ketiga harus bisa melakukan konvergensi, pilar keempat menyediakan pangan yang baik, dan pilar kelima melakukan inovasi terobosan dan data yang baik. Selain itu, Kementerian Agama mengeluarkan kebijakan untuk 3 bulan sebelum menikah, calon pengantin harus diperiksa dulu kalau ada anemia dan kurang gizi diimbau menunda kehamilan dulu demi kesehatan ibu dan bayi sampai gizi tercukupi.
Pemerintah sudah membuat dan melakukan program untuk pencegahan dan penanganan stunting dengan baik. Namun dalam realitanya masih ada beberapa kendala saat penanganan dan pencegahan yang dilakukan oleh pemerintah. Diantaranya yaitu rendahnya atau kurangnya SDM di Dinas Kesehatan atau di puskesmas dan posyandu sehingga banyak program yang tidak sesuai dengan yang diinginkan dan membuat SDM hanya mengerjakan
pekerjaannya saja, tidak memikirkan dan mencetuskan kreatifitas atau inovasi untuk membuat program – program terkait penanggulangan dan pencegahan stunting agar terserap dengan maksimal dan optimal. Lalu, masih kurangnya promotif, advokasi dan diseminasi mengenai program penanggulangan stunting, keterlambatan pencairan dana bantuan operasional kesehatan (BOK) yang masih ditemui dibeberapa puskesmas sehingga banyak vitamin atau tablet tambah darah yang kekurangan di tingkat puskesmas atau posyandu, dan tidak meratanya fasilatas kesehatan di Indonesia atau masih banyak terjadi ketimpangan alat kesehatan di wilayah 3T. Selain itu dari kalangan masyarakat juga masih belum teredukasi atau masih abai terhadap pentingnya kasus stunting ini, sehingga banyak ibu-ibu yang masih tidak peduli terhadap kesehatan dari ibu sendiri atau anaknya.
Sebelum berbicara tentang makan siang dan susu gratis, langkah pertama adalah memisahkan terlebih dahulu, mau mencegah stunting atau mengatasi anak yang sudah terkena stunting. Jika ingin mencegah stunting, sama seperti intervensi yang dilakukan oleh pemerintah sekarang yaitu caranya bahkan harus sejak remaja putri. Berikanlah edukasi atau pendidikan yang tinggi, jangan sampai remaja putri mengalami anemia defisiensi besi, kemudian jangan menikah di usia dini karena remaja putri cenderung akan melahirkan bayi prematur yang menjadi penyumbang 20 persen terjadinya stunting hal ini juga sudah dianjurkan oleh Kemetrian Agama. Lalu sebelum menikah, sebaiknya pemerintah atau orang tua dari pasangan muda mengedukasi terlebih dahulu tentang pola hidup sehat, tentang menjadi orangtua yang bertanggungjawab, tentang parenting yang baik, sehingga saat mempunyai anak nanti sudah bisa mengasuhnya dengan baik dan tidak kaget atau mengalami baby blues. Alangkah lebih baik untuk pasangan muda ini juga disediakan rumah dengan air dan sanitasi yang bersih, tidak padat hunian, ayah atau keluarga dan lingkungan yang tidak merokok, dan kepala keluarganya harus punya pekerjaan supaya bisa memenuhi kebutuhan pangan keluarga walaupun hal ini sangat susah dipenuhi oleh pemerintah. Ketika sang ibu hamil, pastikan sang ibu menjaga kesehatannya serta kontrol sesuai jadwal ke dokter atau puskesmas untuk mengecak kesehatan sang ibu dan bayi seperti tidak anemia, nutrisi terjaga. Selain itu sang ibu juga harus makan dengna menu gizi seimbang, hindari dari paparan asap rokok, dan segera ke sarana kesehatan bila ada keluhan. Saat bayi lahir, pastikan bayi bisa inisiasi menyusui dini (IMD), mendapatkan ASI eksklusif dan makanan pendamping ASI atau MPASI yang benar, lengkapi imunisasi, dan pemantauan yang benar. Begitulah berbagai cara untuk mencegah stunting yaitu dimulai dari sang calon ibu dari remaja putri sampai ana berusia seribu hari kelahiran pertama. Nah kalau sudah terjadi stunting bagaimana? Jika ingin mengurangi resiko dari stunting terutama
berkaitan dengan IQ anak, maka harus segera diatasi sebelum usianya 2 tahun. Ada literatur juga yang mengatakan IQ nya bisa ditolong sampai usia 5 tahun bahkan 9 tahun, tetapi tentu sudah cukup terlambat, tidak bisa kembali seperti potensi awalnya.
Lantas bagaimana cara mengatasi anak yang sudah terkena stunting? Apakah pemberian susu dan makan siang gratis menyelesaikan masalah? Kebanyakan penyebabnya adalah anak menjadi stunting hanya karena kebiasaan makan yang salah. Begitu dibetulkan pola makan dengan konsisten, disarankan diberi protein hewani pangan lokal sesuai rekomendasi, akhirnya BB nya naik dan TB nya juga ikut naik. Jadi apakah susu menjadi solusi? Belum tentu. Bagaimana kalau anaknya ternyata gizi buruk? Perlu diingat bahwasannya gizi buruk dan stunting sangat berbeda. Kemudian bagaimana kalau sang anak ternyata tidak suka susu dan alergi susu atau intoleran laktosa? Ini juga kendala utama. Apa dampaknya jika kita menggeneralisir semua anak diberi susu dan makan gratis? 1. Kalau ternyata anaknya overweight atau bahkan obese, pemberian susu malah bisa menambah kasus obesitas. 2. Jika ternyata sang anak mempunyai intoleran laktosa maka yang terjad adalah anaknya mengalami gangguan pencernaan. 3. Cara untuk memerikkan makan terhadap anak stunting juga tidak boleh sembarangan. Ini juga harus dibedah lagi lebih dalam. Kalau anaknya sudah diatas 5 tahun atau diatas 9 tahun, ya sudah terlambat untuk mencegah stunting, IQ sang anak sudah tidak bisa meningkat dengan pesat. Kemudia jenis makanan apa yang diberikan? Kalau isinya nasi kerupuk, tahu, dan kecap ya mana bisa mencegah stunting, tidak ada protein hewaninya sama sekali. Bahkan didalam rencana program makan siang dan susu gratis mengatakan bahwasannya program makan siang gratis menggunakan dana sebesar 1 triliun perhari dengan sasaran 82,9 juta penerima. Kalau kita bedah lebih lanjut maka perorang akan mendapatkan makan siang gratis senilai 12 ribu rupiah. Pertanyaannya makan seperti apa yang akan didapatkan, belum lagi jika dananya dikorupsi di tingkat provinsi, kabupaten dan desa.
Jadi apakah program pemberian susu gratis dan makan gratis bisa jadi solusi stunting?
Dengan penjelasan panjang kali lebar diatas semoga bisa disimpukan sendiri, kompleksnya isu stunting ini dan betapa pentingnya memahami akar persoalan supaya solusinya bisa tepat sasaran.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!