Oleh: Melki AS (Pegiat Social Movement Institute)
“Sekarang aku baru tahu” ujar Nana dalam hati, “bahwa hidup ini hanya untuk melipat kenangan dari kenangan, dan selebihnya adalah bagaimana harus merapikan, meletakkannya dalam kotak dimana sudah seharusnya kenangan itu tersimpan, selain menaburinya dengan butiran-butiran doa”.
***
Belakangan ini Nana tak henti mengeracau tentang dirinya. Permasalahan-permasalahan yang kerap ia alami membutuhkan sandaran untuk di ceritakan secara lebih puas. Dan satu-satunya yang bisa menjadi sandaran tersebut adalah Ibu. Kerinduannya pada sosok sang Ibu tidak saja untuk meluapkan apa yang terjadi pada dirinya, tapi juga berharap ada tangan yang bisa mengusap air matanya yang terlanjur jatuh. Nana rindu ketika ibu membelai kepalanya, menyibakkan rambutnya yang panjang terurai lalu bercerita tentang dunia yang maha luas ini. Ia rindu pada semua omelan Ibu yang kerap menghampirinya ketika ia malas-malasan untuk mandi atau makan. Tapi semua itu terdengar musykil mengingat beberapa tahun lalu ia harus menerima kenyataan bahwa sang Ibu telah di panggil oleh Sang Hyang Maha Kuasa. Tangis pecah sejadi-jadinya saat itu. Ia seakan tak percaya kalau Ibu yang disayangainya, tempatnya bersandar dari segala hal yang ada, begitu cepat harus meninggalkan semuanya. Sakit yang di deritanya akhirnya harus berakhir dengan mata yang terpejam untuk selamanya. Dan ruangan perawatan rumah sakit itu selalu menjadi saksi sekaligus traumatik bagi seorang Nana yang mau tak mau harus merelakan kepergian salah satu sandaran hidupnya.
Setelah kepergian sang Ibu, lama Nana harus menyesuaikan diri dengan semua keadaan. Bahkan ia yang kemudian berperan menggantikan sang Ibu setiap menemani ayahnya kondangan. Ia juga harus memperhatikan adik lelaki satu-satunya yang masih sekolah menengah pertama. Disamping ia juga harus segera menyelesaikan studinya di perguruan tinggi, lalu mencari kerja untuk bisa membantu ekonomi keluarga. Kakak perempuannya memang sudah bekerja di balai desa tempat mereka tinggal. Hanya saja ia juga harus menghidupi anak semata wayangnya yang masih kecil – sendirian – suaminya pergi setelah di usir karena perangainya yang tak senonoh. Dan penghasilan dari menukang, membuat properti seperti meja, jendela, pintu, kusen dan sebagainya yang dilakoni sang ayah sudah banyak saingan. Makanya Nana yang mau tak mau harus terjun dalam banyak hal untuk bisa membantu kehidupan keluarga.
Hingga suatu saat sang ayah meminta izin untuk menikah kembali. Ada perasaan bercampur yang dirasakan Nana saat itu. Antara shock karena memang susah menggantikan peran Ibu kandung yang tlah membesarkannya, dan di samping itu ia juga tak hendak ayahnya selalu bersedih dan murung pasca kepergian istri pertamanya. Lama perasaan itu di timbang, sampai akhirnya seluruh keluarga setuju bila ayahnya mau menikah kembali. Harapannya agar sang ayah bisa ceria kembali, lalu bisa beraktivitas dan kerja sebagaimana dahulu pernah dilakoninya. Semua setuju dan tak ada alasan lagi untuk menolak. Apalagi calon istri baru sang ayah – ibu tiri Nana –berstatus janda dan punya anak yang sudah berkeluarga semua. Lalu setelah semua sepakat, hari dan tanggal yang di tentukan sudah ada, maka pernikahan itu pun di langsungkan. Tidak ada acara besar-besaran, pesta-pesta, hiburan dangdut dan semacamnya. Acaranya cukup sederhana . Hanya ijab yang disaksikan seluruh keluarga dari kedua belah pihak – lalu sah. Itu saja. Seketika perempuan janda tersebut resmi menjadi istri dan melepaskan statusnya terdahulu. Nana serta kakak dan adiknya menyalami ibu tiri mereka. Tak lupa mereka mencium tangan ibu tiri tersebut seperti ibu kandungnya dahulu. Semua menitikan air mata saat itu. Mereka saling berangkulan, berpelukan dengan erat layaknya sebuah keluarga utuh. Meskipun Nana tak bisa menghindari bayang-bayang ibu nya dulu di hari itu. Dalam dekapan yang erat itu, ayah berpesan satu hal bahwa meskipun ibu tiri tapi yakinlah bahwa ibu tirinya ini akan menyayangi semua keluarga sama seperti anak kandungnya. Tidak akan ada perbedaan dan tidak akan melakukan pembedaan, bahkan sedikit pun.
