Oleh: Eko Prasetyo
“Anda hidup hanya sekali, tetapi jika Anda melakukannya dengan benar, sekali itu cukup.” (Mae West)
Rasanya rindu sekali saya untuk diskusi kembali dengan bapak. Terbang ingatan saya di tahun 90-an ketika di pekarangan UII bapak selalu menyediakan waktu untuk mendengar keluhan kami. Tentang kekuasaan otoriter Orde Baru atau sosok Soeharto yang kejam terhadap ummat Islam. Mudah sekali pak Bus setuju ketika saya usul untuk membuat buku tentang rekaman kekerasan yang dilakukan oleh rezim Orba. Bahkan dengan antusias pak Bus memfasilitasi kedatangan Delliar Noer untuk ceramah di UII padahal dirinya salah satu musuh berat Soeharto. Hari itu saya menjadi saksi sikap teguh, keras dan tangguh dari pak Bus.
Sepertinya baru kemarin pak Bus dengan bersemangat membongkar praktik keji intelijen dalam memasung gerakan Islam. Terus terang itulah salah satu karya terbaik untuk memahami bagaimana buruknya kinerja badan intelijen kita. Penulusuran pak Bus pada kasus Komando Jihad bukan hanya menjamu ummat Islam dengan data tapi pemahaman bagaimana gerakan Islam gampang dibajak untuk kepentingan nista. Saya kagum melihat ketangguhan pak Bus dalam usia senja untuk terus membedah era kekejian Soeharto yang waktu itu menempatkan Islam sebagai sasaran. Tapak perjalanan bedah buku tentang Komando Jihad itu merupakan kenangan terdalam saya mengenai pak Bus: penuh semangat, berani dan punya argumen kuat.
Hingga pak Bus duduk sebagai pimpinan KPK saya tak lagi banyak menemani. Pastinya sejak pak Bus berada di Jakarta saya hanya bisa membaca pernyataan dan sikapnya. Terlebih ketika saya tidak berada di Pusham UII rasanya saya hanya bisa kagum dan berdoa. Semoga pak Bus diberi kesehatan, ketabahan dan keyakinan sebagaimana dulu saya mengenalnya. Dosen muda yang sederhana dan mudah ditemui kapan saja. Dosen muda yang selalu percaya kalau kehidupan kebangsaan jangan sampai jatuh ke tangan Orde Baru . Sebuah era yang pak Bus sendiri pernah mengalaminya, melawannya dan terus mengajak siapa saja untuk waspada atasnya. Hingga sebuah berita menyengat datang dengan tiba-tiba: pak Bus membela anak daripada Soeharto. Bambang Triatmojo yang dikenal sebagai suami seorang penyanyi, punya bisnis di mana-mana dan kini masih punya kekayaan luar biasa.
Bambang, Tommy, Tutut adalah keluarga Cendana yang menikmati hidup nyaman lebih dari 30 tahun. Di masa bapaknya mereka dimanja luar biasa. Fasilitas apa saja diberikan dengan mudah dan siapa yang mengritik mereka bisa berbuah sanksi. Mulai dari cengkeh, mobil hingga jalan tol seperti jadi arena bermain mereka. Belum lagi Soeharto memanjakan mereka dengan memberi kemudahan untuk mengembangkan sayap bisnis apa saja. Seolah bentangan luas negeri ini hanya menjadi pekarangan bermain anak-anak Soeharto. Hingga Soeharto hengkang, lalu satu per satu keluarga Cendana seperti kehilangan penyangga. Bikin partai politik kalah bahkan partai yang didirikan Tomy Soeharto malah dikudeta oleh pengurusnya sendiri. Singkatnya anak-anak itu seperti mendapatkan karma.
Lalu pak Bus datang dengan argumen yang remeh dan sederhana: ini bukan kasus korupsi. Tapi pak Bus pasti mengerti kalau anak-anak Cendana dibesarkan dengan taktik korupsi yang luar biasa. Melalui mereka praktik nepotisme itu menjalar jadi politik dinasti yang kini mewabah di Pilkada. Bukan hanya soal Bambang dicekal tapi ini bersangkut-paut dengan nilai yang kita junjung bersama bahwa rezim Orba itu telah meracuni tatanan politik kita hingga saat ini. Diatas junta militer itu rezim Orba memasung, memangkas bahkan membunuh dengan cara membabi buta. Saat itulah keluarga Cendana seperti kasta istimewa yang tak dapat disentuh sama sekali. Sehingga cekal Bambang itu bisa disebut sebagai hukuman ringan dari kekuasaan yang sudah alfa terhadap tuntutan keadilan.
