Dalam kelas-kelas kewarganegaraan yang kerap menjemukan, kita mengenal norma. Seperangkat aturan, tertulis ataupun tidak, yang menjamin ketertiban hidup manusia. Dalam kitab suci, ada larangan ini dan itu, di samping anjuran melakukan hal lain, maka kita mengenal norma agama. Dalam hukum, norma itu tergurat dalam baris-baris undang-undang. Norma hukum menciptakan kepastian hukum. Seperti norma agama menjamin ketenangan hidup para penganutnya.
Namun, berbeda dengan norma agama, norma hukum dapat diubah sesuai kebutuhan. Zaman berubah, begitu pula pemaknaan atas ketertiban, baik dan buruk, benar dan salah. Kita mengenal perkataan “sesuai hukum” adalah tindakan yang “benar”. Sebagaimana “perbuatan melanggar hukum” adalah tindakan yang “salah”. Itu sebabnya hakim disebut “wakil Tuhan”. Ia punya otoritas moral untuk menentukan hitam dan putih. Namun, bagaimana jika perbuatan sesuai hukum tak selamanya benar, dan perbuatan melanggar hukum justru tak selamanya salah?
Itulah pertanyaan penguji kepastian hukum di Indonesia hari ini. Sekejap, kita sempat bernapas lega. Mahkamah Konstitusi atau MK, akhirnya, menolak gugatan untuk menurunkan batas minimal usia pencalonan capres-cawapres. Kita hormati dan memuji MK tak mudah melonggarkan independensi. Namun, tak lebih dari satu jam kemudian, ketika masyarakat ramai bersorak-sorai, kita kembali kecewa. MK menolak gugatan batas usia, tapi membolehkan mereka yang pernah menjadi kepala daerah maju Pilpres—berapa pun usianya.
Atas putusan itu, bukan hanya mereka yang selama ini mengkritik penguasa kecewa. Para pendukung Jokowi pun, mulai mempertanyakan integritas junjungannya itu. Meski para politisi mengelak bahwa gugatan itu bukan hanya untuk memuluskan kepentingan perorangan, kita tahu belaka: itu siasat melenggangkan jalan Wali Kota Solo, Gibran Rakabuming Raka, untuk menjadi cawapres. Banyak orang tak percaya. Namun hari ini terbukti: Prabowo Subianto mengumumkan nama putra sulung Jokowi itu sebagai cawapres.
Dalam bahasa kampus, Putusan MK yang memfasilitasi kepentingan spesifik dikenal sebagai praktik legalisme otokratik—praktik otokratisme negara, tetapi dilakukan secara legal berbasis undang-undang. Praktik itu memicu berbagai pelanggaran negara melalui koridor hukum. Kita ingat salah satu tuntutan Reformasi: supremasi hukum. Negara pun membuat segala sesuatu yang sesuai hukum seolah-olah benar, termasuk praktik-praktik otokratik berbasis undang-undang. Kita menghormati tuntutan Reformasi, tetapi jika hukum tidak adil, apakah ia masih harus kita patuhi?
Bagaimana cara mengenali sebuah pemerintahan ketika dia menjalankan legalisme otokratik? Kim Lane Scheppele, dalam “Autocratic Legalism” (2018) menjawab pertanyaan ini. Kita harus mencurigai pemerintah yang terpilih secara demokratis melakukan legalisme otokratis ketika dia melakukan serangan berkelanjutan terhadap lembaga-lembaga yang seharusnya mengawasi tindakannya. Jelas, pelemahan konstitusional terhadap kekuasaan eksekutif melalui reformasi hukum adalah tanda pertama dari seorang legalis otokratis.
Dalam legalisme otokratik, pemerintah menghancurkan moda-moda pengawasan karena mereka tak mau dikritik. Hal ini menyebabkan pemerintah memiliki kelonggaran untuk mengeluarkan berbagai kebijakan yang tidak bertujuan untuk menyelesaikan akar permasalahan, tetapi mengesahkan praktik otokrasi. Kita bisa mengambil Putusan MK sebagai contoh. Siapa berani mengkritik putusan yudikatif? Bahkan Presiden, mengaku sungkan, meski ia disebut-sebut terlibat dalam menskenariokan putusan itu.
Kita bisa mengenali otokrat legalis ketika mereka sedang mengonsolidasikan kekuasaan. Cirinya, mereka memiliki ambisi untuk memonopoli kekuasaan. Ambisi kekuasaan, dan bukan keberhasilan atau kegagalan mereka sebagai pemimpin, membuat para pemimpin di sini menjadi otokrat legalis. Putusan MK cukup menjawab itu. Ketika banyak politikus memandang putusan itu bukan untuk pribadi tertentu, kita dengan mudah membaca putusan itu tak lebih dari legitimasi politik dinasti. Kita curiga ada ambisi kekuasaan yang sangatt besar berada di balik akrobat politik pengambilan amar putusan itu. Jika penundaan pemilu dan perpanjangan periode presiden mustahil dilakukan, mengapa tak menyusupkan putra kesayangan di dalam tampuk tertinggi pemerintahan nasional?
Otokrat legalis beroperasi dengan mengadu demokrasi melawan konstitusionalisme. Demokrasi dan konstitusionalisme bersitegang ketika apa yang diinginkan oleh rakyat pada suatu waktu diabaikan oleh prinsip-prinsip konstitusional. Demokrasi adalah sistem politik yang menempatkan para pemimpin bertanggung jawab kepada rakyat; konstitusionalisme adalah sistem politik yang menempatkan para pemimpin dan rakyat bersama-sama bertanggung jawab dalam sistem konstitusional. Ruang-ruang kebebasan berpendapat yang semakin menyempit selaras dengan legalisme otokratik. Meski pembungkaman tak selalu dijalankan secara kasar, siapa mampu mengkritik dan membatalkan Putusan MK?
Putusan MK, Omnibus Law, Revisi UU KPK, UU ITE. Satu per satu produk hukum mulai berlaku, tak peduli berapa orang yang menyebutnya cacat formal dan substansial. Berapa banyak lagi sampai kita mengafirmasi pemerintahan hari ini tak lebih dari Orde Baru, dengan kemasan Orde Baik?
Penulis: Han Revanda Putra
Ilustrator: Hisam