Oleh Luthfian Haekal (Pegiat Social Movement Institute)
Banalitas Penggunaan “Halal”
Banalitas disini yang saya maksudkan adalah keterlaluannya penggunaan cap halal untuk menarik minat konsumen muslim. Misalnya, pariwisata halal, kulkas halal, jilbab halal, dan lainnya. Memang halal adalah yang sangat penting bagi umat Islam, karena itulah tolok ukur ke-“Islam”-an.
Saya sebenarnya menunggu Nike dan Adidas mendapat cap halal. Karena, hal itu bisa memicu demo yang besar-besaran dan tentu saja dosa bagi kita semua. Mengapa? “Halal berasal dari hulu sampai hilir produksi,” begitu kata Al-Utsaimin. Pernah mendengar majalah Sedane? Majalah Perburuhan di Indonesia yang dikelola oleh buruh juga. Mereka menceritakan bagaimana penghisapan manusia atas manusia dilakukan.
Saya mengutip berita dari tagar.id:
“…dialami oleh buruh di PT Panarub Dwikarya Tangerang Banten. Di antara produk PT Panarub Dwi Karya adalah Adidas. 12 Juli mendatang, genap dua tahun penderitaan dan penyiksaan yang dialami. Dua tahun lalu, protes terhadap kesulitan mendapatkan cuti dan waktu istirahat yang cukup, bahkan untuk keperluan ibadah dan minum, berbuah penyingkiran.
Kami juga protes terhadap pembayaran upah minimum yang tidak sesuai dengan peraturan upah minimum. Buruh dibayar Rp 1.300.000 padahal ketetapan upah minimum Rp 1.682.000. Di setiap line produksi, dua orang buruh dipaksa menghasilkan 140 pasang sepatu per jam. Dalam delapan jam, dua orang buruh menghasilkan 1.120 pasang sepatu. Ini baru di satu pabrik. Silakan dikalikan dengan ribuan pabrik yang ada di Indonesia dan ditambah di Asia.
Tahukah Anda, jika buruh tidak mampu memenuhi target? Mereka akan dibentak, dicacimaki, dan dibuang. Layaknya barang usang. Masuk tong sampah.
Berkali-kali mengadu kepada perwakilan Adidas Indonesia. Apa yang dikatakannya. Departemen sosial dan lingkungan grup Adidas, Adelina Simanjuntak mengatakan, “Tidak hari ini, besok atau tahun depan, Adidas sudah tidak akan ikut campur dalam masalah buruh Panarub Dwikarya.” (Afifiyah, 2018)
Hingga sekarang persoalan 1.300 buruh PT Panarub Dwi Karya terkatung-katung tanpa penyelesaian. Seperti pada Kamis 15 Maret 2018 sebanyak 83 orang anggota Gabungan Serikat Buruh Indonesia beserta jaringan mengggelar demontrasi di Kedutaan Besar Jerman di Menteng, Jakarta Pusat. Mereka menuntut penyelesaian kasus 1.300 buruh PT Panarub Dwi Karya.
Apa tantangan pemberian cap halal hari ini?
Jika berhubungan dengan produksi tekstil atau komoditas lainnya, maka yang jelas adalah gerakan buruh. Si gerakan buruh mengalami aristokrasi seperti masa orde ba(r)u? Bagaimana keselamatan kerja si buruh? Apakah fetisme komoditas terjadi[1]? Kalau kata Kyai Muhammad Al-Fayyadl, Fetisme Komoditas adalah bentuk syirik dari Kapitalisme. Mengapa? Orang didorong untuk memuja barang-barang konsumsinya demi prestise dan tanpa gengsi kelas, tanpa mau tahu dari mana barang-barang itu berasal. Dari mana barang itu berasal? Dari keringat buruh.
Jika berhubungan dengan makanan daging, apakah animal welfare terpenuhi? Meskipun konsep soal animal welfare tetap perlu dikritik. Salah satu kritiknya, pendasaran eksploitasi terhadap hewan. Mungkin saja hanya upaya cuci tangan korporat-korporat yang mengabdi pada kapitalisme dan ekonomi neolib tentu saja. Singkatnya, kedok untuk eksploitasi. Lihat saja penjelasan dari Prof. John Sorensen yang diundang oleh BALAIRUNG.
