Oleh Han Revanda Putra (Pegiat Social Movement Institute)
***
Lima belas tahun bukan rentang waktu yang sebentar. Selama periode ini, dua orang presiden yang berbeda telah menjabat, empat kabinet pemerintahan silih berganti; selama itu pula kasus meninggalnya aktivis hak asasi manusia Munir Said Thalib belum menemui titik terang.
Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana yang dibebaskan pada 29 Agustus 2018 setelah menjalani hukuman delapan tahun penjara, tak lebih dari pelaku di lapangan. Sementara dalang pembunuhan yang sebenarnya hingga hari ini belum terungkap. Demi mengetahui lebih lanjut perkembangan kasus meninggalnya Munir, masyarakat dari berbagai kalangan telah memadati ruang sidang utama Fakultas Hukum UII, Jl. Taman Siswa 158, Yogyakarta pada Rabu (4/12). Malam itu, diadakan acara pembacaan dokumen hasil investigasi Tim Pencari Fakta (TPF) kasus meninggalnya Munir.
Dokumen ini dibacakan oleh enam orang dari tiga instansi, antara lain Mutia dan Harold (Social Movement Institute), Ilham dan Caca (KAHAM UII), serta Habibi dan Aini (Study Club Komunitas Mahasiswa Merdeka). Usai pembacaan dokumen, acara dilanjutkan dengan diskusi bertemakan “Jalan Panjang Keadilan untuk Cak Munir”. Dipandu oleh Farhan Syahreza dari Sc Komaka, diskusi terasa istimewa karena dihadiri langsung oleh Suciwati, istri sekaligus orang terdekat Munir, Yogi Zul Fadhli selaku Direktur Lembaga Bimbingan Hukum (LBH) Yogyakarta, dan Raihan Ibrahim Annas selaku Ketua Social Movement Institute.
Stagnasi
Suciwati mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa perkembangan kasus meninggalnya Suciwati mengawali diskusi dengan menyatakan bahwa perkembangan kasus meninggalnya Munir telah lama mengalami stagnasi. Menurutnya, ada kecenderungan untuk saling melempar tanggung jawab sejak masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono hingga Joko Widodo. TPF untuk mengusut kasus meninggalnya Munir sebenarnya telah dibentuk pada 2004, tetapi dokumen hasil investigasi mereka yang asli secara tiba-tiba lenyap dan tak seorang pun, juga presiden, yang mampu menunjukkan di mana keberadaan dokumen tersebut. “Padahal Keppres menyiratkan bahwa Presiden punya mandat publikasi. Ia punya tanggung jawab untuk menindaklanjuti,” sebutnya.
Selain itu, Suciwati juga kecewa sebab orang-orang yang terindikasi terlibat, bahkan mengambil peran penting dalam kasus meninggalnya Munir, seolah-olah kebal terhadap hukum. Beberapa kali persidangan dilakukan terhadap A.M. Hendropriyono, Indra Setiawan, dan Muhdi P.R., orang-orang yang terindikasi terlibat dalam kasus ini dan kebetulan menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan, tetapi hasil yang didapat tidak pernah memuaskan. “Mereka tidak terbukti bersalah dan pada akhirnya dibebaskan,” imbuhnya.
Padahal, menurut Suciwati, sebenarnya telah ditemukan bukti bahwa Muhdi beberapa kali menghubungi Pollycarpus via telepon. Namun, Muhdi mengaku bahwa pada saat itu ia tengah berada di Kuala Lumpur, sehingga mustahil baginya untuk mengakses telepon dari Jakarta. Muhdi berdalih bahwa teleponnya bisa saja dipinjam oleh siapa pun. Untuk membuktikan perkataannya, Muhdi memperlihatkan paspornya di Kuala Lumpur. Namun, menurut Suciwati, hakim tidak melakukan check and recheck. “Kita mendapat dari pihak BIN bahwa mereka tidak pernah menugaskan Muhdi ke Kuala Lumpur. Sekiranya benar harusnya pakai paspor biru, bukan hijau.
Oleh karena itu kita dorong ke kejaksaan agar segera kasasi atau PK (peninjauan kembali), tapi kejaksaan tidak mau. Itu sebabnya saya berpikir apakah saya sebagai keluarga korban bisa ajukan PK sendiri? Karena ini menyangkut soal keadilan. Dalam hal-hal seperti ini kita berusaha mencari peluang hukumnya,” sambungnya. Selanjutnya, Suciwati memaparkan bahwa upaya untuk menuntaskan kasus ini harus terus dilakukan melalui segala ruang yang memungkinkan. Hal ini penting karena selama ini kasus meninggalnya Munir telah sekian lama berlarut-larut tanpa kejelasan, sehingga masyarakat bingung mengenai pihak mana yang benar. Sementara itu, para penjahat dari kalangan elite mendapat impunitas yang luar biasa hingga dengan leluasa mereka bisa menguasai ruang-ruang media, ruang-ruang publik, dan menduduki jabatan-jabatan penting dalam pemerintahan.
Hal ini masih ditingkahi oleh para mantan jenderal yang gemar mengeluarkan statement bahwa mereka tahu siapa dalang dari kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu. “Mereka sebetulnya saksi hidup, tetapi kesaksian mereka hanya dipakai tak lebih sebagai permainan. Padahal sebenarnya itu kesaksian hidup yang harusnya dibawa ke pengadilan. Hari ini harusnya kepolisian menindaklanjuti orang-orang berdasarkan statement-statement itu. Bukan hanya karena orang-orang ingin mencalonkan diri supaya menang terus menjelek-jelekkan calon satunya. Intinya mereka menyampaikan kebenaran atau tidak,” lanjutnya.