Hari berlanjut, bulan berlalu dan tahun pun berganti. Semakin lama Nana menjadi terbiasa dan akrab dengan ibu tirinya. Ia menepis semua anggapan bahwa ibu tiri itu hanya mencintai ayahnya saja – kurang mencintai anak-anaknya. Karena ia tidak melihat hal itu pada ibunya yang saat ini. Ibunya saat ini bahkan begitu menyayanginya. Menyayangi kakak, adik serta cucunya.
“aku ya sayang dengan ibuku ini, bang” ucap Nana suatu kali, “ia juga sayang sama kami semua . Kadang ia memasakkanku ayam kalau aku pulang”.
“ya baguslah kalo begitu” balasku, “justru memang harus begitu kok. Ibu tiri itu kan cuma pandangan orang saja. Sejatinya ia juga tempatmu untuk kembali. Dan jangan pernah membedakannya dengan ibu kandungmu dulu. Karena itu akan membuat luka hatinya. Ketika ia mencintai ayahmu, ia sudah sadar konsekwensinya bahwa ia harus mencintai kalian semuanya, tanpa alasan dan tanpa pandang bulu. Itulah hakikatnya seorang istri”.
“iya bang. Aku sayang kok dengan beliau. Tidak pernah aku membedakannya seolah-olah beliau hanyalah pelengkap saja. Kami semua menganggap beliau sama seperti ibu kandung kami kok”
***
Aku pernah bertemu dua kali dengan ibunya Nana. Ia murah senyum. Ia selalu duduk di samping suaminya – ayah Nana. Ia tidak banyak bicara. Tidak banyak cerita. Ia terlihat kurus. Berjilbab. Sesekali bersuara hanya mempersilahkan aku untuk minum teh yang telah dibuatkannya. Serta menyuruh mencicipi hidangan kue yang ada di atas meja.
“monggo mas di minum” katanya suatu kali, “nanti keburu dingin. Kue nya silahkan di cicipi”
“baik bu” aku langsung menyerupu teh panas yang tadi barusan di tengahkan. Tak lupa aku langsung menyambar donat yang ada di atas meja tersebut. Mumpung ada, pikirku. Dan donat dengan taburan coklat diatasnya itu begitu menggoda. Se-menggoda ach… hehehe. Aku kemudian asyik berbicaranya dengan suaminya. Kebetulan ada beberapa hal yang memang terhubung dengan yang kukerjakan setiap harinya. Ibunya Nana terus di samping suaminya. Dan memang ia tak banyak bicara. Entahlah apakah memang ia begitu atau ada hal lainnya yang ia tidak mengerti dari pembicaraan aku dengan suaminya, yang kerap di sela Nana beberapa kali itu.
Hingga suatu saat aku melihat postingan Nana di media sosialnya yang mengabarkan bahwa ia sedang mencari pendonor yang bersedia mendonorkan darah untuk Ibunya. Postingan yang begitu menyayat hati dan sedih. Jarang ia melakukan seperti ini. Kalau bukan memang itu suatu hal yang tak lazim.
Kepada Kawan-Kawan Semua…
Pada teman-teman semuanya dan seluruh orang yang saya kenal baik, saya minta tolong ada yang bersedia mendonorkan darahnya. saya lagi membutuhkan golongan darah O untuk membantu ibu saya yang sedang drop karena sakit. Bagi yang bersedia, dapatmenghubungi saya. Sekarang kondisi ibu benar-benar sangat membutuhkan. Saya tidak bisa memberikan apa-apa bagi yang bersedia mendonor. Saya hanya bisa mendoakan semoga hidupnya selalu berada dalam lindungan Tuhan Yang Maha Kuasa. Amin
Terimakasih.