Jika berhubungan dengan makanan lainnya, minyak dari mana? Perusahan sawit yang membakar dan mengusir masyarakat adat? Bagaimana dengan kesejahteraan tenaga kerjanya? Bagaimana dengan kerentanan yang ada di dalam dirinya? Bagaimana dengan –jika ada- gerakan buruh di dalamnya? Meskipun saya juga sudah pasti tidak bisa lepas dari gaya hidup yang dibentuk oleh neolib. Salah satu dosen pernah memberikan bahan ejekan kepada saya; “Makan pizza itu ghiroh kapitalismenya bukan dari power eksternal atau kekuatan dari pihak yang hierarkinya di atas. Tapi, justru sosok pemakan pizzanya itu yang secara internal dari dalam dirinya –terdidik oleh iklan dan ditertibkan oleh citra gengsi- memperkuat ghiroh kapitalisme dari makan pizza”.
Fetismu Apa? “Fetisisme Komoditas”
Pernah mendengar siklus M-C-M? Money-Commodity-Money? Siklus perputaran kapital. Hal itu bisa dibaca di Kapital jilid I atau malah mau baca Routledge Handbook of Marxian Economics. Dalam melakukan sirkulasi kapital, Kapitalisme memerlukan ruang untuk bekerja. Sirkulasi kapital ini karena adanya “krisis” dalam tubuh kapitalisme.
David Harvey, seorang ahli nujum bermazhab Marxis menggariskan dua solusi atas Kapitalisme yang sedang mengalami “overproduction dan kemandegan akumulasi kapital” melalui displacement kapital: 1) displacement spasial, dimana kapital diberdayakan untuk membuka infrastruktur kapitalisme di lokasi lain; dan 2) displacement temporal, dimana kapital dipergunakan sebagai investasi dalam proyek-proyek fisik dan sosial berjangka panjang, yang hasilnya hanya bisa diraup di masa depan.
Hampir lupa, Kapitalisme dalam tulisan ini bukan sekadar sistem sosial yang menghamba pada akumulasi kapital. Agar tidak sama dengan Hijab Alila yang mengeluarkan soal Kapitalisme, tapi bagiku minim referensi -bahkan tidak ada. Kata kunci untuk memahami kapitalisme adalah komodifikasi akibat meluasnya produksi komoditas barang dan jasa. Komodifikasi adalah proses yang dilalui agar elemen-elemen produksi dan reproduksi sosial bisa dihasilkan untuk, dan diperoleh dari, pertukaran pasar; dan elemen-elemen itu tunduk pada disiplin dan desakan pasar (Bernstein, 2015). Artinya, kapitalisme adalah proses dimana produksi barang dan jasa serta reproduksi sosial diciptakan melalui pertukaran pasar sekaligus tunduk pada nilai-nilai pasar itu. Perilaku baik pekerja dan kapitalis dikondisikan oleh nilai-nilai pasar yang utama: kompetisi, inovasi, produktivitas, profit dan akumulasi (Habibi, 2018).
Jadi, sudah jelaskan makna kapitalisme? Lantas, hubungannya dengan neoliberal apa? Neoliberalism is that it represents a new stage in the development of capitalism emerging in the wake of the post-war boom (Fine & Saad-Filho, 2016). Jadi, kepatuhan terhadap pasar adalah kunci untuk memahami neoliberal. Lanjutannya bisa dibaca ditulisan-tulisan Ben Fine atau Ha Joon Chang dan ekonom-ekonom lainnya.
Cap “Halal” dilekatkan untuk menarik minat Kelas Menengah Muslim (Fischer, 2011). Gaya hidup kelas menengah muslim ditunjang dengan komoditas “halal”. Oleh karenanya, pasar merespons dengan cap “Halal”. Namun, secara tidak sadar gaya hidup Kelas Menengah Muslim malah ditopang oleh neoliberalisme. Kepatuhan terhadap pasar menjadi kunci utama. Akhirnya, fetisme komoditas terjadi. Ya singkatnya seperti itu.
Masih tidak percaya?
“Business is doing well; so we expanded our business in Selangor so that we are nearer to our stockists; furthermore the market here is bigger. So, we have now 4 products; but of late we started to have product returns. Some customers queried us where is the halal logo… So, even though we had the halal logo from JAIN, but because the packaging (premise) is done here; we have to apply for JAKIM…” (Shariff & Lah, 2014)
Di atas kutipan untuk contoh kasus di Malaysia soal Coklat Halal. Kalau makanan, memang wajr jika ada cap halal. Lah, ini Jilbab Syar’i halal, kulkas halal, dan lainnya. Kata “syar’i” di dalam jilbab sebenarnya inheren dengan apa yang ada di dalam jilbab, ditambah dengan halal. Sasaran utama konsumen muslim dengan membentuk kepatuhan terhadap pasar dan memunculkan fetisme komoditas. Udah, gitu aja.
