Nyanyi Sunyi Seorang Pelacur

Puisi ini adalah gambaran utuh dari sebuah narasi keresahan. Pengalaman menjadi dasar utama bagaimana puisi ini mewujud. Mungkin tidak sehebat pendahulu. Tapi puisi ini hendak berbagi keresahan itu sebagai pelecut bagi kita semua. Yang artinya kita hanya punya 2 pilihan dalam hidup; Bangkit Melawan atau Diam Tertindas . Inilah kehidupan sosial yang kami coba tuangkan dalam bait-bait sederhana. Kalau WS Rendra menganggap puisinya sebagai pamplet masa depan, kami sendiri mengatakan puisi kecil kami di buku ini adalah orasi dan propaganda untuk masa depan. Karena bagi kami puisi tidak melulu tentang romantika atau sekedar kata-kata. Tapi puisi juga sebagai senjata yang bisa menembak apapun, termasuk kekuasaan. Dan puisi ini adalah cara kami untuk menembak dengan cara yang berbeda, selain turun ke jalan. Terimakasih. (Melki AS & Nunung Siwi Utari)


Kata mereka tentang buku ini:

Butuh kreativitas dan kepekaan untuk berkarya. Tapi mempublikasikannya untuk dinikmati khalayak, jelas butuh keberanian dan kejelian membaca momen. Buku puisi ini adalah gabungan dari semua elemen itu. Yang ditawarkan bukan rangkaian kata yang mendayu-dayu, tapi sebuah rekaman zaman yang pedas dan lugas. Meski tajuknya “Nyanyi Sunyi Seorang Pelacur”, tapi pelacuran sesungguhnya terangkum dalam puisi “Kepada Ki Hadjar Aku Kabarkan Sebuah Kisah”:
“…tentang pelacur-pelacur intelektual yang biasa menjilat-jilat kemaluan penguasa, korporasi dan yang bertahta.”

Dan puisi-puisi ini tidak berbicara masa lalu, seperti Chairil bicara Diponegoro atau para leluhurnya (datu) Pattirajawane. Tapi tentang hari ini.
“…virus kebencian yang banyak mewabah pada umat manusia,
yang ditularkan tidak melalui udara, dan atau kontak fisik,
tapi melalui media-media propaganda.”
Tidakkah ini sangat hari ini?
Pun demikian, porsi terbesar kumpulan puisi ini untuk merenungkan esensi kemerdekaan dan penghormatan pada perempuan seperti “Salahkah Aku Punya Vagina”.

Bagi generasi milenial yang ingin melihat wajah Orde Baru, barangkali puisi-puisi Tukul dapat membantu. Namun jangan kaget, jika setelahnya lalu membaca karya-karya Melki dan Nunung, dan mendapati seolah Indonesia terjebak dalam mesin waktu. Tak beranjak ke mana pun.
“hukum menjadi kerap tebang pilih;
masyarakat yang ditebang,
yang punya kuasa atas modal dipilih,”

(Dandhy Laksono – Jurnalis)

***

Jika ada yang mengatakan bahwa karya sastra harus bertendensi, maka kumpulan puisi ini telah menunjukkan kepada pembaca akan hal itu. Karya sastra sebagai cara yang dipilih oleh penulisnya untuk menyampaikan protes sosial dan kegelisahannya akan kondisi bangsa dan negara ini. Di situlah puisi ini telah berhasil ‘menelanjangi’ penulisnya sebagai; aktivis sosial.

(DR. Ahmad Sahide – Dosen, Penulis, dan penggiat Komunitas Belajar Menulis)

***

Beberapa puisi terasa dekat dengan realitas sosial dan kontekstual dengan situasi sekarang ini. ‘Nyanyi Sunyi Seorang Pelacur’ mengajak orang berpikir lebih dalam tentang kekuasaan, penggarong, kemiskinan, dan menguji kemanusiaan setiap orang di tengah serangan virus Corona yang mematikan.
Tanpa kehilangan sentuhan personal, sebagian puisi mengingatkan kerinduan terhadap ibu. Meskipun raga ibu telah tiada, tapi selalu abadi dalam pikiran dan kenangan.
Di bagian lain terasa kuat pembelaan kepada setiap manusia, yang berdiri pada kesetaraan. Menentang ketidakadilan dan penindasan terhadap perempuan yang masih dianggap sebagai kelas dua dalam dunia yang patriarkal.

(Shinta Maharani – Ketua Aliansi Jurnalis Independen Yogyakarta

Bagi anda yang ingin memesan buku ini dapat menghubungi wa.me/6285877831013

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0