Oleh Luthfian Haekal (Pegiat Social Movement Institute)
“Sorry, we don’t drink alcohol. It’s haram for us,”
“But, how about one gulp or one bottle of halal wine?”
“Yes, please. We’ll take one bottle for each of us,”
Pernah anda mendengar “halal wine”? Seorang kawan memberikan foto wine yang berlabel halal –kemudian saya terpikir Anggur Merah (amer) cap orang tua berlabel halal yang dulu bisa didapat di Warung Ijo, Jalan Kaliurang. Ia baru saja tiba di Rusia. Dasar Abidin –Anggur Bir Dingin-, begitu sebutan kawan saya. Salah satu perusahan bernama Kevser Tabak berhasil menciptakan proses mengekstraksi anggur dan menghilangkan semua kadar alkohol dalam tujuh tahun pembuatan. Metode mereka tampaknya sangat rumit dan sangat tertutup karena mereka sedang mematenkan teknik pembuatan anggur khusus mereka.
Permintaan Halal Food sangat lah tinggi. Sekitar US$ 547 miliar dari pasar global dihasilkan oleh dua miliar konsumen Muslim untuk makanan halal (Yousef, 2010). Istilah “halal” tidak hanya sekadar aspek ritual keimanan produksi makanan, namun ia mencakup semua aspek penyembelihan, penyimpanan, tampilan, persiapan, kebersihan, dan sanitasi (Shafie & Othman, 2003). Keimanan ditentukan juga oleh makanan yang dikonsumsi, mulai dari semua kegiatan di rantai produksi makanan.
“Every time we complained to the school they say they are going to look into why this [giving non-halal food to Muslim children] is happening, yet these mistakes keep happening. I asked [school administrators] ‘does this happen to any of the other children?’ [to] which they replied ‘no.’ This made me question whether someone is doing this on purpose. It has been quite stressful for us since we have moved to the area and I have even been to see the head teacher in tears. We have never had any problems with the school and the kids all do well here. They just need to give the right meals to the right children,” kata Henna Khan pada 2014 lalu (Armanios & Ergene, 2018).
“Halal Only” begitulah label yang terpasang pada anak-anak dari Henna Khan dan Talib Hussein, seorang pasangan suami-istri Muslim-Inggris dari Yorkshire Barat. Label merah itu menandakan perlawanan mereka terhadap pihak administratif sekolah yang sering kali dilayani dengan makanan haram di kantin sekolah. Salah satu dari tiga anak mereka berulang kali dilayani daging ham dan permen jeli. Ham terbuat dari daging babi, sementara permen jeli dimungkinkan mengandung gelantin dari babi (Armanios & Ergene, 2018).
“Perang makanan” tidak hanya terjadi bagi Muslim saja, namun beberapa dekade sebelumnya Yahudi juga menuntut akomodasi makanan yang sesuai dengan keagamaannya. Bukan berarti tanpa protes dari yang lain. Label buatan Henna Khan di pakaian anak-anaknya muncul sebagai lambang perlawanan keluarga perlawanan. Mereka sengaja meminta perhatian pada identitas keagamaan anak-anak dan menunjukkan bagaimana makanan halal bisa menjadi simbol penting, bahkan simbol keimanan Muslim (Armanios & Ergene, 2018).
Mengapa sebermulanya makanan? Islam bukan hanya agama ritual, tapi ia adalah cara kehidupan. Aturan dan tata krama mengatur kehidupan individu Muslim. Dalam Islam, makan dianggap sebagai kepatuhan untuk penyembahan terhadap The Big Other yang direpresentasikan melalui “Allah” (Riaz & Chaudry, 2003). Perintah-Nya[2]:
“Dan makanlah makanan yang halal lagi baik dari apa yang Allah telah rezekikan kepadamu, dan bertakwalah kepada Allah yang kamu beriman kepada-Nya.” (Al-Maidah: 88)
Keadaan sebagai minoritas yang sulit untuk memperoleh makanan, membuat halal movement menyebar begitu cepat di Eropa. Oleh karenanya, sertifikasi makanan untuk membedakan mana yang halal dan haram dilakukan oleh lembaga-lembagai keIslaman dengan berbagai ulama di dalamnya (White & Samuel, 2013).
