Yogyakarta, 2 Mei 2024
Panggilan untuk Gen Z. Untuk generasi yang diremehkan. Generasi yang frustasi.
Kepada mereka yang kecewa akan sistem pendidikan Indonesia.
Kawan-kawan. Apakah kita tidak malu melihat kondisi pendidikan Indonesia. Bayangkan, lebih banyak pemuda yang tidak tamat atau belum pernah sekolah daripada yang berkuliah. Hanya 11,25 persen pemuda Indonesia yang dapat mengenyam Pendidikan Tinggi. Jumlah ini kalah dengan 13.72 persen mereka yang tidak tamat SD atau belum pernah sekolah (BPS, 2023).
Tidak hanya kesenjangan akses atas pendidikan, anak muda juga dihadapi ketidakpastian masa depan. Sebanyak 52 persen pemuda bekerja tidak tetap dan dengan penghasilan kurang dari rerata upah layak. Sudah secara latar belakang sosio-ekonomi menjadi pembatas seseorang dalam mengenyam pendidikan. Ditambah lagi dengan dunia ketenagakerjaan yang tidak mementingkan hak pemuda atau buruh.
Ada lagi dengan masalah kesehatan mental di kalangan pemuda. Sekitar 9 juta penduduk Indonesia mengalami depresi. Ada pun sebagai akibatnya ditemukan 3,4 kasus bunuh diri per 100.000 orang di Indonesia. Depresi juga sudah dialami oleh remaja Indonesia. Sebanyak 45 persen remaja bahkan sudah melakukan tindakan untuk menyakiti diri sendiri. Depresi, dalam lingkup perkuliahan banyak dipengaruhi oleh beban atau kekhawatiran akademis, tekanan finansial untuk membayar biaya kuliah, dosen yang feodal hingga birokrasi kampus yang tidak empati terhadap kondisi mahasiswa.
Kesenjangan, kesulitan pekerjaan, kesehatan mental, hingga bunuh diri. Semua ini ada di sistem pendidikan kita. Perguruan tinggi harusnya menjadi ruang yang aman, demokratis, dengan mengedepankan emansipasi untuk orang orang didalamnya. Namun itu tidak terjadi. Yang terjadi ialah mahasiswa yang mengalami masalah mental justru kesulitan mendapatkan akses pengobatan, layanan konseling dengan antrian yang panjang atau ribet, diremehkan kasusnya hingga penanganan yang tidak tepat.
Pelajar, pemuda, mahasiswa, dan kawan-kawan semua!
Jangan menyerah pada sistem ini!
Sudah cukup kita mengkritik dan pesimis. Saatnya anak muda melaksanakan panggilan zaman. Panggilan untuk perubahan sosial. Setelah sekian lama kita dibelenggu, dibuat tidak peduli, dijadikan apatis dan individualis. Dibuat merasa tidak mungkin mendapatkan masa depan yang adil. Merasa tidak mungkin ada jalan keluar atas segala penindasan yang terjadi di sekitar kita. Saatnya kita memunculkan gagasan baru, teori baru, jalan perjuangan baru. Saat generasi tua sudah tak mampu diharapkan, tugas kita-lah untuk merebut kemenangan. Menjalankan eksperimen eksperimen perubahan sosial. Sebagaimana seorang saintis merumuskan suatu terobosan formula.
Tentu untuk meruntuhkan hegemoni imperium pengetahuan saat ini tidak bisa hanya dengan jargon lawan-lawan aja. Perlu membangun alternatif. Pun juga percuma membangun akses terhadap pengetahuan, tetapi mengabaikan hegemoni dalam dunia perguruan tinggi. Konsep alternatif seperti membangun lingkar studi tidak akan berjalan tanpa keadilan akses pendidikan tinggi kepada kelompok masyarakat menengah ke bawah. Memperbaiki akses dan kualitas harus berjalan beriringan.
Bangun lingkar Studi! Desentralisasikan Pengetahuan! Okupasi Kampus! Tuntut yang tidak mungkin!
Kita menginginkan pendidikan yang mengajarkan akan realitas sosial. Pendidikan yang demokratis. Yang mengedepankan emansipasi manusia. Dan untuk mewujudkannya, kita harus berpolitik. Kita harus membangkang. Membangun platform politik gerakan anak muda, yang berakar dari tuntutan tuntutan rakyat. Pendidikan sejati ada ada di perlawanan, ada di gerakan sosial. Mencoba mengubah dunia menjadi tempat yang lebih baik untuk semua orang. Memenangkan setiap hal yang perlu dimenangkan. Membangun utopia yang nyata.
Pelajar mahasiswa bersatu!
Untuk perubahan menuju keadilan sosial!