Oleh Adityo Fajar (Penulis yang tinggal di Lereng Gunung Semeru)
Akhir musim semi di bulan Juni. Waktu itu tahun ajaran baru akan berakhir. Anak-anak Beograd bersiap menjemput masa libur panjang. Branko Milanovic tentu amat girang. Dia menyebutnya sebagai hari-hari terbaik. Sebentar lagi pelajar sebayanya bisa bebas pergi ke desa, leluasa bersepakbola, atau menggunjing gadis idaman semalaman.
Tetapi ibukota Yugoslavia di tahun 1968 tak lagi seperti biasa. Pada hari di tanggal tiga, Branko berkumpul di rumah teman. Mereka bersiap memainkan sepakbola. Tahu-tahu saja telpon berdering. Ibu temannya menelpon. Dia pegawai pemerintah federal yang was-was. Meminta anak laki-lakinya jangan keluar rumah. “Mahasiswa sedang berupaya menggulingkan pemerintah”, seru ibu itu dibungkus kepanikan mendalam.
Seusai menerima larangan keluar rumah, sekumpulan remaja ini buru-buru meninggalkan rumah. Sudah menjadi tabiat anak muda terpukau hal-hal tabu, kendati mengandung bahaya. Branko dan rekan-rekan berhamburan. Kebetulan letak rumah temannya tak jauh dari kampus utama. Sesampainya di sana, tempat itu sudah dikuasai mahasiswa, juga dikepung sepasukan polisi.
Beberapa hari berselang, kalimat protes yang dipekikan mahasiswa mulai terdengar ke seantero kota. Bunyinya, “Hancurkan Borjuasi Merah!”. Universitas Beograd dirubah paksa namanya menjadi, ‘Universitas Merah Karl Marx’. Pemuda-pemudi Marxis terang-terangan menantang kekuasaan negara yang secara formal berhaluan ideologi serupa.
‘Borjuasi Merah’ ialah wajah kekuasan di Yugoslavia pada masanya. Istilah yang tampak oksimoron ini diusung dalam aksi protes atas kesenjangan sosial, kurangnya lapangan kerja dan epidemi korupsi. Borjuasi Merah merupakan sebutan penggampangan, sekalian olok-olok bagi elite kelas proletar.
Elite ini bertumbuh dari kasta keluarga kaya dan kelas menengah terdidik. Mereka mulanya berasal dari kemarahan terhadap kebobrokan sistem kapitalisme. Mendapati kemiskinan berceceran dimana-mana, pada dekade 1930-an mereka menggeber perlawanan. Sudah barang tentu militan.
Latar belakang yang mirip dengan pemrotes di bulan Juni, membuat Branko berfikir sinistik. Seandainya di tahun 1968 mahasiswa pemberontak yang menang, merekalah yang giliran menjadi Borjuasi Merah berikutnya. Bukankah, “revolusioner yang paling radikal akan menjadi konservatif sehari setelah revolusi”, bunyi sinisme lain dari Hannah Arendt.
Perihal lapisan elite ini, Milovan Djilas menulis sebuah buku serius. Judul Inggrisnya, ‘The New Class: An Analysis of the Communist System’ (1957) alias ‘Kelas Baru: Analisis Sistem Komunis’. Djilas merupakan rekan Josip Broz Tito. Nama terakhir ini kerap dititeli Bapak Bangsa Yugoslavia. Keduanya sepasang kamerad selama perang pembebasan nasional. Lantas terlilit pertikaian politik.
Dalam penjelasannya, Djilas memandang kelas baru sebagai birokrasi politik. Sebuah struktur monopoli atas kelas pekerja itu sendiri. Kelas baru ini mengambil bagian terbesar dari kemajuan ekonomi serta kemajuan lain yang diperoleh melalui pengorbanan dan upaya massa. Mereka penikmat utama manisnya madu nasionalisasi.
Djilas yang pernah berada di posisi mentereng, Wakil Presiden, mendekam di penjara tak lama selepas naskah bukunya dioper ke penerbit Amerika. Pada akhirnya karya tulis Djilas menjadi bahan baku murah buat kerja kontra propaganda pihak Barat. Dipakai menyerang proyek politik Marxis sepanjang kurun Perang Dingin.
Berdekade silam, saya sempat membaca edisi Indonesia-nya. Buku lecek bersampul merah darah dihadiahkan oleh seorang sepupu. Dia saat itu sedang mabuk berat post modernisme. Takut kalau-kalau saudaranya ini menjadi ‘terlampau merah’. Tiga tahun selepas mabuk filsafatnya kelar, sepupu saya sudah berseragam PNS dan pastinya tak lagi berminat mengulas warna politik. Dia ingin menjadi birokrat kaya terpandang. Kelas yang dikutuk Djilas dalam buku yang disarankan untuk saya baca.
Elite baru memang hadir nyaris setua peradaban umat manusia itu sendiri. Walau bukan menjadi bagian paling dominan diantara lini masa sejarah. Selama belasan ribu tahun manusia hidup dibekap ketidaksetaraan, seiring kelahiran the rulling elite. Sebaliknya, saat manusia mulai berupaya bangkit keluar dari dunia hewan, masyarakat justru dibangun dalam kesetaraan.
Rata-rata koefisien gini pada masyarakat berburu-mengumpul mencapai 0,19 (Smith, 2010: 26). Sebagai perbandingan, menurut Bank Dunia pada 2019 negara dengan koefisien gini terendah adalah Ukraina, dengan nilai 0,25. Rata-rata dunia saat ini ada di bilangan 0,39. Dua kali lipat lebih jomplang dari nenek moyang. Modernitas antonim dengan masyarakat egaliter.
Hasrat menjadi kelas baru ber-privilege tak melulu menjadi cerita skala besar seperti kasus di Yugoslavia. Borjuasi Merah versi mini mungkin bergentayangan diantara dunia aktivisme kita. Mereka yang hidup melata sebagai niagawan gerakan rakyat. Minoritas elite yang modus operandinya menyerupai kartel.
Sebab tak pernah memenangkan revolusi, sebagai konsekuensinya praktik ambil untung Borjuasi Merah ukuran mungil ini amat terlimitasi. Beroperasi di pinggiran. Mereka tak memamerkan kemakmuran yang menyilaukan mata, mungkin juga karena masih segan melepaskan citra kerakyatan yang terlanjur diiklankan. Akibat rajin berteriak ‘Hidup Rakyat!’, bagi yang cacat berfikir mereka dianggap suri tauladan kesetiaan berjuang.
Kini, Branko Milanovic makin menua. Dia mengenang kekuasaan di mantan negerinya dengan nada suram. Katastrofa, malapetaka mengerikan, kata orang Yugoslavia. Ketimpangan mencolok di bawah naungan pemerintahan merah dikutukinya seumur hidup. Sementara pekerjaannya sebagai ekonom berkelindan dengan Bank Dunia dan IMF. Sepasang lembaga yang turut menghasilkan ketidaksetaraan ekstrem dunia.
Ilustrasi: A nutshell
Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!