Cempedak dan Ketinting Merah

Tali yang melingkar di mesin ketinting itu berwarna cokelat kusam. Melilit di lingkaran semacam roda besi kecil menyerupai roti maryam yang ditaburi madu. Urat-urat hitam legam mengular di tangan Raham ketika menarik tali itu berkali-kali. Suara mesin tersendat-sendat. Tak ingin hidup. Dihar yang saat itu sedang memancing di dermaga, mengharap ikan Belida segera memakan umpanya. Sudah 2 jam lebih ia setia menunggu kailnya diterkam. Tapi tak kujung jua menyambar. Sementara Raham sedang terus berupaya menghidupkan mesin tua, umurnya 5 kali Idul Fitri, peninggalan kakeknya. Dihar menghampirinya, menawarkan pertolongan.

Sore telah mengundang senja oranye di atas Musi. Kedua pemuda itu berkelakar banyak di atas perahu, sambil menikmati kerumunan manusia dan perahu-perahu melintasi sepanjang sungai. Sore itu mereka berbagi cerita. Perahu Raham masih terdiam. Mesin ketintingnya ia copot. Dihar menggulung tali pancing, kailnya ompong. Umpan cacingnya telah memutih mengkerut. Raham, pemuda Bajo, yang sedikit asing dengan daratan itu akhirnya mengiyakan saran Dihar: bermalam di rumah tua yang ada pohon cempedak raksasa di halaman depannya.

Mereka berjalan menyeberangi Ampera. Kemudian memasuki Pasar Kuto, masuk berkelok-kelok di gang-gang sempit. Hingga akhirnya mereka tiba di depan pagar besi keropos yang di sana rumput-rumput menutupi hampir 90% bangunan rumah tua. Rasa kangen pada kampung halaman, Kebumen, membuat Dihar membayarnya dengan berbuat baik pada sesama manusia. Dihar, sudah 3 Minggu menempati rumah terbengkalai ini. Masyarakat sekitar tak ada yang berani menempatinya dan seolah cuek ketika Dihar tinggal di sana.

Pagebluk menggerayangi bumi, menuntun banyak orang serba aneh. Kerumunan menjadi kesepian. Tapi keramaian tak pernah sendirian. Pasar Kuto boleh saja sepi, tapi toko-toko sepanjang jalan masih banyak berjualan. Tak terkecuali Mall. Bandara, stasiun, terminal dan dermaga dibuka lebar oleh pemerintah. Raham masih bingung menatap mesin ketinting yang bermasalah ini. Entah akan ia jual atau dikubur.

Dihar mencoba menawarkan ide, “bagaimana kalau kita menjual masker? Orang-orang pasti membutuhkanya. Kau bisa jual mesin ketinting itu di toko, kemudian uangnya dijadikan modal menjual masker.”

“Aha, menarik juga. Tapi bagaimana dengan perahuku. Dia akan menjadi kayu apung malang terombang-ambing. Orangtuaku juga pasti akan bertanya-tanya mengapa aku tak kunjung pulang.” Seru Raham.

“Iya, benar. Setelah kita memperoleh keuntungan dari menjual masker, uangnya bisa kita tabung, kemudian digunakan untuk membeli mesin ketinting baru. Mudah-mudahan membawamu pulang bersama keluargamu.”

“Baiklah, semoga bukan hanya mesin ketinting baru yang bisa terbeli. Sebenarnya aku juga menginginkan android. Pesona gambar gadis cantik di papan iklan besar, bertengger di bawah jalur LRT, yang sedang mengecup batang pipih berlayar, membuatku ingin memilikinya. Setidaknya batang ajaib itu bisa menampilkan rekaman orang bergerak dan berbicara. Menakjubkan. Mudah-mudahan bisa ku miliki.” Tukas Raham seperti seolah membuat list belanja perusahaan.

Sekarang sudah bulan Juli. Langit berseragam cerah biru, matahari sedang pada puncaknya. Namun sebentar lagi humus dan gambut berganti merah dan berasap. Seakan menjadi musim tahunan yang ajek. Sudah belasan tahun musim asap datang menyelimuti. Suka tak suka, semua orang menghirup asap akibat pembakaran hutan. Protes, kecaman, sumpah serapah seperti sudah menjadi lagu wajib didendangkan ketika kabut asap mengaburkan pandang.