Mati kalian dikoyak-koyak neoliberal.
References
Afifiyah, S., 2018. Sisi Gelap Piala Dunia Upah Rendah Buruh Sepatu Adidas dan Nike. [Online] Available at: https://www.tagar.id/sisi-gelap-piala-dunia-upah-rendah-buruh-sepatu-adidas-dan-nik [Accessed 28 Maret 2019].
Armanios, F. & Ergene, B., 2018. Halal Food: A History. 1st ed. New York: Oxford University Press.
Bernstein, H., 2015. Dinamika Kelas dalam Perubahan Agraria. 1st ed. Yogyakarta: Insist Press.
Fine, B. & Saad-Filho, A., 2016. Thirteen Things You Need to Know About Neoliberalism. Critical Sociology, pp. 1-22.
Fischer, J., 2011. The Halal Frontier: Muslim Consumers in a Globalized Market. New York: Palgrave Macmillan.
Habibi, M., 2018. Petani dalam Lintasan Kapitalisme. [Online]
Available at: https://indoprogress.com/2018/04/petani-dalam-lintasan-kapitalisme/ [Accessed 28 Maret 2019].
Heryanto, A., 2018. Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia. Jakarta: KPG.
Janmohamed, S. Z., 2017. Generasi M: Generasi Muda Muslim dan Cara Mereka Membentuk Dunia. Yogyakarta: Bentang Pustaka.
Jati, W. R., 2015. Islam Populer Sebagai Pencarian Identitas Muslim Kelas Menengah Indonesia. Teosofi: Jurnal Tasawuf dan Pemikiran Islam, 5(1), pp. 139-163.
Jati, W. R., 2015. Sufisme Urban di Perkotaan: Konstruksi Keimanan Baru Kelas Menengah Muslim. Jurnal Kajian & Pengembangan Manajemen Dakwah, 5(2), pp. 175-199.
Jati, W. R., 2016. Membaca Kelas Menengah Muslim Indonesia. Jakarta: LP3ES.
Laclau, E., 2005. On Populist Reason. 1st ed. London: Verso.
Madjid, N., 1995. Islam Agama Peradaban. Jakarta: Paramadina.
Marx, K., 2003. The Eighteenth Brumaire of Louis Bonaparte. New York: The Socialist Labor Party of America.
Murtadho, R., 2018. Hijrah dan Komitmen Keberpihakan. [Online]
Available at: https://islambergerak.com/2018/09/hijrah-dan-komitmen-keberpihakan/ [Accessed 28 Maret 2019].
O’brien, J., 2017. Keeping It Halal: The Everyday Lives of Muslim American Teenage Boys. New Jersey: Princeton University Press.
Riaz, M. N. & Chaudry, M. M., 2003. Halal Food Production. Florida: CRC Press.
Shafie, S. & Othman, M.-N., 2003. Halal Certification: An International Marketing Issue and Challenges. [Online] Available at: http://www.ctw-congress.de/ifsam/download/track_13/pap00226.pdf [Accessed 28 Maret 2019].
Shariff, S. M. & Lah, N. A. A., 2014. Halal Certification on Chocolate Products: A Case Study. Procedia – Social and Behavioral Sciences, Volume 121, pp. 104-112.
Utomo, A., Utomo, I. & McDonald, P., 2018. The other millennials. [Online]
Available at: https://www.insideindonesia.org/the-other-millennials
[Accessed 28 Maret 2019].
Weber, M., 2006. Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
White, G. R. T. & Samuel, A., 2013. Fairtrade and Halal Food Certification and Labeling: Commercial Lessons and Religious Limitations. Journal of Macromarketing, 36(4), pp. 388-399.
Wilson, I. D., 2015. The Politics of Protection Rackets in Post-New Order Indonesia. New York: Routledge.
Yousef, D. K., 2010. Halal food numbers look tasty. [Online] Available at: https://gulfnews.com/business/halal-food-numbers-look-tasty-1.679007[Accessed 28 Maret 2019].
[1] Fetisme Komoditas yang saya maksud bukan seperti Freud yang menampilkan soal seksualitas, misal fetismu botol kecap, jilbab, atau apa gitu. Apa yang dimaksud lebih ke penuhanan terhadap komoditas.
Komentar ditutup.