SMI, Kontroversi & Anak Muda

Manusia begitu mirip, pada segala zaman dan di semua tempat, sehingga sejarah tak memberitahu kita apa-apa yang baru atau ganjil. Kegunaan utama sejarah hanya menemukan kaidah-kaidah hakikat manusia yang tak berubah dan berlaku untuk semua. (David Hume)

Kita membutuhkan sejarah bukan terutama untuk memahami dan menerangkan masa lalu, melainkan untuk membantu kita memahami diri sendiri dalam upaya membangun masa depan’. (Allan Bloom)

12 tahun yang lalu saya mendirikan SMI (Social Movement Institute). Bersama dua orang yang kini sudah pergi. Yang satu dipanggil Tuhan dan satunya dipanggil proyek. Dari awal tak banyak orang percaya akan kekuatan progresif anak muda. Lapisan yang punya keyakinan dan keberanian untuk membuat perubahan. Sejak awal saya percaya kalau anak muda adalah kekuatan politik yang penting. Saat pertama kali mendirikan SMI saya menulis buku Bangkitlah Gerakan Mahasiswa. Suara protes yang terekam dalam buku itu memercikkan semangat pada anak muda untuk menjadi militan. Buku ini dibajak berulang kali bahkan menjadi buku wajib Ospek di beberapa kampus. Tiga tahun kemudian, ketika menulis buku Bergeraklah Mahasiswa! saya menyatakan hal yang sama. Sampai sekarang keyakinan itu tak pernah berkarat.

SMI saat itu lahir kemudian tumbuh dengan keyakinan sederhana: menghidupkan iklim kekeluargaan dan berorganisasi. Tiap anak muda datang, kami selalu percaya bahwa mereka akan menjemput mimpi baru. Seorang ketua BEM datang untuk berbagi program lalu SMI membantunya untuk mewujudkan. Hanya dengan menghadirkan narasumber, sedikit membantu snack lalu mereka menghadirkan ratusan mahasiswa. Getar forum yang dibawakan oleh SMI mengalirkan kesadaran kritis hingga merekatkan banyak anak muda untuk bergabung di dalamnya. Dari sanalah banyak aktivitas politik tumbuh dan berlipat. Jika saya sebut satu persatu nama, rasanya halaman ini tidak lagi bisa memuatnya. SMI selalu percaya kalau anak muda punya gagasan berani dan dibutuhkan organisasi yang membantu mewujudkannya.

Tak ada seleksi untuk jadi anggota SMI. Hanya karena sering bertandang ke sekretariat maka seorang bisa disebut sebagai anggota SMI. Sifat cair SMI membuat semua orang dapat masuk lalu keluar kemudian tetap bisa datang kembali. Ini organisasi memang saya susun bukan dengan keterbukaan tapi kepercayaan. Melalui kepercayaan SMI tak ingin membuat seseorang tertambat hatinya lalu menginginkan tinggal disana selamanya: SMI hanya sebuah tempat pemberhentian sementara. Anak muda dari seluruh Indonesia singgah, menemukan pengalaman disana kemudian memutuskan untuk mencari petualangan baru. Yang ditanamkan bukan kepatuhan apalagi keterikatan tapi perasaan untuk menikmati pengalaman yang baru. Tapi mustahil jika tiap hari menjadi ‘yang baru’ kalau tidak ada iklim yang memberi anak muda kebebasan. Dari kultur pembebasan itulah SMI banyak mengorbitkan anak-anak muda.

Ada anak muda yang kini tumbuh menjadi politisi. Beberapa diantara mereka bekerja jadi pegawai negeri. Menyusul ada yang sekolah ke luar negeri. Bahkan beberapa menjadi pengajar di kampusnya sendiri. Malah ada seorang yang akhirnya menjadi bintang film. Tentu ada juga yang jadi petani, penjual buku, pengusaha hingga menantu seorang ulama. Kemudian ada yang merintis jadi pendidik bahkan ada yang konsisten menjadi aktivis. Dua belas tahun saya merawat mimpi itu dan kini ada banyak lapis anak-anak baru yang sedang merintis jalan yang sudah dilalui oleh kakak-kakaknya. Saya bangga, bersyukur dan terharu karena pernah bersama sama dengan mereka. Rumah SMI seperti sebuah perahu yang berusaha untuk melawan gelombang waktu: ada yang tetap bertarung dengan samudera tapi ada juga yang memilih untuk berlabuh.