Aku melihat postingan itu dan kemudian bertanya apakah ibunya masuk rumah sakit lagi. Nana mengiyakan bahwa ibunya drop lagi dan sekarang sedang di rawat di rumah sakit daerah. Aku tak bisa membantu banyak. Aku hanya bisa meneruskan pesan tersebut ke kawan-kawan lainnya. Berharap ada yang bersedia membantu mendonorkan darahnya. Karena aku sendiri berbeda golongan darah.
Perihal ibunya yang sakit, sebenarnya sudah lama aku mengetahuinya. Nana sering bercerita denganku kalau ibunya terkena kanker serviks. Dan beberapa kali mengharuskannya kontrol ke rumah sakit. Karena hasil kontrol tersebu tidak langsung jadi, tak jarang bahkan Nana yang sering mengambilkan hasil kontrol dari rumah sakit tersebut dan membawanya pulang ke rumah. Makanya aku tak heran dengan berita bahwa ibunya sedang sakit. Karena sejak aku mengenal Nana ia sudah menceritakan hal itu kepadaku. Termasuk sama tidak herannya aku dengan yang barusan ini. Cuma kemudian aku agak sedikit kaget ketika Nana menceritakan tentang sakit ibunya yang kali ini. Karena menurutnya ia juga kaget mendengar itu semua. Bukan ia saja. Tapi seluruh keluarga. Selain ayahnya. Karena selama ini ia hanya tahu kalau ibunya kena kanker serviks. Dan paling-paling ada keluhan lainnya di sekitar perut.
Tapi kali ini agak sedikit berbeda. Ceritanya merujuk pada sesuatu yang tak pernah di sangka sebelumnya. Bahwa ibunya mengidap penyakit yang saat ini belum ada obatnya. Dan ternyata hal itu sudah berlangsung agak lama. Dan yang membuatnya lebih terkejut lagi ialah bahwa tempat ibunya yang sekarang dirawat adalah di tempat yang sama dengan ibu kandungnya dahulu di rawat sebelum meninggal. Trauma itu muncul kembali karena memang ada kenyataan sedih di masa lalu yang kini harus di saksikannya lagi di tahun ini.
Nana menceritakan hal ini ketika kami sedang makan di kantin. Awalnya aku hanya bertanya bagaimana kabar ibunya yang sedang sakit. Ia menjawab biasa saja. Akan tetapi ia menyelipkan sesuatu yang menjadi teka-teki tentang sakit ibunya. Katanya sakitnya kali ini lebih parah dari sebelumnya. Bahkan di atas dari semua yang ada, dari semua yang ku sebutkan dan yang ku tahu sebelumnya. Ia kemudian membisikkan ke telingaku tentang sakit Ibunya yang baru-baru ini diketahuinya. Aku sedikit terkejut mendengarnya. Tapi Nana berpesan agar aku tak menceritakannya ke orang-orang.
Nana menceritakan bahwa penyakit yang diidap ibunya bermula dari sebelum ibu tirinya tersebut menikah dengan ayahnya. Karena ibu tirinya ini sebelumnya sudah bersuami. Tapi saat itu suaminya meninggalkannya bersama perempuan lain ke Bengkulu. Dan suatu saat suaminya akhirnya pulang lagi. Selayaknya sang istri ketika suaminya telah pulang kembali, maka wajar kalau ia harus menunaikan kewajibannya. Dan disaat itulah – menurut perkiraaan Nana – ibu tirinya tersebut terjangkiti penyakit yang sekarang di idapnya ini. Mungkin dari suami terdahulunya. Karena setelah itu ibu tirinya tersebut bercerai dengan suaminya. Juga pernah pula katanya dulu ia punya anak, tapi kemudian anak tersebut meninggal. Dan dua tahun berikutnya ayahnya menikahi ibu tirinya tersebut.
Nana tak hendak melanjutkan ceritanya di kantin saat itu. Tampak raut kesedihan ketika ia menceritakannya. Karena apapun itu – meskipun tiri – tapi ia tetap ibunya. Ibu yang di sayanginya. Ibu yang telah memberikan warna pada sisi hidupnya selama ini.
