Belum juga selesai satu kasus, konflik agraria di Indonesia terus bermunculan dari hari ke hari. Begitupun dengan yang dialami warga Pakel, Banyuwangi. Nyaris satu abad terlipat waktu, konflik agraria yang mendera mereka tak kunjung menemui ujung. Tanah yang seharusnya menjadi hak tiap orang, termasuk warga Pakel, nyatanya malah dikuasi oleh segelintir pihak.
Mengutip dari Walhi Jatim, semua bermula pada tahun 1925 saat warga meminta izin pada pemerintah kolonial Belanda untuk membuka lahan di hutan. Namun ternyata, surat izin tersebut tak pernah sampai di genggaman warga sebab dirampas dan disalahgunakan oleh Asisten Wedana Kabat. Berbagai cara telah ditempuh warga selama puluhan tahun. Mereka tetap bersikeras membuka dan mengerjakan lahan demi menyambung hidup. Perjuangan mereka masih tetap berlanjut meski harus dibayar dengan represi serta kriminalisasi.
Sampai akhirnya, Orde Baru pun berkuasa dan tidak juga menunjukkan keberpihakan terhadap warga Pakel. Warga tidak berani masuk hutan karena takut dituduh komunis. Oleh sebab itu, sebagian warga bercocok tanam di lahan bekas perkebunan Belanda. Tiba-tiba, PT Bumi Sari hadir dan mengklaim sepihak bahwa lahan tersebut milik mereka. Awalnya, perusahaan tidak mengusir, malah mendorong warga untuk terus bercocok tanam. Akan tetapi, pada akhir 1970an, Bumi Sari melakukan pengusiran saat tanaman warga bertumbuh besar.
Konflik agraria yang terjadi pun semakin kompleks. Setelah jatuhnya rezim Orde Baru, keadaan diperparah oleh surat izin lahan yang bukan hanya diklaim oleh PT Bumi Sari, melainkan juga Perhutani. Bahkan tahun 2001, Perhutani membakar lahan warga yang berbuntut pada banyaknya kerugian, termasuk pendidikan. Para pemuda baik laki-laki maupun perempuan, terpaksa putus sekolah.
Untuk memperjuangkan lahan, warga terus melakukan aksi pendudukan dan melalui jalur hukum. Hingga akhirnya warga Pakel menang atas gugatannya terhadap PT Bumi Sari. Untuk merayakannya, warga melakukan syukuran. Sayangnya, kegembiraan tersebut mesti tertunda lagi dan lagi. Di tengah-tengah acara syukuran pada Jumat (14-01), tiba-tiba puluhan polisi datang dan menghajar warga. Kejadian tersebut menyebabkan banyak korban luka. Tagar #PercumaLaporPolisi rupanya tak membuat institusi kepolisian untuk segera berbenah.
Citra buruk tersebut kian terbukti seiring banyaknya oknum kepolisian yang berulah satu persatu tiap harinya. Berdasarkan rilis pers dari warga, kejadian ini bukan sekali dua kali. Sejak dulu, warga sangat sering mengalami tindakan represif dari aparat. Seperti halnya teh tanpa gula, rasanya polisi tak lengkap tanpa represi.
Kejadian yang dialami warga Pakel hanya satu dari ribuan konflik agraria di Indonesia. Kejadian tersebut juga hanya potret kecil dari banyaknya tindakan represif oleh aparat. Untuk merespons hal tersebut, Aksi Kamisan Yogyakarta menyatakan sikap:
Kamis, 27 Januari 2022