Label halal oleh “halal movement” tidak hanya pada makanan. Ia meluas, seperti yang dikatakan oleh Shelina Zahra Janmohamed (2017), gaya hidup mengarah ke bidang musik, makanan halal, fashion, pariwisata, dan kesehatan. Gagasan mengenai merek berbasis Islam, yaitu membangun bisnis, produk, dan merek yang melibatkan konsumen Muslim, telah menarik perhatian besar dari pelaku usaha (Janmohamed, 2017).
Pada bidang musik, Maher Zain menjadi representasi penyanyi yang menegosiasikan antara keimanan dengan budaya populer. Janmohamed menulisnya, “Tuhan Memberi Rock and Roll (Halal) Untukmu”. Dalam setiap penampilannya, ketiga penyanyi ini tidak mengenakan pakaian tradisional Muslim, melainkan berpakaian sesuai dengan mode pria dewasa terkini di Eropa. Ketiganya mengusung citra Muslim modern yang tidak terbelakang mengenai pakaian yang dikenakan.
Pernah mendengarkan Deen Squad? Terutama lagunya yang berjudul “Pray in Peace (Haram Police DISS)”? Jika anda pernah mendengarkannya, anda sama dengan saya. Gaya musik HipHop dengan lirik rap yang mengkritik cara ke-ber-“Islam”-an yang kaku, terutama terkait ibadah mahdhah. Bait liriknya: “I can’t even pray in peace, frikkin’ haram police, criticize constantly, tryna hard for me, I see this brother profile pictures caught em sippin’ lean, you don’t even go to Jannah, Astaghfirullahaladzim, bunch of munafiqeen…”.
Nge-pop? Memang. Itulah Janmohamed bagi saya.[3] Post-Islamisme? Mungkin saja. Silakan cek karya Asef Bayat “Post-Islamisme”. Terjemahan bahasa Indonesia bisa ditemui di penerbitan LKIS (Kulturalnya NU di Bantul) atau cari saja di gen.lib.rus.ec (terpujilah mereka yang membuat libgen).
Islam nge-pop ini yang terjadi dibeberapa daerah di Amerika Serikat. Gejala-gejala untuk mendamaikan “modern” dan Islam agar “membunuh secara perlahan” phobia terhadap Islam. Mendamaikan Hip-hop dengan Islam misalnya, menjadi cara untuk pembunuhan tersebut (O’brien, 2017).
Namun, apakah Muslim Muda Milenial bisa menjadi sesuatu hal yang progresif nan revolusioner? Saya sempat berharap demikian. Mereka menyuarakan isu-isu pemanasan global dengan analisa ekonomi-politik yang jelas –bagi saya yang jelas ya Marxisme relasional, misal sebut saja EP Thompson atau Ben Fine. Tak lupa Fiqh Maqoshid Syari’ah menjadi dasar penentuan hal itu. Lagi-lagi, Maqoshid Syari’ah adalah alat. Ia bisa untuk menghentikan ekspansi Kelapa Sawit. Tentu saja hal itu menentang Luhut Binsar Pandjaitan yang mengatakan, “kalian hanya memikirkan orang utan. Rakyat kami juga membutuhkan kehidupan layak,” untuk tetap melanjutkan ekpansi lahan Kelapa Sawit dan mengamankan sahamnya –para purnawirawan militer tentu saja saling terkait.