Kerisauan para aktivis anti korupsi dan saya bukan tanpa alasan. Kami merasa Bambang Triatmodjo tidak hanya punya lawyer tapi Dewa yang bisa mengangkat derajat keluarga Cendana yang kini berantakan di mana-mana. Membuat partai politik gagal, mengembangkan bisnis berbuah konflik hingga kisruh soal keluarga mencuat di muka publik. Maka saat pak Busyro datang sebagai advokat yang diperoleh bukan saja kemenangan tapi citra kuat dari keluarga Cendana kalau mereka menemukan pahlawan baru. Seorang mantan petinggi KPK yang dikenal bersih, keras pada masa lalu dan kini merasa tidak bermasalah untuk membela salah satu anggota keluarga mereka. Ingin saya mencoba bertanya: apa yang dicari pak Bus sesungguhnya?
Di media saya membaca pernyataan pak Bus tentang peran seorang advokat. Nyaris saya lupa kalau pak Bus selain dosen adalah pengacara. Profesi yang ketika muda diperankan untuk membela banyak orang lemah. Kini profesi serupa itu pula yang dijadikan landasan membela Bambang Triatmodjo. Tapi pak Bus bukan ‘sekedar’ seorang lawyer melainkan pria yang dulu pernah geram dengan kekejaman Orba, benci atas semua perkara korupsi bahkan berulang-ulang menggugat berbagai kebijakan negara yang bahaya. Pak Bus tidak lagi disebut pengacara tapi tokoh bangsa. Tokoh yang jejaknya selalu menyisakan sikap hormat, bangga dan kagum. Maka mudah dipahami jika banyak kalangan-terutama para aktivis-kecewa dengan pilihannya hari ini. Rasanya mereka seperti kehilangan guru, sahabat dan teman perjuangan.
Sebagaimana mereka kehilangan teman yang memilih untuk mengambil jalan beda. Khawatir rasanya saya pak Bus akan menganggap biasa untuk dekat, bergaul dan akrab dengan keluarga Cendana. Keluarga itulah yang telah memadamkan api demokrasi selama 32 tahun. Di atas keluarga itu ada banyak luka yang menganga yang hingga sekarang tidak mampu diatasi. Bentangan ambisi ekonomi mereka telah membuat rakyat hidup dalam nestapa. Bahkan kelak perangai mereka ditiru oleh keluarga penguasa sekarang ini. Jika bisa diibaratkan keluarga Cendana menjadi tauladan bagi sebuah praktik nepotisme yang kini subur di mana-mana. Jika pak Bus membela salah satu anaknya maka itu bagi kami seperti sebuah jebakan yang dipasang secara sempurna.
Berarti benar yang dikatakan banyak orang kalau kita gagal menyemai demokrasi. Bukan karena pukulan balik rezim otoriter tapi hilangnya banyak orang yang dulu berjuang bersama. Hijrah berada di kubu sebelah memang sebuah pilihan yang bebas tapi kian susah payah kita untuk menyatukan terus langkah. Meski setiap alasan itu punya pembenarannya sendiri tapi perjuangan demokrasi kita seperti kembali pada soal lama: komitmen, kesetiaan dan pengambilan jarak yang lugas. Rasanya itulah yang membuat kita seperti berada di jalan yang terus memutar tapi kita selamanya yakin jika kebenaran itu tidak meluntur begitu saja. Pak Bus telah memahat jalan perlawanan di masa lalu dan kini sikapnya menjadi pelajaran yang sempurna: betapa perjuangan untuk melawan lupa bukan hal mudah untuk diteguhkan. Bahkan upaya menciptakan garis demarkasi tidak gampang ditarik garisnya.
Terimakasih pak Bus. Selamanya saya menganggap anda sebagai guru: bagi ide, gagasan dan langkah saya. Tak selamanya langkah manusia itu sempurna karena itulah surat ini hanya bermaksud mengingatkan saja. Kini dari jauh saya hanya bisa menatap wajah pak Bus di kamera dan koran dan sembari berdoa pada Tuhan: semoga pak Bus sehat, tetap bersahaja dan tidak lupa untuk melawan kemunkaran. Terima kasih.
Wassalamualaikum Wr Wb