Tak terkecuali Kampung Cempedak. Kampung yang seluruh masyarakatnya ikut terdampak. Di kampung ini ada sebuah rumah kosong dihuni oleh 2 pemuda serabutan. Rumah panggung ini berbahan kayu yang sudah usang, berjamur dan keropos. Rumput-rumput liar merambat di halamannya. Rumputnya memanjat didinding-dinding rumah. Jendela-jendela rumah ini bolong tanpa kaca. Engsel pintunya telah patah. Lantainya banyak berlubang mirip jerawat-jerawat pecah di wajah. Rumahnya tanpa penerang. Di halaman tengahnya terdapat 1 pohon cempedak raksasa, mirip buah nangka, tapi bentuk dan rasanya beda. Buahnya banyak bergelantung, aromanya menyebar ke seantero kampung. Masyarakat sekitar tak berani memetiknya, takut karena ada di halaman rumah angker. Karena pohon ini juga lah kampung itu dinamakan dengan ‘Kampung Cempedak.’

Dua pemuda itu menempatinya bagai mendiami rumah hantu. Dihar, seorang perantau dari tanah Jawa, Kebumen. Mencoba menyusuri napak tilas Mbahnya ketika terlibat transmigrasi era Soeharto di Sumatera. Dia menyusuri jalan separuh Sumatera dengan memandang Bukit Barisan. Ia terpesona. Hingga terdamparlah di sebuah kota yang begitu ramai, damai dan terbentang sungai Musi. Kota Ilir. Ya, di sana ia berjumpa pertamakali dengan Raham pemuda Bajo, yang semasa hidupnya hampir dihabiskan di atas air dan laut. Tradisi moyangnya hidup di laut masih langgeng hingga saat ini. Aroma sejarah Raham asin. Dia dilahirkan di atas laut Sulawesi. Orangtuanya dan dirinya, sebelumnya, tinggal di atas pantai Toli-toli. Hingga datang sebuah ekspedisi melayarkan sekelompok besar masyarakat Bajo―untuk mengarungi hidup di Sumatera. Tak terkecuali orangtua Raham, mereka ikut dalam ekspedisi itu. Dan akhirnya, kini, ia dan keluarganya bermukim di atas Sungai Musi.

Di bawah terik matahari menyengat, dua pemuda tak gentar menjajakan masker. Masker-masker berbaris rapih seperti bebek di tangkai bambu menjulur, panjangnya kurang lebih 2 meter. Minggu pertama mereka berhasil menjual 3 buah masker. Minggu ke 2 grafiknya tak beranjak tinggi mengikuti tren positif korona. Hingga masuk minggu ke 3 dan seterusnya berangsur-angsur penjualanya makin ramai, bisa 50 sampai 100 dalam sehari, ludes.

Usaha penjualan masker laku keras. Permintaan semakin kencang. Stok masker yang ada di rumah tua itu kini menyesak mememnuhi satu ruangan kamar. Rumah tua yang memiliki 3 kamar itu telah ditempati dan diisi. Kamar satu diisi oleh Dihar dan Raham, sedang yang satunya lagi sebagai gudang penyimpanan material kayu, besi, kaca, dari rumah tua itu. Dihar dan Raham tak menyangka usaha penjualan masker mereka berkembang pesat.  

Bukan karena korona membuat masyarakat giat mengenakan masker. Orang-orang di sini sudah adaptif dengan masker sejak musim asap hinggap puluhan tahun lalu hingga sekarang. Saat ini, asap pekat kebakaran gambut telah mencekik leher masyarakat. Masker adalah perangkat lengkap ketika musim kelabu itu datang. Ibarat baju dan celana. Masker adalah pakaian penting bagi orang-orang Ilir dan semua orang Sumatera.

Raham dan Dihar meraup keuntungan yang banyak dari hasil penjualan masker. Mereka ditolong oleh keadaan. Bukan hanya virus, tapi bencana tahunan. Mereka akhirnya mampir ke toko mesin ketinting, melihat-lihat berbagai model dan mencermati harganya. Mesin ketinting merah terang bermerek Yamaha menjadi pilihan Raham. Tunai. Sisa uangnya masih bisa membeli seharga dua mesin ketinting yang sama. Raham masih ingat satu barang yang terus bergentayangan di pikiranya. Android. Namun hari telah gelap, gerai penjualan android sudah tutup. Keuntungan bagi hasil dengan Dihar juga tetap ia ingat. Mereka memilih pulang ke rumah cempedak.

