Memetik ‘Kabecikan’ Samin Surosentiko

Oleh: Langit – Pegiat Social Movement Institute

Di jalan setapak yang menuju pendopo itu, terlihat para pemuda serta bapak-bapak kompak menggunakan pakaian yang serba hitam dengan setelan celana yang agak menggantung. Dan para lelaki tersebut memakai ikat kepala dari kain kecil yang dililitkan melingkar yang menyerupai blangkon. Sebuah ciri khas tentang Suku Samin. Pun begitu dengan para perempuan yang menggunakan kain sebagai bawahan yang dipadankan dengan setelan kebaya.

“Monggo…. monggo…. monggo” ucapnya menyambut semua yang datang.  

Pendopo itu lambat laun menjadi ramai. Orang-orang mulai berdatangan ke lokasi yang tepat bersebelahan dengan sawah. Serta di depannya masih banyak pohon bambu. Sehingga tempat tersebut terbilang teduh. Dan informasi dari salah seorang tokoh adat, tempat itu merupakan tempat kediaman dari seseorang yang dalam masa hidupnya berani mengambil langkah tegas untuk tidak tunduk pada penjajah. Yaitu dengan cara tidak membayar pajak pada mereka yang melakukan penjajahan pada rakyatnya.

Suku Samin – diambil dari nama seorang tokoh pejuang rakyat bernama Samin Surosentiko – ialah sebuah komunitas adat yang yang tinggal di Blora, Jawa Tengah. Dan juga di daerah sekitarnya seperti di Kudus, Pati, Grobogan, Rembang hingga Ngawi. Dan sebutan bagi mereka ialah Sedulur Sikep, yang berarti Warga Samin, yang tetap teguh menjaga, melestarikan dan meneladani ajaran dari Samin Surosentiko.

Pendopo Pengayoman – persiapan tumpengan

Dan hari itu, tentunya menjadi hari yang istimewa bagi Sedulur Sikep. Karena pada hari itu mereka menggelar hajatan besar dalam rangka memperingati 116 tahun penangkapan sang pejuang rakyat – Samin Surosentiko – oleh penjajah kolonial Belanda. Sebelum akhirnya ia diasingkan ke Sumatera Barat sampai meninggal.

Tidak hanya dari kalangan warga Samin, tetapi banyak juga tamu lainnya yang diundang dalam acara tersebut. Tak ketinggalan ialah Hilmar Farid – Dirjen Kebudayaan, Kemendikbudristek RI (Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi) yang turut mengapresiasi acara dengan memberikan sambutannya secara daring. Selain itu ada juga para pengamat, sejarahwan, peneliti, aktivis dan lain-lain yang di undang. Termasuk kami dari Social Movement Institute (SMI) yang juga berkesempatan hadir dalam acara tersebut.

Setiba lokasi acara, tampak para penyambut yang mengenakan pakaian serba hitam tadi menyalami satu per satu tamu yang datang. Dari kejauhan terpampang potret Mbah Samin (panggilan Samin Surosentiko) dengan ukuran yang agak besar dan terbingkai di sudut tenda acara. Disampingnya, para perempuan Samin bersiap memainkan alat musik tradisional – yakni menggunakan lesung – yang dipadankan dengan koor paduan suara dari anak-anak yang membawakan pesan-pesan kebajikan dari ajaran Mbah Samin. Sementara di sampingnya lagi berdiri sebuah pendopo yang diberi nama Pendopo Pengayoman yang menurut salah satu tokoh adat Samin ialah sebagai tempat tinggal Mbah Samin yang di amanahkan untuk dijadikan tempat yang bemanfaat. Karenanya pada acara kali ini, sekaligus ditandai dengan peresmian Pendopo Pengayoman sebagai salah satu tempat Sedulur Sikep beraktivitas, menjaga warisan leluhur dan untuk melestarikan ajarannya.

*

Hujan baru saja reda. Bulir-bulir air masih terlihat di ujung dedaunan yang bisa dilihat dari kaca mobil yang membawa kami menuju Ngawi – sebuah kabupaten di Jawa Timur, sebelum membawa kami ke tujuan utama yaitu Blora – sebuah kabupaten di Jawa Tengah. Dan hari ini memang agak terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya. Dimana cuaca Jogja biasanya sangat terik. Tapi siang ini gumpalan itu meruntuhkan hujan yang cukup deras. 

