Segumpal Darah dalam Getah

Penulis: Karisma Nur Fitria

“Bagaimana, Pak, apa cara kemarin manjur?” 

“Sudah, kita lihat nanti hasilnya”

Sore itu aku melihat bapak dan ibu berbicara di teras belakang rumah. Biasanya selalu begitu dan dibersamai aktivitas kecil mereka seperti bapak yang mengasah peret dan ibu menyiapkan bumbu dapur untuk masak. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, obrolan mereka tampak lebih serius melihat kening bapak yang berkerut.

“Terkadang manusia perlu ditegur oleh manusia lain sembari menunggu ganjaran dari Allah, Bu” 

***

Bapak dan ibu selepas subuh biasanya langsung ke ladang untuk menggarap pohon-pohon karet agar menghasilkan getah. Setiap hari mereka tekun melakukan pekerjaan itu. Ketika ada bentuk awan muncul pertanda hujan maka mereka sudah bersiap untuk nyuko karet agar getah lebih cepat mengental dan tidak berakhir menjadi susu. 

Bapak dan ibu akan sangat senang jika mangkuk karet itu terisi penuh dengan gumpalan getah dan siap di pulung hasilnya seminggu sekali. Begitulah cara keluargaku menghasilkan uang. 

“Kenapa, Pak? Ada yang bisa, Mirna, bantu?” aku sedari tadi memperhatikan bapak mempersiapkan mangkuk karet baru.

“Ga usah, Mir. Tolong buatkan kopi saja”

Sekilas aku melihat ada sesuatu yang berbeda dengan mangkuk karet itu. Sepertinya, jauh lebih besar dari ukuran biasanya. “Mungkin getahnya sedang deras jadi butuh mangkuk lebih besar” batinku.

Bapak melanjutkan pekerjaannya.

Nasrul yang sejak tadi bermain di sebelah bapak tiba-tiba menangis. Nasrul menunjukkan jarinya yang berdarah. 

“Sudah dibilangin, jangan main ini” seru bapak.

Aku langsung membawa Nasrul dan mengobati tangannya. Ia akhirnya tidak menangis lagi dan tertidur dengan pulas. Anak kecil itu harus menerima jarinya diperban. Hujan tanpa aba-aba turun dengan derasnya. Bapak dan ibu menjadi kelabakan berusaha menyelamatkan getah karetnya. Aku membantu menyiapkan cuko karet yang biasa digunakan.

“Mir, nanti Nasrul kalo bangun bilangin kalo Bapak sama Ibu lagi nyuko, ya” 

“Iya, Pak”

Aku sebagai anak perempuan tertua memahami rasa cemas bapak dan ibu kalau-kalau getah karet tidak bisa dipanen karena hujan. Adik-adikku tentu tidak akan mau memakai baju lebaran tahun kemarin. Kecukupan ekonomi keluargaku hanya sekedar cukup. Ladang karet yang bapak punya tidak seluas milik orang lain.

Akhir-akhir ini marak operasi malam, sebutan bagi kegiatan  mulung si maling. Getah karet yang menjadi penghasilan pokok kami sebagai petani karet menjadi sasaran si maling. Mungkin hal ini yang menjadi alasan bapak dan ibu terlihat muram sore itu. Apalagi momentum menuju hari raya idul fitri banyak yang membutuhkan uang dan manusia menjadi lupa dengan Tuhannya.

Bapak dan ibu pulang dalam keadaan basah kuyup. Tanah di ladang menempel di sepatu botnya. Aku segera menyiapkan air hangat untuk mereka mandi ban bebersih. Ibu mandi lebih dulu dan bapak masih duduk di teras belakang rumah.

“Nasrul, sudah bangun, Mir?”

“Masih tidur, Pak” aku duduk di samping bapak.

“Nanti malam, Bapak mau jaga di ladang. Harus diawasi itu ladang, banyak operasi malam” bapak bangkit dan mengasah peretnya. Suasana hati bapak sepertinya sedang tidak baik. Ia muram sejak kemarin dan bicaranya sedikit. 

Maghrib tiba, waktu berbuka terasa lebih sejuk selepas hujan tadi. Menyela waktu makan, bapak mulai bercerita tentang keadaan ladang yang ternyata sedang tidak baik. Itu menjadi alasan bapak terlihat muram akhir- akhir ini dan lebih was-was. Ladang bapak terkena operasi malam si maling. 

Aku tidak habis pikir siapa yang begitu tega mengambil getah hasil jerih payah orang lain. Ibu hanya menangis.

“Cuma disisakan lima mangkok”

“Astaghfirullah, ya Allah” ibu semakin menjadi.

Aku paham betul yang ibu tangisi bukan hanya kehilangan getahnya saja. Usaha yang selama satu minggu bapak dan ibu lakukan hasilnya dinikmati orang lain. Betapa tidak berhatinya orang itu.

“Sudah, ayo kita ikhlaskan sebisa mungkin. Nanti Allah akan ganti semuanya”

“Tapi ini bukan pertama kalinya, Pak” sahut ibu.

Bapak tidak menjawab apapun.

Setelah makan bersama aku tidak berani bertanya apapun kepada bapak dan ibu. Bapak lalu berpamitan akan pergi ke ladang. Sepertinya bapak akan menginap di sana. Besok adalah hari minggu, sudah waktunya bapak dan ibu mulung. Wajar jika bapak khawatir getahnya dicuri orang lagi, mau makan apa keluargaku jika terus begitu?

