Oligarki adalah instrumen yang paling penting bagi kapitalisme untuk menuju puncak kejayaannya. Oligarki secara harapiahnya ialah tentang kekuasaan yang dikendalikan oleh segelintir orang saja. Sehingga dari segelintir orang tersebut, terjadilah monopoli sumber-sumber kekayaan yang ada. Kapitalisme adalah penguasaan dan pengendalian sistem ekonomi bebas yang mempraktekkan penghisapan manusia atas manusia lainnya atau komoditi lainnya untuk menghasilkan dan mengakumulasi kapital yang berlipat secara massif. Makanya tak heran bila ada sebagian orang (secara minoriti) bisa menguasai hajat hidup banyak orang (secara mayoriti). Bahkan di tangan para oligarki inilah ketimpangan terjadi dengan sangat signifikan. Kekuasaan bahkan menentukan segalanya. Termasuk hukum dan perlakuannya yang berlaku. Prakteknya ialah merebut kekuasaan. Sekalipun berbeda partai politik tidak menjadikan hal tersebut bertentangan. Pada dasarnya, apapun parpolnya, didalam ataupun diluar lingkar kekuasaan, tapi kenyataannya ialah mereka selalu bergandengan tangan dan tetap saling berbagi akses atas kekuasaan tersebut. Karena hanya dengan mengendarai parpol langsung itulah cara yang paling ampuh bagi para oligark untuk menjaga dan mengamankan yang menjadi sumber-sumber kekayaannya serta untuk memonopoli dan membuat ‘aturan sendiri’ yang harus diterima oleh masyarakat sebagai mesin kendalinya. Jeffrey Winter – dalam bukunya “Oligarki” – menuliskan bahwa hanya dalam situasi politik yang normal itulah para oligarki justru mendapat keuntungan yang sangat besar. Kendali-kendalinya termasuk hukum untuk menyembunyikan kekayaan sangat bisa dilakukan dan akan terlindungi. Dengan kekuasaan yang dipegang utuh, maka aturan dapat diciptakan: digagas oleh oligark, dibahas oligark di parlemen lalu di sahkan juga lagi oleh oligark itu sendiri. Jadi, hasil-hasil dari kekayaan yang didapat dari pemalakan sumber daya alam, perampokan aset negara, bisnis kemiskinan, transaksi luar negeri dalam bentuk utang negara, jual beli sistem pendidikan dan kesehatan, dan lain-lain sangat bisa disembunyikan dan diamankan. Bahkan sampai ke luar negeri. Nah, dari faktor inilah penting bagi untuk melihat kembali praktek-praktek oligarki yang terus berlangsung ini, melihat dan mencermati pola-pola kerjanya serta berpikir apa yang bisa kita lakukan terhadap itu semua. Dari titik itulah kemudian kita harus menggali kembali apa yag dimaksud dengan oposisi, apa perannya dan siapa yang bisa dikatakan sebagai oposan.
Dalam artikel sebelumnya, disampaikan bahwa keharusan untuk ber-oposisi bukanlah hal yang keliru atau salah. Justru ber-oposisi menjadi penting mengingat bahwa negeri ini perlu ada yang melakukan penyeimbangan atas tujuan bernegara itu sendiri, dengan kekuasaan yang dibagi ke dalam eksekutif dan legislatif yang mewakili perjuangan seluruh rakyat sebagai alasan mengapa bangsa ini perlu merdeka – istilah Tan Malaka – seratus persen. Soekarno juga mengingatkannya dengan istilah Trisakti, yakni berdaulat di bidang politik, berdikari di bidang ekonomi dan berkepribadian di bidang kebudayaan. Yang naga-naganya hal itu semakin memudar dan terus tergerus maknanya diterjang oleh oligarki yang tidak pandang bulu. Bahkan sampai hari ini. Salah satu contohnya ialah kebebasan berekspresi.
Andai saja Cokorda Gede Arthana, hakim ketua pengadilan negeri Jakarta Timur – yang mensidangkan perkara Luhut BP versus Haris dan Fatia – menonton final liga champion saat tulisan ini dibuat (11/6), tentu beliau akan melihat betapa gaharnya suara perempuan-perempuan yang menjadi fans dari masing-masing klub yang bertanding. Cokorda, tentu akan terkejut sekali karena kata-kata seksisnya yang merendahkan kemanusiaan dengan menganggap bahwa perempuan itu lemah akan jadi tamparan keras ke mukanya secara langsung. Bahwa faktanya ialah perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki: baik suara maupun ekspresinya. Tapi kita tidak tahu apakah Cokorda menonton pertandingan itu. Atau apakah pikiran Cokorda tidak se-gede seperti yang ada pada namanya tersebut. Entahlah. Tapi seharusnya ia menonton final liga tersebut. Biar pikirannya tercerahkan dan tidak melulu primitif, yang melihat orang hanya dalam sudut pandang yang sangat biner, yakni ‘laki dan perempuan’ atau ‘kuat dan lemah’ nya.