Maka rumah SMI terus  membuka pintu yang lebar untuk siapa saja yang berani. Suatu saat SMI dengan yakin menyiarkan sidang IPT 65 yang berbuah penyerbuan. Lain kali SMI memutar film Iran yang berakhir dengan pengepungan. Di lain waktu SMI dituduh jadi sarang teroris karena sering membezuk napi ke Nusakambangan. Bahkan ada saat dimana SMI dianggap sebagai penghasut hingga acaranya tiba tiba dilarang oleh kampus. Kontroversi adalah wajah lain dari SMI. Anak-anak muda yang ada di dalamnya memang dicirikan dalam sikapnya yang berani, anti militerisme dan setia pada isu korban. Kami mewujudkan aksi kamisan di Yogyakarta setelah menampung gagasan untuk membuat aksi mingguan. Secara rutin SMI kemudian mengawal aksi kamisan di Tugu selama lebih dari 10 tahun. Pada saat itulah SMI mulai merawat hubungan yang abadi dan panjang dengan KontraS. Disusul dengan organ gerakan HAM lainnya. SMI mengajak anak muda untuk menemukan makna keberaniannya.

Mungkin tidak panjang waktu 12 tahun, tapi SMI menjadi saksi dari anak-anak muda yang tumbuh, bergerak dan kemudian mengembangkan diri. SMI bergulat dalam aktivitas yang kaya: pendidikan, pengorganisiran hingga pertemuan politik terbuka. Semua dikerjakan dengan energi berlebih dan kolaborasi dengan berbagai organisasi. Demi melakukan itu semua, mula-mula SMI dibantu dana sedekah dari lembaga pendidikan yang sudah muncul lebih dulu. Uang bantuan itu dibagi untuk SMI dan keperluan lembaga pendidikan di 6 tahun awal perjalanan. Ditambah dengan uang rumah tangga yang kami tanamkan. Disusul sumbangan dari pemilik pondok pesantren sebesar dua juta rupiah untuk daftar notaris saat itu. Bahkan beras SMI kala itu diberikan oleh seorang pengurus PP Muhammadiyah. Singkatnya, 10 tahun SMI berdikari dengan cara itu. Ada yang tak percaya tapi lebih banyak yang meyakini ketika mereka pernah menjadi penghuninya.

Rekaman apa yang terjadi saat itu persis seperti yang dilukiskan oleh John Steinbeck dalam novelnya Dataran Tortilla. Novel wajib semua anak SMI untuk menikmati keindahan berteman, bersolidaritas dan berfikir gila. Menjelmalah SMI sebagai rumah yang menampung anak muda dalam semua kesulitannya: tidak ada biaya kost bisa tinggal di SMI, tidak akur sama orang tua ditampung di SMI hingga menunggu mendapat pekerjaan bermukim di SMI. Berulang kali SMI membiayai mereka yang tak bisa kuliah dan mencari modal kerja. Maka SMI jadi tempat anak muda untuk tumbuh: ada anak yang menemukan pasanganya di SMI bahkan ada anak yang putus cinta karena tinggal di SMI. Seluruh peristiwa romantik telah membuat SMI jadi ruang dimana semua anak mengalami berbagai perasaan: bahagia, marah bahkan kecewa. Tak mirip seperti panti asuhan tapi SMI selalu yakin bahwa anak muda dan harapannya adalah mukjizat bagi kehidupan.