Perjalanan menuju Ngawi memakan waktu kurang lebih tiga sampai empat jam dari Jogja. Dan rencananya kami akan bermalam semalam disana. Lalu esoknya baru melanjutkan perjalanan ke Blora. Tujuan kesana tak lain ialah untuk menghadiri undangan dari Sedulur Sikep yang mana akan menggelar acara peringatan terhadap perjuangan Mbah Samin. Acara yang diselenggarakan oleh Paguyuban Kadang Sikep ini juga diisi dengan diskusi yang bertemakan ‘Suluh Samin Surosentiko Kanggo Kabecikan’ sekaligus peresmian Pendopo Pengayoman Samin Surosentiko di Ploso Kediren, Randublatung, Blora.

Setelah bermalam di Ngawi, siangnya kami langsung berangkat ke Blora. Perjalanan ke lokasi acara tidak begitu jauh. Lebih kurang hanya satu jam-an. Dan setelah melewati jalanan yang cukup lenggang, kami akhirnya sampai di lokasi acara berlangsung.

Begitu sampai, kami langsung diarahkan menuju Pendopo Pengayoman. Sambil bersalam-salaman dengan para penyambut – Warga Samin – yang telah ada. Tapi sebelum ke Pendopo, kami disuruh untuk menikmati hidangan yang memang telah disediakan – hidangan khas desa seperti sayur gori (nangka), pecel dan ikan goreng yang telah disajikan di meja-meja acara. Disana, kami di bebaskan mau mengambil lauk pauk apa saja, termasuk nasinya yang tinggal diciduk dari entong-entongnya. Minuman-minuman segar pun sontak menghapus dahaga kami di siang yang panas itu.

Tumpengan

Setelah selesai makan, kami kemudian duduk di tenda yang sudah mulai ramai. Tak lupa kawan-kawan dari Persaudaraan Samin – yang berpakaian khas serba hitam – menyambut kami dengan ramah, mempersilahkan duduk di dalam pendopo dan di kursi-kursi yang disediakan di bawah tenda. Wajah-wajah mereka terlihat sumringan dan penuh sukacita berkenalan satu sama lain. Sebab hari itu adalah acara sakral dimana itu semacam peringatan 116 tahun ditangkapnya Mbah Samin (panggilan Samin Surosentiko) oleh Belanda yang kemudian beliau diasingkan ke Sumatera Barat dan meninggal disana.

Selain diisi dengan diskusi, acara peringatan tentang Mbah Samin dimeriahkan dengan nyanyian-nyanyian yang diringi oleh musik lesung. Nyanyian-nyanyian yang dibawakan oleh muda-mudi dan anak-anak dari warga Samin tersebut berisi tentang pesan-pesan kebajikan Mbah Samin – sebagaimana yang disampaikan oleh salah satu tokoh adat Sedulur Sikep, Gunretno.

“Mereka baru belajar lesungan, jadi maaf ya kalau ada salah” ungkap pria yang biasa disapa Kang Gun tersebut.

Lalu pada malam harinya akan di lanjutkan dengan Lamporan (menyalakan obor) dan Brokohan (makan).    

Lesung mulai ditabuh oleh para pemudi remaja, tembang-tembang mulai dinyanyikan bersama anak-anak. Salah satu tembang yang dinyanyikan anak-anak tersebut ialah ajakan bagi para warga Samin untuk menjaga alamnya agar tidak banjir atau longsor. Karenanya, warga Samin memilih menjaga hubungan harmonis dengan alam.  Inilah salah satu nilai utama warga Samin yang selalu diajarkan pada tiap generasi barunya.

Gunretno – salah satu tokoh adat Samin – menjelaskan tentang acara ini

“Memang ini tidak diajarkan di sekolah formal karena mereka memang tak bersekolah, tetapi langsung di dalam masyarakat dengan kehidupan yang dialami sehari-hari” ucap Kang Gun lagi.

Kehidupan masyarakat Samin diisi dengan aktivitas bertani. Karena dengan bertani mereka telah turut menjaga alam dan tanah yang selama ini yang menghidupi mereka.

 “Penulisan soal Samin dimulai dari kekalahan AS terhadap petani-petani di Vietnam. Mereka ingin mulai memahami kebudayaan petani, salah satunya dari Samin. Pertanyaan penelitiannya begini ‘apa yang membuat masyarakat Samin kok berbeda dari masyarakat petani lainnya? Mereka melihat masyarakat petani Jawa ini punya martabat yang sangat tinggi” ungkap JJ Rizal – seorang sejarahwan dalam membuka diskusinya.

Menurut JJ Rizal, sejarah Samin punya tafsir dan nilai-nilai yang beragam. Dan itu yang menarik. Karenanya pemikiran Samin harus terus ditaruh diatas meja pemikiran karena pemikiran Samin itulah yang akan menjadi jawaban dari pertanyaan petani hari ini.  “Itu tugas kita” ucap JJ Rizal.

