Mengecam Tindakan Kejam Aparat Kepada Sang Pembawa Merah Putih
Masih melekat di ingatan kita peristiwa “Reformasi Dikorupsi” yang pecah terjadi di Ibu Kota. Aksi serupa terjadi di beberapa kota di Indonesia. Aksi yang digelar oleh galangan mahasiswa, organisasi masyarakat sampai dengan pelajar ini memakan banyak korban dari yang mengalami luka fisik hingga yang mengalami kematian (tewas di tempat) karena kekejaman aparat keamanan yang membuat ‘ceos’ pada aksi tersebut. Oknum-oknum yang berhasil diamankan pun diduga melakukan hal-hal yang mengancam seperti pelemparan, pemukulan, dll. Padahal hal tersebut mereka lakukan semata-mata untuk pembelaan diri.
Lutfi Alfiandi, seorang pemuda yang merupakan masa aksi “Reformasi Dikorupsi” yang sempat viral karena dirinya tertangkap kamera disaat memegang Bendera Merah Putih yang mana pada saat itu sedang terjadi penghantaman dengan water canon. Menilik kembali demo meminta keadilan lalu yang terjadi pada tanggal 23 September 2019- 2 Oktober 2019 terkhusus pada tanggal 25 September 2019 bertempat di depan kantor DPR, Lutfi dan sejumlah masa aksi melakukan unjuk rasa untuk mendesak pemerintah membatalkan revisi Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi, menunda pada pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP), menuntut untuk segera disahkannya Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, dan masih banyak tuntutan lainnya yang dibawa. Dalam aksi tersebut terjadi ‘ceos’ dengan di tembakannya gas air mata oleh petugas aparat menjelang sore hari. Sialnya, pada saat itu Lutfi terkena gas air mata sehingga menyebabkan dia harus menyeka air matanya dan tanpa disadari tangan mungil penuh perjuangannya itu sedang memegang erat bendera yang sangat dia hormati bahkan kita juga sangat menghormatinya. Lutfi ter-dokumentasi dan dia didakwa melawan aparat yang sedang menjalankan tugas atau melanggar Pasal 212 jo 214 KUHP. Namun, mirisnya disini adalah diketahui sebelum pengakuan dalam persidangan di Pengadilan Jakarta Pusat, Senin(20 Januari 2020), Lutfi menyatakan bahwa dirinya diestrum hingga kepalanya pusing. Dia juga mengaku ditendangi dengan mata tertutup dalam posisi jongkok oleh oknum penyidik pada saat dirinya dimintai keterangan di Mapolres Jakbar. Diketahui bahwa, oknum peyidik kala itu terus menerus meminta Lutfi untuk mengaku telah melempar batu kearah polisi saat demo lalu. Karena desakan yang terus dilakukan akhirnya, Lutfi terpaksa menuruti permintaan polisi karena berada di bawah tekanan. Sutra Dewi selaku pengacara Lutfi, membenarakan pengakuannya karena selama ini dia menduga bahwa Lutfi tidak menceritakan penganiayaan itu karena takut dan penyiksaan baru terungkap jelas di pengadilan.
Menanggapi hal tersebut, Kombes Yusri Yunus (Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya) mempersilakan kepada Lutfi untuk membuat laporan jika memang mengalami penganiayaan. Karenanya, menanggapi dugaan penyiksaan yang dialami Lutfi Alfiandi, Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Manager Nasution menyatakan bahwa tindakan penyiksaan dalam proses interogasi tidak pernah dibenarkan dalam situasi apapun. Penyiksaan sendiri merupakan suatu pelanggaran hukum (abuse of power). Jika benar Lutfi mengalami peyiksaan, maka BAP (Berita Acara Peyidikan) tidak sah dimata hukum dan bisa dijadikan sebagai dasar pembatalan dakwaan di pengadilan tersebut. Pernyataan ini juga didukung pada UU Pasal 15 Nomor 5 Tahun 1998 tentang Pengesahan Konvensi Menentang Penyiksaan Dan Perlakuan Atau Penghukuman Lain Yang Kejam, Tidak Manusiawi, Atau Merendahkan Martabat Manusia dan berbunyi, “Segala pernyataan yang diperoleh sebagai akibat kekerasan dan penyiksaan tidak boleh diajukan sebagai bukti”. KUHAP Pasal 52 juga menyatakan bahwa “Dalam pemeriksaan pada tingkat penyelidikan dan peradilan, tersangka atau terdakwa berhak memberikan keterangan secara bebas kepada penyidik atau hakim” serta KUHAP Pasal 117 meyatakan bahwa “Keterangan tersangka dan atau saksi kepada penyidik diberikan tanpa tekanan dari siapapun dan atau dalam bentuk apapun”. Maka dari itu, Lutfi Alfiandi memberanikan dirinya untuk berbicara apa adanya di dalam persidangan 20 Januari lalu untuk pembelaan pada dirinya sendiri.
Atas nama kemanusiaan dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM), Aksi Kamisan Yogyakarta, bersikap:
Kamis, 23 Januari 2020
Atas Nama
Aksi Kamisan Yogyakarta