Namun, gerakan lingkungan yang diinisiasi tidak ada jaminan juga bahwa ia tidak dibajak sebatas gaya hidup. Misalnya keterjebakan pada pembayangan bumi masa lalu. Ingatlah sabda kyai Marx “manusia membuat sejarah, tapi bukan berasal dari pilihannya” (Marx, 2003). Kerja-kerja manusia untuk memenuhi kebutuhan memiliki keterbatasan. Oleh karenanya, untuk melampaui keterbatasan tersebut manusia melakukan inovasi-inovasi. Inovasi-inovasi sebelumnya lah yang telah mengubah sistem di bumi secara fundamental. Apa yang dialami oleh bumi ke depan adalah hasil dari akumulasi inovasi-inovasi yang telah dibuat oleh manusia. Dengan kata lain, manusia “terlempar” ke dalam dunia dan harus menyejarah dengan apa yang sudah ada sebelum ia ada Millenials complexs.
“Halal Movement” yang digambarkan oleh Janmohamed sangat lekat dengan apa yang dia sebut sebagai Generasi Muslim Milenial. Generasi M didefinisikan sebagai Generasi Muslim, generasi yang lahir dalam kurun 30 tahun terakhir. Mereka tetap mengamalkan ajaran agama, namun tidak antimodernitas. Mereka percaya bahwa agama dan modernitas tidak mesti bertentangan. Dengan kata lain, beriman dan hidup modern adalah dua hal yang berjalan beriringan, dan sama sekali tidak ada kontradiksi di antara keduanya (Janmohamed, 2017). Tiga jargon utama bagi Muslim Milenial; Muslim, Muda, Modern.
Praktis, banyak pembaca yang langsung setuju dengan Janmohamed. Mungkin anda salah satunya. Mereka yang mengamini Janmohamed langsung mengidentifikasi dirinya sebagai Generasi M: Muslim, Muda, Modern. Termasuk pembaca Indonesia yang langsung mengidentifikasi dirinya sebagai bagian di dalam Generasi Milenial. Gagap sekali manusia Indonesia menggunakan istilah yang bahkan ontologi-nya saja tidak tidak jelas. Proses identifikasi ini muncul berdasarkan formasi diskursif yang ada (Muslim, Muda, Modern). Dalam proses identifikasi itu, ada yang di-liyan-kan sebagai proses “othering” (Laclau, 2005). Siapa yang di-liyan-kan? Mereka yang tidak diidentifikasi sebagai Generasi Milenial. Siapa itu? Ya mereka yang tidak bisa mengikuti gaya hidup yang direpresentasikan sebagai Milenial –kelas menengah urban. Konteks Indonesia, menjadi kelas menengah urban Jakarta.
Pada pembacaannya, terdapat pengertian Generasi Milenial yang sangat mengada-ada. Generasi Milenial yang dibentuk sangat bias dengan kelas menengah urban dengan penguasaan teknologi dan modal yang mumpuni. Subjek dihitung sebagai subjek apabila ia tidak sesuai dengan pembayangan kelas menengah urban yang muda, modern, memiliki akses informasi yang luas, dan lainnya. Mencari pekerjaan dengan gaji awal yang relatif tinggi di sektor kreatif atau digital; berganti pekerjaan setiap tahun karena mereka ingin bepergian; dan menghabiskan hari-hari mereka dengan santai menyeruput latte di sebuah kafe yang tidak bisa dipetakan, melamun tentang menjalankan maraton Tokyo saat mereka menggesek ponsel pintar mereka (Utomo, et al., 2018).
Namun, apakah gaya hidup itu sesuai dengan mereka yang muda? Gaya hidup milenial ini mungkin berlaku untuk kelompok yang sangat terpilih. Hal tersebut tidak mewakili realitas sehari-hari untuk sebagian besar manusia. Maka, perlu kiranya melakukan tabayyun atas arti milenial. Siapa itu milenial? Alih-alih gaya hidup dibajak oleh gaya hidup “milenial”.
Penelitian dari Utomo dan kawan-kawannya (2018) menyatakan dari gelombang pertama penelitian, 38 persen lulusan sekolah menengah pria (SMA / MA) laki-laki bekerja di pekerjaan tingkat sangat rendah, seperti pekerja proses produksi, operator mesin, dan perakit. Persentase perempuan lebih rendah, yaitu 22 persen, karena perempuan dengan kualifikasi sekolah menengah atas memiliki lebih banyak peluang untuk bekerja di sektor ritel.[5]
Jadi, siapa milenial? Kaum miskin kota yang hidup dengan penghasilan rendah dan bekerja serabutan, buruh pabrik, bengkel, toko, dan sejenisnya dengan upah yang kecil, guru dengan gaji rendah, atau kaum muda yang mau melarikan diri ke kota untuk mencari pekerjaan?