Ketika mereka baru saja memasuki gang terakhir di kelokan menuju pintu rumah berpagar besi karatan keropos itu, harum cempedak dan bau asap menuntun mereka ke arah yang samar dan suram. Rumah tua terbengkalai yang mereka tempati itu hanya diterangi lampu jalanan. Listrik sudah lama dicabut oleh perusahan listrik negara. Seperti biasanya lewat 3 bulan tak membayar tagihan, perangkat meteran dan sambungan listrik akan disegel. Rumah tua ini entah sudah berapa tahun terbengkalai. Tapi malam itu, ketika mesin ketinting dipanggul di bambu oleh dua pemuda, ketika mereka hendak memasuki rumah, terasa ada yang aneh. Suara cercit kelelawar begitu nyaring berkerumun dari dalam rumah. Ketika mereka membuka pintu dengan cara mendorongnya menggunakan lutut, seketika kawanan kelelawar berhamburan keluar dari dalam rumah menuju jendela bolong dan loteng yang sudah tak beratap.

Dua pemuda itu kaget, karena atap rumah itu sudah seperti mulut gua menganga. Tanpa pelindung. Seng yang menutup atapnya, terakhir kali mereka lihat ketika pagi hari keluar untuk berdagang masker. Tapi kini telah lenyap. Suara gerobak rongsokan terdengar berderit seolah tergesa-gesa lepas landas tak jauh dari rumah tua itu. Bunyi gesekan seng disusun berantakan terdengar sekilas oleh 2 pemuda Raham dan Dihar, mereka penasaran, mengintip dari jendela bolong tak berkaca, terlihat pemulung bersama dua orang anaknya yang seumuran kelas 4 SD sedang terbirit-birit lari sambil menoleh ke arah rumah tua itu. Raham dan Dihar tak mampu mengejarnya, mereka hanya mampu mengelus dada.

Dihar terlihat lunglai, langkahnya ringkih menuju tikar, kemudian merubuhkan tubuhnya terlentang. Air matanya mengalir bak Sungai Musi. Buram. Sepertinya nasib dirinya dan rumah tua bernasib sama. Butek.

Raham mendekati kawannya yang baru ia kenal beberapa minggu itu, tapi seolah telah lama mengenalnya. Raham merebahkan tubuhnya di samping Dihar, sambil berkata, “esok sebelum aku kembali ke sungai berkumpul bersama orangtuaku, kau akan memiliki keteduhanmu kembali, janganlah bersedih, pejamkanlah matamu, cobalah bermimpi indah.”

Dihar hanya menjawab, “semoga.”

Sebelum matahari pagi muncul, selepas subuh Raham telah bergegas keluar rumah tua itu. Iya menuju toko bangunan. Membeli seng, kaca, semen, kayu, cat, besi, lampu, dan sabit pemotong rumput.

Dihar terbangun ketika matahari sudah berada di episentrumnya siang. Ketika terbangun, tubuhnya pegal-pegal. Tenggorakanya kering. Kemudian tersadar bahwa kawanya Raham sudah tidak ada di sampingnya. Tak lama terdengar suara orang-orang sedang menurunkan barang-barang belanjaan. Di antaranya Raham berdiri seolah mengarahkan bak mandor.

Dihar keluar untuk melihatnya, “hei ada apa ini Raham, mengapa begitu banyak seng, kayu, kaca, besi, bahan bangunan di halaman rumah ini?”

“Seperti kataku semalam, kau akan mendapatkan keteduhanmu kembali Dihar. Tenanglah. Uang sisa hasil penjualan masker masih cukup untuk membeli barang-barang ini. Dan tukang-tukang ini telah kubayar untuk membantumu menutupi atap bolong rumah tua.” Tambah Raham dengan penuh semangat.

Dihar hanya mampu membalasnya dengan senyum sumringah. Airmatanya menetes, kali ini jernih. Sejernih air mineral yang ia teguk kala meredakan tenggorakan kering.

Tak lama Raham pun pamit. Ia menenteng mesin ketinting merahnya itu dengan langkah tegap.

“Tunggu!” Seru Dihar, kemudian memetik satu buah cempedak yang menggelantung di pohon, ia menyodorkannya ke Raham.

“Ambilah sebagai bekal di perjalanan.”

Dihar pun mengantar Raham sampai ke dermaga Ilir.

“Terimakasih Raham atas semua yang engkau berikan.”

“Akulah yang berterimakasih. Kini aku bisa mengarungi air lagi. Pulang. Kembali hidup. Dan terimakasih atas tumpangan rumah tua itu.”

