Foto: Sabri/Social Movement Institute
A. Tumpukan Permasalah
Ingatan kelam terhadap janji Jokowi pada tahun 2014 masih sangat kuat ketika ia mengatakan bahwa akan menuntaskan pelbagai kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia. Namun secara faktual, janji tersebut tidak pernah sekalipun terealisasi, justru pelanggaran hukum, HAM, dan konstitusi semakin dipertontonkan terang-terangan di ujung masa jabatanya.
Selama 10 tahun rezim Jokowi memimpin, selama itu pula wajah otoritarianisme semakin mencolok. Perusakan lingkungan hidup, perampasan hak buruh, perempuan, dan masyarakat bahkan bentuk kriminalisasi terhadap masyarakat semakin meningkat untuk melancarkan kepentingan bisnis oligarki di Indonesia. Kini, hukum telah menjadi instrumen penjamin mulusnya jalan kepentingan-kepentingan kelompok tertentu, dan lagi-lagi masyarakatlah yang paling dirugikan. Akibatnya jurang kesenjangan semakin tak terkendalikan, kemiskinan struktural tampak bersinar dan pemerintah selama 10 tahun telah gagal menuntaskan persoalan itu.
Wajah bopeng rezim Jokowi dalam praktiknya memiliki model yang amat beragam. Proyek Strategis Nasional (PSN) dengan dalih pemerataan, ternyata dari total 211 proyek hampir 40% terkonsentrasi di Pulau Jawa. Artinya, wacana pemerataan tersebut tidak terbukti terjadi. PSN menjadi contoh bagaimana pengangkatan hukum dan praktik pelanggaran HAM diproduksi secara konsisten, salah satu contoh nyata telah terjadi di Desa Wadas.
Lewat tangan otoriter rezim, proyek sengsara nasional (PSN) menjadi jalur utama terjadinya represif negara terhadap masyarakat. Dengan dalih pembangunan, kebijakan pemerintah yang dilahirkan tidak ada keberpihakan terhadap rakyat. Praktik kebijakan yang menguntungkan atau mempermudah investor untuk melakukan perusakan ekologis yang dibuat di rezim Jokowi, antara lain: UU Cilaka; UU IKN atau Ibu Kota Negara; UU Minerba; dan Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate. Semua produk hukum yang kita harapkan akan berpihak pada kepentingan rakyat justru malah bergerak pada kepentingan oligarki. Keadilan telah lenyap, hukum indonesia menjadi barang dagangan yang dijajakan sama dengan barang-barang yang ada di minimarket. Lagi-lagi masyarakat tidak menemukan keadilan sejati bagi mereka.
Freedom House mengatakan, indeks demokrasi Indonesia turun dari 62 poin pada 2019 menjadi 53 poin pada 2023. Data Reporters Without Borders (RSF) juga menunjukkan penurunan terhadap skor kebebasan pers Indonesia, yakni dari 63,23 poin pada 2019 menjadi 54,83 poin pada 2023. Belum lagi ditambah fenomena politik elektoral 2024 telah menyuguhkan bagaimana cara membangun dinasti politik keluarga dengan menghalalkan segala cara. Wajah culas itulah jokowi yang pernah dipilih 10 tahun lalu oleh banyak orang. Seolah-olah demokratis padahal kebenarannya telah merusakan tatanan politik dan demokrasi. Hal ini tentu memperparah keadaan politik dan demokrasi yang telah rusak.
Selama rezim saat ini memimpin, setidaknya ada 9 (sembilan) paket praktik kebobrokan negara, sebagai berikut:
1.Perampasan Ruang dan Penyingkiran Masyarakat
2.Kekerasan, Perkusi, Kriminalisasi, dan Diskriminasi
3.Kejahatan Kemanusiaan dan Pelanggengan Impunitas
4.Bobroknya Sistem Pendidikan
5.Praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN)
6.Eksploitasi Sumber Daya Alam dan Solusi Palsu Mengatasi Krisis Iklim
7.Sistem Kerja yang memiskinan serta Menindas Kelas Pekerja
8.Pembajakan Legislasi
9.Militerisme dan Militerisasi
B. Sumber – Sumber Masalah
Setidaknya terdapat beberapa sumber masalah krusial dimana dapat diuraikan sebagai salah mendedah realitas ketidakadilan yang hadir ditengah-tengah kita. lima sumber masalah itu, yaitu:
1. Karpet Merah Determinasi dan Akumulasi kapital
Praktik ekonomi yang melanggengkan akumulasi digerakan oleh satu sistem bernama ekonomi pertumbuhan/pertumbuhan ekonomi (Economic growth). Logika utama sistem ini adalah kapitalisme. Hal ini menghantarkan penguasaan atau dominasi segelintir orang terhadap banyak orang. Penguasaan tersebut akhirnya melahirkan dominasi secara politik. Cara proteksi kepercayaan lewat skema legislasi dan terus menjaganya melalui sistem pendidikan. Ini terlihat ketika 60-70% pendapatan nasional dikuasai oleh 1-2% populasi nasional.