Menurut Suciwati, telah terjadi suatu permufakatan jahat untuk membunuh mendiang suaminya. Dalam permufakatan jahat ini, tokoh-tokoh elite yang berkepentingan ikut ambil bagian. Oleh karena itu, penuntasan kasus meninggalnya Munir pun terhambat oleh adanya kepentingan-kepentingan tersebut. “Buat saya penting untuk kita harus bersuara, menyatakan konsistensi itu. Jadi sekali lagi ini memang perjalanan panjang dalam kasus Almarhum,” pungkasnya.
Terbentur Meja Kekuasaan
Sementara itu, Yogi memandang kasus meninggalnya Munir dari perspektif hukum dan politik. Menurutnya, dalam hubungan tolak-tarik antara hukum dan politik, hukumlah yang pada akhirnya terpengaruh oleh politik. Hukum seringkali diciptakan hanya untuk melanggengkan kepentingan mereka yang kuat. Hal inilah yang tercermin dalam kasus meninggalnya Munir.
Dalam membahas perkembangan kasus meninggalnya Munir, Yogi membaginya ke dalam empat bagian, yaitu prakejadian, kejadian, pasca-kejadian, dan masa ketika politik menjadi satu variabel yang berpengaruh. Saat prakejadian, ada latar belakang khusus yang menjadi penentu sehingga Munir dibunuh. Menurutnya, kegiatan Munir dalam memperjuangkan HAM dan menolak RUU BIN cukup menjadi alasan untuk membuat penguasa tidak nyaman hingga pada akhirnya memilih cara yang kotor untuk menyingkirkan Munir. Saat kejadian, Yogi menuturkan bahwa telah terjadi permufakatan jahat yang dilakukan secara institusional. Pelaku menggunakan institusi negara untuk memuluskan niat itu. Dengan memanfaatkan akses negara untuk melakukan operasi, permufakatan jahat berlangsung secara sistematis.
Selanjutnya, Yogi melihat bahwa ada proses hukum yang tidak tuntas. Aktor yang dijatuhi pidana hanya pelaku di lapangan, sementara aktor yang menyusun rencana hampir-hampir tidak tersentuh. Menurutnya, negara ingin melindungi mereka yang kuat dengan tidak menegakkan hukum atau hukum ditegakkan tetapi sebatas formalitas belaka.
Terakhir, Yogi menegaskan bahwa kasus meninggalnya Munir ini akan tetap tak terungkap sepanjang aktor-aktor yang dominan tetap dilindungi, sepanjang mereka masih berkuasa atau dekat dengan kekuasaan. “Itulah mengapa kita mempertanyakan komitmen Presiden untuk mengungkap kasus ini. Pengungkapan atas kasus ini bisa menjadi parameter penegakan hukum di Indonesia,” pungkasnya.
Pola yang Sama
Senada dengan dua pembicara sebelumnya, Raihan menyatakan bahwa tidak kunjung selesainya kasus meninggalnya Munir telah mengikis kepercayaan orang-orang terhadap negara. Menurutnya, dokumen TPF kasus ini bisa menjadi alasan orang-orang untuk memilih golput saat Pemilu, sebab dalam dokumen tersebut termaktub banyak kebususkan-kebusukan negara.
Selanjutnya, Raihan berusaha melihat garis besar dari latar belakang dalam kasus-kasus serangan terhadap aktivis yang lain. Menurutnya, ada pola yang hampir sama yang terjadi dalam setiap kasus pembunuhan dan upaya meredam kebebasan berekspresi, yaitu bahwa orang yang bersangkutan dianggap berbahaya bagi kekuasaan. Rupanya kegiatan Munir yang pada waktu itu gencar memperjuangkan HAM dan menyuarakan penolakan terhadap RUU BIN dianggap telah membahayakan kekuasaan.
Raihan berpendapat bahwa ada tiga pelajaran yang dapat diambil dari Munir sekiranya dikaitkan dengan konteks gerakan hari ini. Pertama, Munir memiliki sensibilitas yang tinggi dalam isu-isu HAM dan demokrasi. Hampir-hampir Munir tidak pernah absen dalam seluruh kasus pelanggaran HAM yang terjadi semasa ia hidup. “Kita harus berefleksi jangan-jangan tidak ada mahasiswa hari ini yang bisa mewarisi nilai-nilai dari Munir,” sebutnya.
Kedua, konsistensi Munir dalam membela permasalahan-permasalahan di medan krisis seperti di Madura dan Pasuruan. Medan krisis adalah tempat yang terdapat banyak permasalahan kaum marjinal dan rakyat miskin kota. Menurut Raihan, kalau Munir hidup hari ini, mungkin ia tidak akan absen dalam persoalan di Tumpang Pitu dan daerah-daerah medan krisis yang lain.
Terakhir, cara Munir berharap pada negara. Raihan mengatakan bahwa Munir memiliki posisi yang sangat-sangat tegas bahwa ia tidak berafiliasi dengan negara. Hal inilah yang mendorong Raihan untuk tidak percaya bahwa perubahan dapat dilakukan dari dalam. “Kita perlu mempertanyakan komitmen pemerintah. Pelaku pelanggaran HAM berat masa lalu harus diadili, tetapi sampai hari ini mereka masih berada nyaman di bawah ketiak kekuasaan,” pungkasnya.