Ruang sidang itu tampak serupa panggung reuni. Tak hanya hakim, jaksa, dan terdakwa serta para kuasa hukumnya di sana; ada pula para pegiat organisasi masyarakat sipil, mahasiswa, dan media. Saya bertemu Eko Prasetyo, aktivis yang datang jauh-jauh dari Yogyakarta. Saya bertemu dengan Sumarsih, Usman Hamid, dan Rocky Gerung. Saya bertemu dengan rekan-rekan dari KontraS, yang setiap Senin datang ke sidang itu. Belum pernah sebuah sidang tampak begitu menggerakkan kaki demikian banyak orang. Hari itu, Senin, 27 November 2023, mereka hadir di Pengadilan Negeri Jakarta Timur untuk mendukung pembacaan pledoi Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar—dua pembela HAM yang kali ini harus membela diri mereka sendiri.
Entah apa di pikiran para jaksa. Dengan seluruh saksi ahli yang telah dihadirkan di persidangan, mereka tetap menuntut Fatia dan Haris dengan sanksi terberat: empat dan tiga setengah tahun penjara! Tak cukup sampai di situ, Fatia dituntut membayar denda Rp500 ribu subsider tiga bulan kurungan dan Haris denda Rp1 juta subsider 6 bulan kurungan. Padahal, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana atau KUHP terbaru tak membenarkan adanya kriminalisasi akibat kritik. Meski beleid itu masih menunggu waktu waktu disahkan, substansinya hendaknya dipertimbangkan. Sebab, pokok-pokoknya telah disetujui oleh DPR.
Prahara Fatia-Haris bermula tatkala kedua aktivis HAM itu merekam sebuah siniar yang menyebut Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sebagai “Lord Luhut”. Sebutan ini berbuntut panjang: sejumlah saksi dihadirkan untuk menjelaskan makna “lord”, adakah ia hinaan atau bukan. Dalam siniar itu, Fatia dan Haris menceritakan hasil kajian cepat Koalisi Bersihkan Indonesia berjudul “Ekonomi-Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Kajian itu mengungkapkan sebuah perusahaan bernama PT Tobacom Del Mandiri telah bermain bisnis tambang di Blok Wabu, Papua. PT Tobacom merupakan anak usaha Toba Sejahtra Group, perusahaan besutan Luhut.
Luhut, di sisi lain, membantah keterlibatannya di persidangan. Dia mengklaim telah mundur dari Toba Sejahtra sejak menjadi menteri di kabinet Presiden Joko Widodo atau Jokowi pada 2015. Dia juga membantah memiliki kepentingan bisnis di Papua melalui pengerahan operasi militer. Menurutnya, hal itu bukan kapasitasnya sebagai Menko Marves di kabinet Jokowi. Meski bekas perwira tinggi Angkatan Darat, dia mengaku tak memiliki kewenangan untuk mengerahkan tentara ke Papua. Luhut, orang yang sesungguhnya dekat dengan Harus itu, sakit hati dengan narasi dalam siniar itu. Sakit hati! Dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik atau UU ITE berlaku sebagai serangan balasan.
Kini sidang terus berjalan—hakim belum lagi menjatuhkan putusan. Sidang putusan yang semula dijadwalkan 18 Desember 2023, mesti diundur menjadi 8 Januari 2024 lantaran hakim ketua berhalangan. Dukungan kepada Fatia-Harus terus meluas—mereka mencetak stiker, kaos, dan konten audio-visual yang dengan cepat menyebar di udara. Mereka umumnya adalah anak-anak muda yang terpanggil tatkala demokrasi dan kebebasan berpendapat rasanya terancam. Namun, dari para pendukung #BebaskanFatiaHarus, seolah ada kelompok yang lesap dari para pendukung itu. Bukankah belakangan, ada kelompok yang dominan menyuarakan terancamnya kondisi demokrasi?
Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri berulang menyinggung periode belakangan sebagai kemunduran demokrasi. Teranyar, dia menyebut pemerintahan terkini mirip dengan rezim yang dia lawan seperempat abad silam: Orde Baru. Pemerintahan terkini! Dengan presiden—pertugas partai—kader terbaik yang dia miliki! Tak sekalipun dalam sembilan tahun ke belakang, dia sekali-kali mengucapkan tudingan serius itu. Musababnya? Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 90/PUU-XXI/2023 dinilai cacat etik oleh Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi atau MKMK. Putusan yang berhasil meloloskan Gibran Rakabuming Raka. menjadi calon wakil presiden pendamping Prabowo Subianto itu disebut-sebut kental dengan nuansa nepotisme keluarga Jokowi. Prabowo Subianto! Dan Ganjar Pranowo diam-diam kesal di kejauhan.
Megawati tak sendiri. Di belakangnya, sejumlah besar orang yang kecewa mulai memberanikan diri mengkritik Jokowi. Ketua DPC PDIP Surakarta FX Hadi Rudyatmo bukan saja menyebut pemerintah mirip Orde Baru. Dia namai rezim nepotis ini: Neo-Orde Baru. Di luar orang-orang di lingkaran partai, tak sedikit relawan dari berbagai kalangan ikut bersuara—dan, kemudian, mendapatkan timbal balik dari suaranya. Sejumlah seniman disebut mendapatkan intimidasi: pentasnya dibatasi, nomornya diretas, dan seterusnya. Seorang bekas wartawan dilaporkan karena bersuara di depan publik: sejumlah polisi dipaksa mendukung Prabowo-Gibran. Surat pemeriksaan disampaikan kepada wartawan—pukul 12 malam. Kelompok ini mengulang-ulang peristiwa ini sebagai kemunduran demokrasi.
Bangkitnya—atau berbeloknya—suara bekas pendukung Jokowi sesungguhnya menandai momentum yang jarang terjadi tentang kebangkitan suara prodemokrasi. Terlebih, suara itu turut disokong oleh mesin politik raksasa seperti PDIP. Sayangnya, bekas pendukung Jokowi seolah mengenakan kacamata kuda dalam menilai kemunduran itu. Mereka namakan apa-apa yang mengusik pencalonan Ganjar sebagai kemunduran, sementara selebihnya bukan. Jika konsisten. PDIP, Ganjar, dan para relawan seharusnya turut berduka atas kasus hukum yang menimpa Fatia-Haris. Dua pegiat HAM itu mungkin termasuk orang-orang paling depan yang mengkritik kebijakan Ganjar di Jawa Tengah. Namun, apakah bukankah justru pembelaan kepada mereka yabg kita tidak suka merupakan nikmat yang hanya didapat dalam demokrasi?
Penulis: Han Revanda Putra
Ilustrasi: Hisam