Kembali lagi pada tulisan yang dibuat saat pertandingan tak jua berujung gol setidaknya sampai babak pertama berakhir, banyak harapan dari ribuan bahkan jutaan para fans antara Manchester City dan Inter Milan di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Bahkan antusiasme itu memenuhi seluruh ruang-ruang yang ada: rumah, kafe, televisi, dan lain-lain. Sejenak perhelatan ajang klub sepakbola terbesar dunia itu mengalihkan perhatian pada apa yang tengah terjadi di negeri ini. Kasus-kasus korupsi, kriminalitas, undang-undang ciptaker yang bermasalah, kemiskinan, komersialisasi pendidikan, politik yang makin barbar, kesenjangan sosial dan lain sebagainya seakan kalah pamor dengan final liga champion. Entahlah apa yang menjadikan banyak orang seolah menganggap kemenangan dalam pertandingan sepakbola ini seakan adalah segala-galanya. Dan apa yang akan terjadi bila hal seperti itu (antusiasme fans) menjadi sebuah gerakan oposisi? Pasti para pejabat oligarki yang berkuasa akan ketar ketir dan merasa terancam kedudukannya karena tidak leluasa lagi untuk melakukan praktek-praktek busuk yang selama ini dilakukan. Tapi, sekali lagi itu hanyalah sebuah pengandai-andaian. Hanya imajinasi semata.
Lalu, mengapa praktek oposisi menjadi penting bagi kita? Tentu hal itu tidak bisa dilepaskan dari makna dan tujuan dari kita bernegara itu sendiri. Para pendahulu sudah menghantarkan bangsa ini ke depan pintu gerbang kemerdekaan. Tapi hanya sampai pada pintu gerbangnya. Kemudian tugas tersebut seharusnya di estafet-kan, diambil alih oleh generasi berikutnya untuk menghantarkan lagi kemerdekaan itu sampai tersentuh oleh seluruh rakyat. Akan tetapi apakah hal itu benar-benar terwujud hari ini? Inilah letak permasalahannya yang makin hari terlihat menjadi semakin kacau dan ngawur.
Dalam UUD 45 dijelaskan bahwa seluruh kekayaan negeri ini seharusnya di kelola dan di distribusikan secara merata untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat. Inilah bukti bahwa pondasi berbangsa kita dirumuskan dengan sangat sosialistik. Pun di mata hukum dimana kedudukan semua rakyat setara dan sama. Tidak ada perbedaan antara rakyat biasa dengan para pejabat. Tapi hal itu ternyata masih menjadi PR panjang bersama mengingat bahwa instrumen pondasi tersebut tergantung pada siapa yang mendapat mandat menjalankannya. Alih-alih membawa Indonesia seperti cita-cita kemerdekaan, para oligarki yang menguasai negeri ini malah membuat kekayaan alam bangsa ini tidak pernah di distribusikan untuk kepentingan rakyat. Yang ada adalah berbagi proyek bancakan dari, dan, oleh mereka para pejabat negara saja, baik di daerah maupun di pusat. Yang tujuannya untuk memperkaya diri, kelompok dan golongan. Dan kriminalisasi menjadi senjatanya. Bahkan sebelum tumbuhnya protes yang keras dan meluas, mengkritik saja bisa dijerat dengan pasal-pasal pidana yang berpotensi pemenjaraan terhadap mereka yang melakukan kritik tersebut. Sebagaimana yang dilakukan Luhut Binsar Pandjaitan (LBP), selaku menteri yang berkuasa di pemerintah hari ini. Haris Azhar dan Fatia selaku pegiat HAM dikriminalisasi sedemikian rupa. Mereka dianggap mencemarkan nama baik sang menteri berkuasa. Merugikan sang menteri secara materil dan imateril. Meninggalkan catatan buruk pada keluarganya melalui jejak digital. Dan sebagainya. Itu alasan LBP. Disinilah kita menjadi saksi bahwa kebebasan berekpresi itu ternyata sudah mati. Bahkan sama sekali tidak ada. Dan menjadi momok yang menakutkan tiap kali dilakukan. Sekalipun itu adalah kebenaran. Karena kebenaran yang diakui dinegeri ini ternyata ialah kebenaran dari para penguasa saja.
