Subjektivasi dan Relasi Kuasa
Pada dasarnya, pengertian kita tentang diri kita sendiri, yakni, manusia, tidak serta merta muncul secara tiba-tiba dalam benak kita sendiri, pendek kata—pemahaman mengenai manusia merupakan hasil dari penyerapan kita terhadap suatu simbol, bahasa atau gambar yang disodorkan terhadap kita. Asal-usul manusia yang terpotret dalam cerita Adam-Hawa, tentunya kita ketahui setelah diberitahu atau kita mencari tahu. Begitu pun pengetahuan tentang manusia dalam sisi biologis, dan lain-lain. Artinya, pemahaman-pemahaman semacam itu tidaklah tertanam secara default dalam benak kita sedari awal lahir, melainkan tertanam melalui konsep-konsep yang disuntikan kepada kita. Proses ini dinamakan subjektivasi atau subjeksi.
Proses subjektivasi atau subjeksi berupa penanaman atau internalisasi nilai-nilai maupun konsep tertentu terhadap individu, ia menyusup melalui simbol (bahasa, gambar, dan lain sebagainya). Sebab, bahasa merupakan sebuah perangkat untuk memotret realitas, bahkan Ludwig Wittgenstein menyebutkan bahwa manusia hanya bisa berpikir melalui bahasa atau gambar. Maka, tanpa bahasa, kiranya manusia akan sukar untuk memahami realitas, termasuk mengenai dirinya sendiri.
Kerangka pemikiran tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa pengertian atau keyakinan kita tentang manusia itu merupakan hasil dari rangkaian konsep yang diformulasi lewat bahasa atau gambar lalu ditransmisikan kepada kita. Dari proses tersebutlah, keyakinan-keyakinan atau pandangan hidup, dan lain sebagainya tertanam. Sialnya, bahasa bukanlah hal yang niscaya dalam kenetralanan. Ia tak luput dari cengkeraman relasi kuasa.
Melalui bahasa pula, hal-hal bermuatan ideologi ditransmisikan. Proses transmisi atau internalisasi nilai ideologi yang dilakukan oleh kekuaaan itu—oleh Gramsci disebut sebagai hegemoni. Menurut Althusser, yang berperan dalam penghegemonian dikerjakan oleh Ideologi State Aparatus (ISA) yang tidak mengerahkan praktik koersif (kekerasan, pemaksaan lewat cara-cara fisik) dalam proses penguasaan, melainkan melalui cara internalisasi nilai. Hal tersebut dilakukan agar apa-apa yang dilakukan oleh mereka yang tengah berkuasa, dapat terlegitimasi oleh khalayak umum.
ISA ini terdiri dari institusi pendidikan, agama, dan lain sebagainya. Pada institusi pendidikan formal, hal tersebut terlihat dalam budaya liberalisme yang getol digaungkan. Semisal, pemilihan sikap ketika menyaksikan korban dari kesenjangan sosial, tak jarang yang disalahkan ialah korban itu sendiri, dengan bersandarkan pada kurangnya si korban dalam berusaha secara individual. Sebab, jika berusaha dengan sekuat tenaga (kerja keras, mencari peluang atau semacamnya secara individu) dianggap dapat mengantarkan kita kepada kesuksesan (yang dicirikan dengan keberlimpahan harta). Ilusi tersebut kerap ditanamkan sangat kuat di benak masyarakat. Pertanyaannya, seberapa banyak Carnegie (Fenomena orang gembel menjadi jutawan) terjadi?
Sementara, analisis yang mengarah terhadap struktural (contoh: Menunjuk negara sebagai salah aktor yang memiliki tanggung jawab dari adanya kesenjangan sosial) tidak gencar diperkenalkan di institusi pendidikan formal (SD-SMP-SMA). Fenomena demikian menunjang kebenaran mengenai hal-hal suprastruktur atau ISA yang tidak lepas dari keterpengaruhan terhadap hegemoni wacana dominan.
Jika neoliberalisme yang menjadi dominan, maka nilai-nilai tersebutlah yang akan direproduksi oleh perangkat-perangkat kekuasaan. Mudahnya, nilai-nilai, budaya atau apapun sejenisnya, yang dapat memperlancar praktik neolib, maka itu yang akan ditransmisikan besar-besaran. Hal itu dilakukan agar bisa menyiapkan apa yang Althusser sebut sebagai “kesediaan kultural’’, pengertian mudahnya seperti mempersiapkan keahlian-keahlian, pandangan hidup, atau nilai tertentu yang dapat memperlancar laju roda nilai atau wacana yang tengah dihegemonikan.
Subjektivasi hegemoni ini telah berproses sedari kecil. Ia merasuk pula dalam wilayah manusia yang Freud, Lacan, dkk sebut sebagai wilayah ketidaksadaran. Konsekuensi ini dapat terjadi ketika hegemoni dapat betul-betul membubuhi benak para orang tua yang kemudian ditransmisikan kepada anak-anaknya.
Oleh sebab adanya hegemoni, maka budaya, nilai dan semacamnya erat dengan suatu rekayasa. Oleh karena itu, budaya ataupun suatu nilai tertentu yang dianggap sakral, perlu dipertanyakan ulang kesakralannya. Proses subjektivasi ini mendaratkan kita pada keraguan terhadap subyek itu sendiri. Pendek kata, subjek barangkali merupakan hasil dari bentukan hegemoni itu sendiri.
Jika dipandang melalui kacamata mengenai kerentanan subyek yang saya coba paparkan di atas, maka, mematrinya budaya pragmatis di benak masyarakat bukanlah suatu hal yang dipilih berdasarkan kesadaran penuh masyarakat itu sendiri. Bisa jadi, nilai tersebutlah yang umum ditemui di lingkungannya. Karena opsi mengenai pandangan atau nilai tertentu, daftar menunya rentan dipersempit oleh kondisi penghegemonian itu tadi. Maka tugas kaum intelektual ialah menyodorkan menu-menu alternatif, di luar menu yang disediakan oleh wacana dominan. Sebab, jika tidak, maka kemungkinan masyarakat mengetahui konsep-konsep hegemoni dan lain sebagainya—yang dapat mengantarkan pada pemikiran kritis, sangatlah kecil.
Untuk memastikan tahu atau tidaknya orang-orang, hal tersebut dapat diteropong melalui proses dialog. Maka praktik Turba (turun kebawah) yang syarat akan kelekatan interaksi secara intens dengan masyarakat, perlu dilakukan. Dari proses tersebutlah kita bisa mengetahui tentang pemahaman atau pemikiran masyarakat itu sendiri.