Mari kita kembali ke bahasan, yang tadi hanya sekadar penyegaran saja
Saya sebenarnya agak ragu menyebutnya sebagai “halal movement”, karena apa yang terjadi di Indonesia untuk merespons kelas menengah muslim yang sedang massif mengalami kesalehanisasi. Berbeda dengan Eropa dan tempat muslim yang menjadi minoritas, “halal movement” untuk memenuhi kebutuhan atas makanan halal dan belakangan artinya meluas tidak hanya sebatas makanan seperti yang dikatakan oleh Janmohamed.
Siapa kelas Menengah Muslim? Dalam tradisi keilmuan sosial, tidak ada artian yang fixed atas identitas kelas menengah. Banyak peneliti sosial yang mengemukakan artian kelas menengah. Untuk konteks Indonesia, salah duanya Ariel Heryanto dalam “Identity and Pleasure: The Politics of Indonesian Screen Culture” dan Wasisto Raharjo Jati dalam “Membaca Kelas Menengah Muslim di Indonesia”.
Bung Wasisto menempatkan Kelas Menengah Muslim lewat pembacaan kelas a la Weberian yang tentu saja sangat berbeda dengan Marxian.[6] Weber mengaitkan antara agama dan ekonomi yang memunculkan kedisiplinan berekonomi dengan basis agama. Dengan penekanan penghayatan iman dalam kerja di dunia, seorang Calvinis[7] merasa diteguhkan status keterpilihannya lewat kesuksesan di dunia. Maka berkembanglah asketisisme khas Protestan yang, menurut Weber, menjadi faktor penting dalam membudayakan semangat kapitalisme: bekerja keras, meminimalisir penggunaan hasil usaha, mengejar akumulasi profit, serta gencar menginvestasikan kembali keuntungan (Weber, 2006).
Namun, saya pribadi lebih mengamini Weber sebagai pintu masuk. Kelas menengah Muslim Indonesia pada awalnya hanya berada di ranah kultural dan menempati posisi sebagai new petty bourguoises saja (Jati, 2016). Artinya, kesadaran mereka sebagai kesatuan kelas belum begitu kuat di masa itu. Komunitas kelas menengah Muslim Indonesia mulai terorganisir dan responsif di masa kolonialisme.
Hal ini dapat dilihat dengan berdirinya Sarekat Dagang Islam yang menghimpun saudagar-saudagar Muslim melawan pola kapitalisme pemerintah kolonial yang merugikan mereka. Dalam perkembangannya, Sarekat Dagang Islam berubah menjadi Sarekat Islam yang menandai perubahan fokus organisasi menjadi lebih fundamental. Sarekat Islam menjadi gerakan yang tidak hanya bertujuan untuk melawan dominasi pedagang Cina dalam ekonomi, namun juga bertujuan untuk melawan ‘kalahnya’ kelas menengah Muslim atas kelompok bangsawan dan kolonial di bidang politik.