Belum lagi bagaimana kritik-kritik yang dilakukan salah duanya oleh seorang mahasiswa dan seorang pelajar sekolah menengah pertama (SMP). Mereka dengan berani melakukan kritik pada pemerintah karena melihat dan menyaksikan langsung bagaimana keadaan di daerahnya tidak kunjung berubah. Bahkan di salah satu daerah, pemerintah terkesan mendukung pengusaha ketimbang rakyatnya sendiri dari dampak yang dirasakan yang nyata-nyatanya menimbulkan kerusakan. Tapi karena pemerintah menganggap mereka adalah penguasa atau yang paling berkuasa dari semuanya, para pengkritik tersebut buru-buru diancam dengan upaya kriminalisasi. Dikenakan dengan pasal tuduhan palsu, penghinaan, pencemaran nama baik, pelanggaran UU ITE, disebut provokator dan sebagainya. Dan hal itu berhasil dilakukan. Sebagaimana yang dilakukan Gubernur Lampung atas kritik jalan-jalan yang tidak pernah baik. Juga yang dilakukan oleh Pemerintah Kota Jambi atas protes dari dampak kerusakan yang ditimbulkan oleh perusahan. Bahkan dalam kasus di Jambi, Pemkot terkesan lebih mendukung pengusaha daripada memperhatikan rakyatnya sendiri. Dan masih sangat banyak sekali kriminalisasi-kriminalisasi lainnya yang terjadi untuk membelenggu kebebsan berekspresi kalau mau merunutnya kebelakang.
Dua kasus di daerah – Lampung dan Jambi – terlapor berhasil bebas dari jerat penjara karena didukung oleh banyak netizen. Mereka memenuhi suara-suara keadilan dan bahkan semakin membongkar lebih banyak lagi praktek-praktek busuk dari pemerintahan. Sehingga ketika mata-mata kritis mulai mengawasi, barulah para penguasa tersebut menjadi khawatir dan timbul ketakutan. Sehingga kriminalisasi tersebut akhirnya gagal. Tapi hal itu tidak selalu serta merta berhasil. Kekuatan netizen adalah gerakan yang terjadi tiba-tiba. Kesadaran sepintas yang dilakukan tanpa pengarahan. Tentu tidak semua hal bisa di mention. Seperti kriminalisasi pada Haris dan Fatia, hal itu masih berlanjut sampai sekarang. Bahkan Haris dan Fatia harus menghadapi sidang di pengadilan. Mereka dijerat dengan UU ITE karena membahas laporan riset sejumlah organisasi masyarakat sipil lainnya tentang gurita bisnis pejabat negara, yakni LBP, di Papua yang melibatkan angkatan bersenjata yakni Militer. Dari pembahasan tentang “Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”, dalam salah satu kanal youtube, akhirnya Haris dan Fatia harus menghadapi kenyataan dikriminalisasi oleh LBP yang merasa dirinya difitnah. Dan anehnya lagi ialah bukannya aparat hukum terlebih dahulu menyelidiki hasil laporan riset yang dilakukan oleh berbagai organisasi masyarakat sipil tersebut, malah laporan LBP yang notabenya seorang pejabat negara yang didahulukan. Inilah sebuah praktek hukum yang paling aneh dan terjadi, bahkan di dunia, yakni hukum bukan mengadili fakta tapi justru mengadili perasaan seseorang.
Keterlibatan militer dalam bisnis-bisnis di negeri ini sejatinya sudah lama di praktekkan. Bahkan dari jaman Soekarno dan terus berlanjut dan gila-gila-an di jaman Soeharto. Bahkan sampai hari ini. Di jaman Soekarno hal tersebut memungkinkan militer terlibat dalam banyak bisnis dalam negeri karena saat itu hanya institusi militer yang dianggap cukup mampu menjalankannya dan punya resources-nya. Hingga lahir yang namanya BUMN. Akan tetapi praktek militer dalam rantai bisnis di negeri ini semakin menguat, terutama di bawah bayang-bayang Soeharto sebagai presiden yang berlatar belakang militer. Sebagaimana Richard Robison menuliskan dalam bukunya yang berjudul “Soeharto dan Bangkitnya Kapitalisme di Indonesia”. Jadi tidak heran keterlibatan militer dalam penguasaan bisnis di Indonesia terus terjadi. Dari militer yang masih aktif sampai pensiunan. Mereka tetap dapat jatah memonopoli kekayaan dari privilese yang mereka terima sebagai ‘angkatan’. Hingga tak heran dalam laporan berbagai organisasi masyarakat sipil, LBP dengan anak perusahannya terindikasi ikut bermain dalam bisnis tambang di Papua. Dititik inilah negeri ini menjadi semakin berbahaya. Ialah saat oligarki berhasil kawin dengan berbagai varian seperti instrumen politik, hukum dan sebagainya. Termasuk militer. Dari sini juga oposan menjadi hal yang harus tumbuh secara radikal. Karena untuk menghadapi refresifitas yang makin brutal, maka dibutuhkan radikalisme yang juga kuat. Oposisi adalah tangga menuju radikalisme tersebut dengan membangun kesadaran kolektif akan ketertindasan dan perlunya menjadi penyeimbang dari sistem yang tidak berpihak pada kepentingan bersama. Karena kalau keadilan mati, maka kebenaran hanya akan jadi wacana yang terlahir prematur dan tidak berguna. Makanya berharap pada parpol – apapun dasar ideologinya – akan terus menjadi kemustahilan yang hakiki. Oposisi yang paling nyata ialah lahir dan datang dari rakyat itu sendiri. Rakyat sejatinya adalah oposan yang paling bisa diandalkan.