2. Patologi Penyelewengan Demokrasi
Demokrasi tanpa ‘demos’, jadi kekuasaan negara hanya dimiliki oleh elit politik dan oligarki-oligarki. Jadi kekuasaan penuh tidak berada di tangan rakyat, tetapi ada pada mereka. Penyempitan makna bahwa demokrasi hanya persoalan elektoral semata juga menjadi patologi serius dan berimbas pada praktik bagaimana seharusnya demokrasi dijalankan. Kebebasan sipil mulai hilang, ini dapat dilihat dengan pemberlakuan UU ITE dan KUHP terbaru.
3. Komersialisasi dan Liberalisasi Pendidikan
Kebijakan badan usaha yang dimiliki tiap pendidikan tinggi telah menjadikan pendidikan sebagai bisnis yang dapat mengakumulasi keuntungan. Selain itu juga, pendidikan semakin mahal membuat banyak masyarakat tidak dapat mengakses pendidikan secara gratis. Kedua hal ini saling kait kelindan dan membentuk pendekatan pendidikan yang mengedepankan logika bisnis.
4. Menghamba pada Oligarki
Oligarki telah menjamur di Indonesia melalui politik atau memberi pengaruh melalui jalur investasi. Segala bentuk pembangunan saat ini, terus menerus digerakan oleh modal yang menentukan arah kebijakan politik dan hukum. Celah masuknya oligarki dapat melalui motif ekonomi (investasi) dan politik.
5. Hukum Menjadi Alat untuk Melancarkan Kepentingan
UU Minerba, UU Cilaka Cipta Kerja, UU ITE, KUHP baru, dst menjadi bukti bagaimana hukum dibuat untuk melancarkan segala jenis kepentingan politik dan ekonomi elit politik dan oligarki. Melalui berbagai aturan hukum ini semakin melegitimasi jalan mulus pelanggaran HAM.
C. Bangunan Alternatif
Ragam kritik persoalan ini telah membawa pada ketidakpercayaan masyarakat sipil terhadap sistem politik, hukum, ekonomi, pendidikan di Indonesia.
1. Membangun Gerakan Politik Alternatif
Berdasarkan tumpukan masalah telah membawa pada posisi bahwa masyarakat sipil tidak lagi percaya terhadap negara hari ini. Keyakinan bahwa membangun politik alternatif bukan hal yang baru, beberapa negara telah membuktikan jika kekuatan politik alternatif telah mampu membangun kebaruan peradaban dan berpihak terhadap rakyat.
2. Menciptakan Wacana-Wacana Tanding
Wacana tanding menjadi langem kerja jangka panjang yang harus ditempuh, mengingat sistem kapitalistik telah mengabstraksikan bentuk-bentuk akumulasinya untuk dapat dilihat dengan mudah. Wacana tanding tidak hanya pada sistem politik, tetapi juga harus menyentuh wacana ekonomi tandingan.
D. Seruan-Seruan
Dalam rangka pemajuan dan mengarusutamakan kemaslahatan rakyat luas, melalui Mahkamah Rakyat Luar Biasa akan menjadi pemantik api untuk gerakan rakyat seantero negeri ini hendaklah membangun dan menghimpun kekuatan bersama dengan lima seruan pokok, yaitu:
1.Melangsungkan kerja-kerja pengorganisasian, advokasi kebijakan, dan pembaharuan hukum agar berpihak pada rakyat.
2.Tumbuhkan inisiatif – alternatif gerakan rakyat dalam membela hak dan kebenaran
3.Memastikan adanya perlindungan hak masyarakat sipil dalam mempertahankan kualitas lingkungan hidup yang baik dan sehat demi terwujudnya keadilan ekologis
4.Memastikan negara untuk memenuhi, melindungi, dan menghormati Hak Asasi Manusia
5.Penguatan konsep tanding di ranah ekonomi dan politik melawan model ekonomi kapitalistik
E. Penutup
Manifesto Mahkamah Rakyat Luar biasa ini lahir dari perasan persoalan yang dihadirkan dalam sidang rakyat.