Studi Ariel Heryanto “2018” menjelaskan demarkasi yang jelas tipe Kelas Menengah Muslim dengan apa yang ia sebut sebagai “Islam Populer” di Indonesia. Kelas Menengah Muslim yang terlahir melalui jalur budaya populer dan yang muncul melalui formalisme agama. Pertama, melalui formalisme agama merupakan bentuk ekspresi marjinalisasi kelas selama masa otoritarian. Mereka terpinggirkan dari proses modernisasi yang justru memunculkan dekadensi sosial dan moralitas masyarakat. Akhirnya, mereka melihat adanya ruang untuk mempopulerkan agama dalam ranah-ranah kekuasaan (Heryanto, 2018). Kelas Menengah semacam ini yang memunculkan organisasi-organisasi seperti FBR, FPI, dan lainnya (Wilson, 2015). Kedua, Islam Populer yang tumbuh dalam komodifikasi simbol-simbol Islam yang merupakan bentuk respons dari kapitalisasi Industri terhadap sisi ketakwaan Islam.[8]
Sufisme Urban juga berkembang dikalangan Kelas Menengah Muslim Perkotaan. Sufisme Urban ini juga dapat dikategorikan sebagai Islam Populer. Kerentanan rakyat kota dengan berbagai tekanan, seperti ekonomi mendorong Sufisme Urban ini berkembang. Sufisme Urban lebih menekankan pada pola solutif dengan menekanan pada pemenuhan kebutuhan ruhani sebagai jalannya (Jati, 2015). Fenomena Sufisme Urban sendiri dapat dikategorisasikan menjadi beberapa hal seperti halnya urban sufisme sendiri berbasis majelis ta’lim dan forum spiritualitas, sufisme mahasiswa dengan munculnya kelompok halaqah maupun usra’, serta sufisme keagamaan ortodoks.
Pembacaan mengenai karakter Kelas Menengah Muslim di Indonesia bisa dibaca melalui artikel jurnal Teosofi yang ditulis oleh Wasisto Raharjo Jati yang berjudul “Islam Populer sebagai Pencarian Identitas Muslim Kelas Menengah Indonesia” (2016). Kira-kira ada lima karakter, berikut saya kutipkan;
“Pertama, kelompok kelas menengah Muslim hadir dari kelompok marjinal karena implikasi otoritarianisme rezim. Kelas menengah Muslim bukanlah kelas yang dibentuk oleh negara untuk mendorong ekonomi. Kelompok kelas menengah Muslim hadir karena ketertindasan politik dan ekonomi. Kedua, semangat kolektivitas politik tinggi mengingat dalil agama digunakan sebagai dasar pembentuk gerakan. Ketiga, hubungan dengan negara cenderung bertindak sebagai oposisi, namun juga bisa adaptif. Keempat, sikap kelompok kelas menengah Muslim dalam menerima demokrasi memiliki beragam pemaknaan, yakni ada yang menerima, menolak, bahkan pragmatis. Kelima, politik kelas menengah Muslim Indonesia dipengaruhi tidak hanya dalam konteks politik nasional saja, tapi gerakan Islam transnasional,” (Jati, 2015)
Saya disini hanya akan membahas Islam Populer yang tumbuh dalam komodifikasi simbol-simbol Islam. Kelas menengah ini ditandai sedang semangat-semangatnya berbulan madu dengan identitas-identitas ke-“Islam”-an dan menjalankan ketakwaannya pada Allah. Dalam merespons semangat ketakwaan pada Allah, pasar menciptakan komoditas yang sesuai dengan kesalehan itu. Sialnya, gaya hidup ke-ber-“Islam”-an yang diterapkan oleh Generasi M bertemu dengan kapitalisme sehingga memunculkan komoditas baru yang berbasis agama. Dengan embel-embel halal, syariah, atau islami, logika kapitalis memberikan tanggapan terhadap pasar yang sedang tumbuh bagi gaya hidup islami.
Sialnya lagi, konstruksi Kelas Menengah Muslim yang melalui tahap “hijrah” mereduksi makna “hijrah”. Hijrah menjadi bagaimana seseorang menjalani laku hidup yang lebih Islami demi mendapat kemakmuran di dunia. Bahwa tantangan Islam dan umatnya bukanlah ketidakadilan yang terejawantah dalam ketimpangan struktural, perampasan tanah dan ruang hidup, oligarki dan oligopoli, dlsb. melainkan sekedar gaya hidup (Murtadho, 2018).