Untuk memetakan siapa yang bisa dianggap oposan, Henry Bernstein telah memilah hal tersebut dalam klasifikasi petani yang ditulisnya. Differensiasi kelas dalam masyarakat adalah peta penting untuk mengidentifikasi siapa dan apa yang bisa dilakukan. Dalam bukunya “Dinamika Kelas Dalam Perubahan Agraria”, memang Bernstein lebih fokus pada kajian agraria dalam lingkup global tentang dinamika produksi dan reproduksi sosial petani. Dengan adanya pembagian kelas dalam kelompok kaya, menengah, miskin dan marginal, kemudian hal tersebut terhubung pada empat pertanyaan mendasar yakni siapa memiliki apa, siapa melakukan apa, siapa mendapatkan apa, dan apa yang mereka lakukan dengan itu. Disinilah pemetaan Bernstein pada kelas sosial tersebut bisa merangsang gerakan oposisi yang sangat memungkinkan untuk dilakukan. Terutama dengan mayoritas penduduk negeri ini sebagai petani, hal tersebut adalah gambaran kekuatan yang bisa dipakai untuk melawan oligarki. Petani – termasuk buruh dan kaum miskin marginal – justru adalah instrumen paling penting membentuk sebuah gerakan oposisi. Sartono Kartodirjo – dalam buku Pemberontakan Petani Banten 1888 – menulis tentang sejarah gerakan sosial dan petani di Indonesia. Sebuah anti-tesis yang ditulis sebagai kritik terhadap historiografi kolonial Belanda-Sentris yang menganggap rakyat dan kaum tani hanya memainkan peran pasif dalam sejarah Indonesia. Karena rakyat kecil seperti petani hanya dianggap sebagai orang-orang yang lemah, kecil, pasrah, tidak berpendidikan, dan karenanya harus menuruti semua yang diperintahkan penguasa. Tapi dengan meledaknya pemberontakan petani ini membuktikan bahwa petani memainkan peranan dalam sejarah Indonesia. Dan gerakan-gerakan seperti ini perlu dibangkitkan kembali mengingat bahwa alasan terjdinya pemberontakan petani Banten tersebut hampir sama dengan yang terjadi hari ini. Bahkan modernisasi sistem bernegara hari ini justru membuat rakyat semakin sengsara dan menderita (lihat artikel yang pertama). Kesejahteraan semakin menjauh. Welfare State hanya wacana yang terlahir prematur. Bonus demografi menjadi sia-sia dan tinggalah mitos belaka. Disini, Trisakti Soekarno justru dikhianati terang-terangan oleh anak ideoligisnya sendiri. Politik dikuasasi oligarki. Ekonomi dikuasai oligarki. Kebudayaan kita mewariskan prilaku dan tindakan oligarki yang mencekik segala hal. Kemerdekaan kita akhirnya terjun bebas menjadi minus seratus persen. Hanya saja bukan oleh penjajah dari negara lain, tapi perampok dari negeri sendiri. Disinilah peranan kelompok oposan menjadi penting. Dan rakyat harus menjadi bagian dari gerakan oposisi tersebut. Seperti sepakbola, ketika lawan berhasil merebut satu poin kemenangan, disitulah kita berjuang mati-matian untuk menyamakan kedudukan bahkan bangkit memenangkannya. Terlepas dari trik dan intrik, adil dan tidaknya. Pun begitu ketika kebebasan berekspresi dilarang, maka itulah alarm yang paling berbahaya bagi kemanusiaan. Dan disitulah kita harus bergerak dan bertindak. Sekalipun menuntut banyak pengorbanan. Seperti Haris dan Fatia.
Penulis: Melki AS