“Tapi, kemarin sudah dapat kan 5 kantor darah itu?” aku bertanya pada Nana.
“Alhamdulillah sudah, bang. Kemarin juga aku sempat ke PMI. Hanya saja di PMI itu harus kita carikan penggantinya”
“ya gak apa-apa. Yang penting kebutuhan mendesak sekarang kan sudah ada. Jadi sudah bisa di transfusikan dulu yang sudah ada ini. Oh ya, bagaimana keadaannya?”
“sudah membaik. Tapi masih di rumah sakit. Nanti sore aku kesana lagi”
“lho belum di transfusikan semua toh darah itu?”
“belum bang, kayaknya sehari hanya satu atau dua kantong saja yang di transfusikan”
“oalah, makanya itu ibumu masih di rumah sakit ya”
“iya bang”
***
Nana mungkin bersedih dengan semua keadaan ini. Selayaknya seorang anak ketika ada anggota keluarganya yang bersedih, pastilah yang lain ikut bersedih pula. Tapi aku yakin ia mampu melewatinya. Nana telah jauh tumbuh menjadi perempuan yang lebih kuat dari sebelumnya. Aku yakin, serupa keyakinan dari apa yang pernah ditulisnya tentang sosok seorang Ibu. Apalagi ia sendiri pernah menjadi relawan atau volunter dalam kasus serupa yang terjadi di masyarakat. Karenanya aku selalu yakin dengannya. Ia sudah tahu kemana jalan yang harus di tempuhnya ketika ia merindu pada ibu. Pengalaman dan masa lalu membentuknya menjadi perempuan yang tegar, walaupun sedih adalah hal yang wajar. Setidaknya ia berguru pada realitas.
… kutahu ku takkan bertemu denganmu,
Tapi ku kan datang,
Ku kan selalu berkunjung,
Dalam setiap doa-doa ku.
Dari bait-bait itu aku sangat yakin bahwa keadaan seperti hari ini – seperti yang menimpa ibunya kali ini – Nana sangat memahami dan tahu ia harus berbuat seperti apa. Sebagai seorang anak ia tak mungkin durhaka. Kehilangan memang pahit. Tapi kehilangan tak bisa dihindarkan atau di jegal oleh manusia karena itu adalah rahasia kehendak sang kuasa. Ia pernah kehilangan. Dan kalaupun kali ini harus kehilangan juga, maka itu sudah menjadi suratan . Dan ketika Tuhan sudah menuliskan suratan-Nya, maka tidak ada alasan bagi umatnya untuk memohon pembatalan. Karena Tuhan bukan kasir, yang menghitung untung dan rugi suatu kehidupan. Tapi Tuhan adalah pencipta, yang punya hak preogratif untuk meminjamkan dan mengambilnya seperti kontrak yang sudah di catatnya dalam buku besar bernama Takdir.
… Ibulah sinar yang selalu hadir,
Cahaya yang tak pernah redup,
Yang menerangi segala kegelapan,
Petunjuk pada jalan kehidupanku yang sering tak bertujuan,
Hati yang tak lelah menerimaku ketika pulang.
Ibu adalah rumah – jalan panjang yang kerap di penuhi semak belukar untuk sampai kesana. Tapi ia akan selalu menunggu sampai sang anak mau menebas segala belukar berduri tersebut. Dan ibu akan selalu menyambut dengan kehangatan yang tak pernah berubah. Doa adalah pisau yang kan menebas jalan rindu tersebut. Sebab ada kenangan yang kan selalu ditempatkan pada kotak yang memang seharusnya menjadi tempat dimana rindu itu akan selalu bersemayam. Rindu pada yang telah berlalu, maupun pada nasib yang masih memberi kehangatan pada setiap tarikan nafas kita hari ini.
Nana pasti sangat paham akan hal itu. Bukan saja karena ia makhluk perindu. Tapi justru karena ia adalah calon seorang ibu. Juga. Dan – ibu – yang menyayangi keluarganya tanpa alasan, maka ia layak mendapat kehormatan yang setinggi-tingginya – tanpa alasan juga.
Sekian.