Ragam tafsir mengenai Hijrah juga bisa ditemui, misalnya Cak Nur (Nurcholish Madjid) yang mengartikan “hijrah” sebagai peningkatan kualitatif perjuangan bersama menciptakan masyarakat yang sebaik-baiknya (Madjid, 1995). Meski dalam konteks “Hijrah” itu dilekatkan dengan developmentalisme a la Orde Ba(r)u. Maka, makna “Hijrah” dipengaruhi oleh rezim pengetahuan a la Orde Ba(r)u. Disinilah harusnya ada gugatan terhadap Cak Nur yang melekatkan makna “Hijrah” dengan developmentalisme Orde Ba(r)u.
Jika saya rangkum, ke-ber-“Islam”-an yang individual dan direpresentasikan menjadi gaya hidup menjadi candu Kelas Menengah Muslim hari ini. Saya sebenarnya muak dengan hal ini. Bagaimana tidak, makna “Hijrah” yang transenden malah diimanenkan menjadi sebatas gaya hidup yang “Islami”. Peng-imanen-an makna tersebut, menghilangkan dimensi-dimensi yang bisa membuat Islam menjadi wadah perjuangan kelas. Jika memang di-imanen-kan, maka dimensi sosial dari Islam tentu akan muncul dan menjadi perjuangan.
Bagi saya, ada yang aneh. Mengutip Ahmad Wahib dalam “Pergolakan Pemikiran Islam”, “mereka sering sekali meneriakkan tolak sekularisme. Tapi tidak sadar bahwa apa yang ada di dalam dirinya mencerminkan Sekularisme”. Sekularisme yang terjadi, karena peng-imanen-an yang terjadi tidak bisa membaca realitas sosial hari ini.
Bagiku, ada kemandegan tradisi analisa realitas sosial hari ini. Jangankan analisa, menggambarkan realitas sosial hari ini jangan-jangan dengan pijakan yang bagiku aneh? Jangan-jangan The Real –meminjam Lacan- yang diperjuangkan adalah ketidakmungkinan-ketidakmungkinan? Kawan saya menyebutnya sebagai “bigot epistemik”. Namun, langsung tak sanggah. Jangankan “Bigot Epistemik”, lha wong masalah ontologi saja tidak jelas. Malah bagiku, masuknya “Bigot Ontologi”. Masalah ontologi saja belum usai, mau masuk epistemologi.
Baiklah, kita bisa menggantinya dengan istilah “Islamic Worldview and so on and so on”. Meskipun saya pribadi ingin ber-tabayyun lagi dengan istilah Islamic Worldview karena sedang terjadi perang pemikiran. Pertanyaan saya, ia menjadi istilah yang arbitrer atau sudah terfiksasi dengan seperangkat aturan metodologis? Hal ini benar-benar ingin saya konfirmasi dengan mereka yang suka dengan kata “Islamic Worldview”. Misal, bagaimana respons terhadap gerakan lingkungan yang malah jadi sebatas “gaya hidup”. Atau respons atas kejadian-kejadian yang lainnya.
Bersambung ke bagian-2
[1] Pada tulisan ini, berusaha menulis dengan gaya populer dan tidak ndakik-ndakik, agar mudah dipahami
[2] Saya tidak akan membahas tafsir ayat tersebut, karena ayat tersebut dalam tulisan ini difungsikan untuk mempertegas hubungan antara Keimanan dan makanan.
[3] Pada bagian berikutnya InsyaAllah saya jelaskan mengenai pertautan antara halal movement dengan neoliberal
[4] Judul terinspirasi oleh tulisan dari seorang professor dari SOAS University of London, universitas paling Marxis di bumi Allah. Profesor tersebut bernama Ben Fine dengan judul asli “They F**k You Up Those Social Capitalist”
[5] Hasil penelitian bisa diakses di Inside Indonesia. https://www.insideindonesia.org/the-other-millennials
[6] Untuk tahu bedanya Marx dan Weber, mungkin awal yang tepat dengarkan podcast dari SMI yang membahas keduanya. Diisi oleh Muhtar Habibi, yang sedang mengambil Development Studies di SOAS dengan fokus Labor and Development.
[7] Cabang di Protestan
[8] Silakan baca buku Ariel Heryanto “Identitas dan kenikmatan” untuk mengetahui secara lebih lanjut