***

Sore itu aku melihat bapak dan ibu berbicara di teras belakang rumah. Biasanya selalu begitu dan dibersamai aktivitas kecil mereka seperti bapak yang mengasah peret dan ibu menyiapkan bumbu dapur untuk masak. Akan tetapi kali ini sedikit berbeda, obrolan mereka tampak lebih serius melihat kening bapak yang berkerut.

“Bagaimana, Pak, apa cara kemarin manjur?” 

“Sudah, kita lihat nanti hasilnya”

“Terkadang manusia perlu ditegur oleh manusia lain sembari menunggu ganjaran dari Allah, Bu”

Bapak dan ibu baru pulang sore itu dari ladang setelah mulung getah karet. Tidak lama setelah mendengar percakapan yang tidak aku mengerti maksudnya, bapak memberi tugas.

“Mir, tolong ke tempat, Bu Ida. Tanyakan berapa kilo sekalian mintakan uangnya”

“Iya, Pak”

Aku selalu mendapat bagian mengambil uang hasil penjualan getah karet yang bapak dan ibu kumpulkan. Bu Ida adalah seorang pengepul yang menjadi tempat bapak dan ibu menjual getah karetnya. 

Tidak jauh dari rumahku, tempat bu Ida hanya berjarak tiga rumah. Bau karet yang menyengat sudah biasa aku hirup. Ini adalah bau uang, begitulah para petani karet membahasakan bau bacin getah karet itu.

“Mbok, aku disuruh, Bapak ambil uang sama tanya dapet berapa kilo?” aku biasa memanggil bu Ida dengan sebutan, Mbok.

“Eh, iya, Mir. Sebentar tak liat dulu dulu punyamu”

Aku memperhatikan sekitar sembari menunggu bu Ida melakukan perhitungan untuk berapa jumlah uang yang akan aku peroleh. Karet bapak baru di timbang dan aku harus ikut mengawasi itu. 

“Dua puluh empat kilo ya, Mir” ujar bu Ida

“Iya, Mbok” aku lekas kembali duduk di teras bu Ida, giliran dengan orang lain yang mau menimbang karet juga. 

“Nimbang, Mir?” laki-laki paruh baya tetangga sebelah rumah menegurku.

“Iya, Pakdhe”

Aku melihat tangan pakdhe Sono terbalut perban.

“Kenapa pakde tangannya?”

“Oalah, ini kena peret waktu mengasah”

“Pakdhe, ini punya sampeyan lumayan banyak hari ini ya” bu Ida menyela.

“Ini punyamu, Mir. Dua puluh empat kilo dikali tujuh ribu rupiah. Tumben kok sedikit, Mir?” 

“Iya, Mbok, kata Bapak kena operasi maling”

“Walah. Itu tadi, Mbok liat di karet Bapakmu ada darahnya, Bapakmu kenapa, Mir?”

“Ndak kenapa-kenapa tuh, Mbok, tadi. Ya sudah, terima kasih, Mbok”

Aku merasa khawatir apa darah itu dari bapak atau ibu. Lalu aku mempercepat langkah agar dapat segera memastikan keadaan bapak dan ibu. Aku tentu tidak ingin keduanya sampai terluka.

“Assalamualaikum, Pak, Bu”

“Waalaikumussalam. Sudah, Mir?”

“Sudah, Pak, ini uang sama catatannya” aku menyodorkan uang dan catatan timbangan karet kepada bapak.

“Tadi kata, Mbok, di karet Bapak ada darahnya. Memang bapak atau ibu terluka?”

“Oh, engga”

Aku tidak ambil pusing, mungkin yang dilihat bu Ida bukan darah tapi cat kotak karet yang menempel. Aku bergegas menuju dapur dan membantu ibu menyiapkan makanan untuk berbuka.

“Dapet berapa kilo, Mir?”

“Dua puluh empat, Bu” jawabku sembari mengupas bawang merah.

“Eh iya, tadi di sana ketemu Pakdhe Sono. Tangannya diperban, Bu, katanya kena peret. Hikh pasti perih banget”

“Pakdhe Sono, Mir? “

“Iya, Bu. Alhamdulillah tadi karetnya Pakdhe Sono, dapetnya lumayan banyak kata, Mbok”

Ibu tidak kembali menjawab pernyataan dariku dan terdiam. 

Selesai membantu ibu, aku ke teras belakang rumah untuk memanggil bapak karena sudah hampir waktunya berbuka puasa. Aku mendapati bapak sedang mengasah peret dan teringat tangan pakdhe Sono. 

“Pak, hati-hati ngasah peretnya. Pakdhe Sono, tadi tangannya diperban lho kena peret”

“Pakde Sono, Mir?”

Aku menjawabnya dengan anggukan. Respon bapak sama seperti respon ibu tadi.

Aku merasa sedikit terganggu dengan repon bapak dan ibu sore tadi. Apa yang membuat mereka menunjukkan gestur seperti itu? Tetapi, aku memutuskan untuk tidak terlalu ambil pusing. Selepas pulang tarawih, aku yang mengantuk sekali dan memutuskan untuk segera tidur. Melewati kamar bapak dan ibu aku menangkap sepenggal percakapannya.

“Bukannya, Sono, sudah menjual ladangnya ke saudaranya yang di kota, Pak?”

“Tidak ada yang tahu, Bu”

Aku menjadi tidak mengantuk lagi.


Ilustrasi: A nutshell

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0