Bagi SMI dunia anak muda lebih mempesona ketimbang berfikir bagaimana cara membiayainya. Maka saat tahun kesebelas SMI menerima bantuan dari ‘satu’ lembaga donor itu tak mengubah apapun. Hanya yang berubah anak-anak muda penghuninya mulai mendapatkan honorarium. Bantuan itu telah mengubah karakter volunter menjadi ‘karyawan’. Meski itu hanya untuk kegiatan singkat dan tidak berat. Sulit bagi kami mengubah gaya itu karena di luar kelaziman SMI. Kami sadar bahwa ada konsekuensi yang berbahaya jika semua ini jadi kebiasaan. Anak-anak muda SMI periode awal yang tak pernah menerima uang diganti oleh generasi baru yang berbeda: segar, pintar tapi juga berbayar. Tak semuanya tapi ada suasana transaksi. Ada lapisan yang ingin melakukan semuanya entah dibayar atau tidak. Dan ada golongan yang menginginkan profesionalisme dan keterbukaan/tranparansi. Dua kubu yang kemudian berselisih pandangan.

Saya orang tua yang tak bisa menjembatani. Pertengkaran itu berbuah polemik dan luka. Ada yang kecewa tapi juga ada yang bangga. Kecewa karena mereka berharap saya sempurna dan bangga karena melihat saya tampak manusiawi dan biasa. Tuduhan pada saya tidak ingin saya tanggapi: dari anak-anak yang kecewa melihat arah permainan dan dari mereka yang mungkin tidak menduga keadaan jadi demikian. Saya selalu merasa waktunya anak-anak muda belajar bagaimana memahami rasa sakit hati, dikhianati dan dibiarkan menjadi orang yang biasa. Mereka musti tahu bahwa tak selamanya anak muda benar dalam segala hal. Tak selamanya mereka itu tak bisa dikoreksi pendapatnya; tak sepantasnya mereka kemudian terus berbangga pada diri sendiri. Saya selalu yakin sebuah konflik akan memberi pelajaran bagi pertumbuhan kedewasaan diantara mereka. Konflik bisa membuat mereka menemukan militansi. Inilah pengalaman berarti untuk mereka dan saya senang mereka melaluinya.

Mustinya mereka sadar kalau demokrasi sedang berada dalam kondisi darurat. Menggempur teman sendiri hanya menjadi cara untuk mengkhianati prinsip perlawanan. Mengajak duel teman sendiri hanya meluapkan kegembiraan musuh yang sebenarnya. Saatnya mereka belajar bahwa dalam taktik gerakan, menyalakan musuh di antara kawan merupakan upaya menggembosi perlawanan. SMI sudah melalui bahaya, tekanan dan ancaman. Pukulan kecil ini hanya memberi petunjuk bahwa ada agen yang sedang berusaha membakar rumah gerakan. Walau saya yakin mereka adalah anak-anak kecil yang sedang merajuk saat tidak mendapat apa yang mereka inginkan. Tangis dan kemarahan mereka digemakan agar banyak orang menunjukkan empati. Saya paham bagaimana kedewasaan memang harus tumbuh melalui perkelahian. Tapi saya percaya sejarah akan menghapus pertikaian yang tak bermakna ini.

Saya memang tidak menerangkan apa yang sesungguhnya terjadi tapi hanya mengantarkan pada pembaca perasaan apa yang saya alami. Ini bukan keterangan pers bahkan ini bukan balasan sebuah surat. Ini hanyalah omon omon sebagaimana orang lain di media sosial melakukannya. Saya beruntung saya tak punya media sosial sama sekali. Pukulan mereka seperti udara kosong yang tak membuat saya bergeser sedikitpun. Selamanya mereka adalah anak-anak saya yang pernah tinggal, pernah bersama dan kini punya pikiran berbeda. Itulah anak muda: berontak, berbeda dan berusaha mencari jati dirinya. Terimakasih pada semua yang pernah berumah di SMI dan selamat datang untuk generasi baru yang kini jadi penghuni rumah SMI. Rumah itu masih disana dan banyak anak muda tetap tinggal di dalamnya. Konflik hanya badai dalam segelas cangkir: nikmat untuk dihirup dan penting untuk jadi hiasan hidup!

Terimakasih

Eko Prasetyo

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0