Mereka berpelukan. Raham menarik tali putih bergelantung di mesin ketinting. Tak perlu mengulang dua kali. Mesin cempreng itupun merisak hidup. Kemudi telah diambil alih, mulut perahu Raham di arahkan ke tengah Sungai Musi. Lambaian tangannya dibalas oleh Dihar. Perjumpaan mereka pun berakhir.

Dahar kembali ke rumah cempedak, menyelesaikan polesan demi polesan. Jendela-jendela kaca sudah kokoh kembali, kaca-kacanya sudah terpasang, seng-seng putih baru rapih berjajar di atap. Halaman rumahnya sudah bersih. Temaram lampu terpasang di setiap ruangan. Listriknya ia curi dari listrik lampu penerang jalanan gang. Ia juga mengecat rumah tua itu hingga kembali tampak muda.

Sambil menikmati buah cempedak dari halaman depan rumah, Dihar memancing harum keramahan orang untuk mengagumi rumah tua yang kembali muda. Hingga berjalan beberapa hari menikmati rumah asri, kabar ini tercium oleh anak pemilik rumah tua. Pemilik asli rumah tua telah meninggal 10 tahun yang lalu. Dia adalah keturunan perkawinan campur Kanton, Melayu dan Arab. Namanya Ko Amat. Dia pemilik toko farmasi terbesar di Kampung Cempedak. Ko Amat memiliki 4 orang anak. Kini hanya tersisa 1. Selebihnya telah tiada, ikut meninggal bersama Ko amat dan istrinya ketika musibah terbaliknya kapal yang mereka tumpangi saat hendak tamasya ke Pulau Kemaro. Jasad mereka tak ditemukan hingga kini. Kemungkinan besar menyatu di dasar sungai bersama hikayat Puteri Palembang dan suaminya, pria keturunan Cina yang tenggelam di Sungai Musi.

Sebagai pewaris harta, termasuk rumah tua yang kini telah muda didiami oleh Dihar, Ko Picing Sulaiman, satu-satunya anak Ko Amat yang masih hidup, juga seorang pengusaha farmasi warisan dari ayahnya, berhak mengambil alih rumah itu. Ko Picing mengerahkan aparat untuk membantunya menyingkirkan Dihar dari dalam ruamah itu. Dihar bersikeras bertahan, meski dengan argumen bertanggungjawab. Tapi tetap tak diindahkan. Selusin aparat mengepung Dihar. Kemudian menghujami Dihar dengan tongkat kayu sebesar betis orang dewasa. Dihar lemas tak berdaya. Langkahnya ringkih meninggalkan halaman rumah itu. Dia mencoba memetik satu buah cempedak sebagai bekal dan kenang-kenangan terakhir. Ko Picing merebutnya, sambil berkata, “ Hei gelandangan, tak ada satupun yang bisa dibawa dari rumah ini”

Dihar pergi menyusuri gelap malam bercampur lapisan asap kebakaran hutan. Diusir dari rumah terbengkalai yang ia bangun dan kembali muda. Kini tak ada rumah yang bisa ia tinggal, ia tidur mengemper di depan pertokoan, di bawah lampu trotoar. Dihar kemudian membeli koran dari seorang bocah kumal yang tak jauh dari situ, Koran itu ia tebar dilantai sebagai alas tidur. Ketika kepalanya hendak dibaringkanya, tiba-tiba dia melihat berita dari koran itu. Tajuknya berbunyi, “PEMUDA BAJO DAN BANGKAI PERAHU BERMESIN KETINTING MERAH AKHIRNYA TELAH DITEMUKAN.”Matanya terbelalak, rencana tidur musnah. Dia berusaha duduk dengan khusyuk bak seorang Kiyai bertafakur. Dia memelototi gambar yang berada di koran itu dengan seksama. Dan benar, gambar itu mirip dengan kawannya, Raham. Mesin ketinting merah itu, setiap kerutanya masih sangat jelas ia ingat.

Ulasan di koran menerangkan kronologis tenggelamnya perahu Pemuda Bajo: Sebelum perahu kecil menabrak kapal tongakang batubara, perahu kecil pemuda Bajo tak memiliki pencahayaan, ditambah jarak pandang karena kabut asap, perahu melesat kencang di tengah gelap, kemudian kecalakaan maut di Sungai Musi itu pun tak terhindarkan. Begitulah laporan koran lokal berbunyi.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0