Sementara itu, Eko Prasetyo – aktivis dan penulis – menjabarkan perlawanan Mbah Samin dan relevansinya dengan kondisi sekarang.

“Mbah Samin itu orang yang gagah. Beliau bersikap tidak mau membayar pajak sebagai perlawanannya pada kolonial yang selalu menyengsarakan rakyat” papar Eko.

Sekarang pun sebenarnya negara pun masih sama menurut Eko. Praktiknya masih tidak adil dan rakyat masih sengsara.

“Makanya mengapa dulu saya selalu protes dan ikut demonstrasi waktu jaman Soeharto. Dulu saya protes dan demo terus karena memang begitulah ajarannya Mbah Samin. Harus selalu melawan ketidakadilan” papar Eko Prasetyo.

Juga menurut Eko bahwa rakyat tidak butuh pabrik semen di Kendeng. Karena hal itu justru membuat alam menjadi rusak. Dan makanya pabrik semen di Kendeng itu harus terus dilawan. Karena Kendeng adalah rumah bagi warga Samin.

“Ajaran-ajaran tentang HAM itu sebenarnya sudah dilakukan oleh Mbah Samin pada masyarakatnya. Terutama tentang hidup egalitarian. Tapi masih banyak yang menstigma bahwa orang Samin itu bodoh atau tertinggal. Padahal jelas bahwa Samin sendiri bahkan sudah mengajarkan konsep hidup yang egalitarian. Hidup berdampingan, saling menjaga bersama dan saling menghormat” ungkap Eko yang merupakan pendiri SMI.

**

Setelah selesai diskusi, acara diistirahatkan sebentar untuk mempersiapkan acara Lamporan malamnya. Selain juga mempersilahkan bagi yang hendak sholat magrib dan sebagainya. Obor-obor sudah di siapkan dan diisi dengan mintak dan disumpal dengan kain sebagai sumbu untuk menyalakan apinya. Sementara di belakang Pendopo, muda-mudi Samin sibuk mempersiapkan tumpeng-tumpeng yang akan di bawa saat Lamporan nanti. Ada beberapa tumpengan besar-besar yang akan di gotong oleh beberapa muda-mudi Samin. Dan di sekitar pendopo, masyarakat semakin membludak. Sebuah antusiasme yang sangat tinggi mengingat bahwa Samin benar-benar berpengaruh bagi masyarakat. Dan setelah semua persiapan Lamporan selesai, maka obor-obor mulai di nyalakan. Lalu ribuan massa dengan diawali oleh Warga Samin berjalan mengarak obor tersebut menuju lapangan desa. Disana akan dibuat sketsa wajah Mbah Samin dari obor lamporan tersebut.

“Di lapangan nanti pada bawa obor. Dan di tengah lapangan itu nanti dari obor yang jumlahnya 1.907 akan membentuk sketsa wajah Mbah Samin. Mbah Samin Surosentika itu pesan ke anak-cucunya untuk terus memegang jiwa berjuang dan peka terhadap masalah-masalah, makanya semangatnya harus terus dijaga dan jangan sampai mati. Obor yang berjumlah 1.907 itu melambangkan (tahun) penangkapannya Mbah Samin. Nyalanya obor itu jadi wujud hidupnya Mbah Samin” ucap Gunretno.

Kami pun juga tidak ketinggalan ikut dalam arak-arakan obor lamporan tersebut. Berjalan bersama menuju lokasi yang dituju. Tak ketinggalan kami juga mengangkat obor tersebut selama dalam perjalanan. Dan lagi-lagi antusiasme masyarakat semakin bertambah. Terlihat dari sepanjang jalan menuju lapangan sudah dinantikan masyarakat dan tak sedikit yang ikut sekalian dalam arakan  lamporan itu.

Tapi sangat disayangkan, kami tidak bisa melanjutkan lamporan sampai membentuk sketsa wajah Samin. Dikarenakan ada beberapa aktivitas lainnya yang juga harus dilakukan esok hari. Ketika arak-arakan lamporan sudah sampai di lapangan desa, kami berpamitan untuk melanjutkan perjalanan pulang ke Jogja lagi. Memang sangat disayangkan karena kami tidak bisa ikut puncak dari acara peringatan tersebut. Tapi acara itu tentu membawa pesan yang kuat dan dalam, bahwa ketidakadilan memang harus selalu dilawan. Apapun resikonya. Karena hidup memang harus berani mengambil sikap. Dan itu yang diajarkan oleh Samin Surosentiko. Dan yang terus dipegang teguh oleh Sedulur Sikep. Perjuangan Samin adalah perjuangan kemanusiaan. Dan kita wajib untuk meneladani ajaran yang telah diwariskan tersebut.  (red)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0