Oleh Muhammad Fakhrurrozi (Mahasiswa Fakultas Hukum UII dan Pegiat Social Movement Institute)
“Menolak pemenuhan hak asasi manusia berarti menantang kemanusiaan itu sendiri” –Nelson Mandela
Kontestasi pemilihan umum Presiden dan Wakil Presiden baru saja berakhir. Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa perolehan suara tertinggi adalah pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin dengan total suara sebesar 55,41 %. Namun hal tersebut tidak membuat pasangan Prabowo dan Sandiaga Uno menerima begitu saja, beragam drama dipertontonkan kepada publik mulai dari mendeklarkan kemenangan, tidak percaya terhadap hasil pemilihan umum hinga tak percaya dengan Mahkama Konstitusi (MK) meskipun pada akhirnya mengajukan gugatan kepada Mahkamah Konstitusi terkait dugaan terjadi kecurangan secara terstruktur, sistematis dan massif dalam ajang pemilihan umum kali ini.
Pertarungan antara dua kubu tersebut telah berhasil mengenyampingkan isu yang lebih krusial seperti, dugaan korupsi yang dilakukan oleh pejabat negara, penangkapan pejuang lingkungan hidup, pelecehan seksual hingga kasus pelanggaran HAM masa lalu dan saat ini yang tak kunjung terselesaikan.
Pelanggaran HAM masa lalu masih menjadi catatan hitam negara saat ini. Ibaratkan sebuah pekerjaan rumah (PR), pelanggaran HAM ini selalu bergaung lintas waktu, lintas Presiden dan juga lintas zaman. Prinsipnya siapapun yang menjadi Presiden terpilih nanti tidak akan berarti apa-apa bila tidak bisa menuntaskan pelanggaran dan kejahatan HAM masa lalu hingga yang terbaru. Sebab hal tersebut hanya mengulang kembali ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara.
Pada dasarnya setiap kejahatan dan pelanggaran HAM memiliki keunikan dan karakteristik yang berbeda sehingga tidak dapat diselesaikan dengan cara yang sama antara satu peristiwa dengan peristiwa lainnya. Ada beberapa cara yang dapat ditempuh untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Pertama, melalui mekanisme Pengadila HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc ini dapat dibentuk untuk menyelesaikan kasus pelanggaran berat HAM yang terjadi sebelum diundangkannya UU No. 26 Tahun 2000. Sayangnya hingga saat ini cara tersebut tidak pernah terealisasikan meskipun pada rezim Presiden Susilo Bambang Yudhoyono DPR RI telah memberikan rekomendasi kepada Presiden untuk membentuk Pengadilan HAM Ad Hoc namun hingga habis masa jabatannya hal tersebut tidak terwujud.
Mekanisme kedua adalah melalui badan khusus yang dibentuk oleh Presiden. Badan khusus ini bertanggung jawab langsung kepada Presiden dan bertugas melakukan analisis terhadap fakta, data dan informasi yang diperolehannya kemudian dengan hasil yang diperoleh disampaikan kepada Presiden. Berdasarkan rekomendasi tersebut Presiden dapat membuat sebuah solusi untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM. Mekanisme ini sangat bergantung dengan adanya keberanian dan good will (itikad baik dan kemauan yang sungguh-sungguh) dari Presiden untuk menyelesaian kasus pelanggaran HAM tersebut.
Mekanisme ketiga yaitu pembentukan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Sebelumnya, Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang terbentuk berdasarkan UU No. 27 Tahun 2004 telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi sehingga bila ingin menggunakan kembali mekanisme KKR maka harus dilakukan pembentukan ulang aturan terkait KKR. Menurut hemat penulis, mekanisme KKR ini cocok digunakan untuk menyelesaikan kasus 1965-1966 sebab peristiwa 65 sangat kompleks, multi dimensi, berskala besar, korban dan pelakunya beragam dan cakupan wilayahnya yang luas. Dibeberapa negara juga telah berhasil menyelesaikan kasus pelangaran HAM masa lalu melalui mekanisme KKR dan mampu memberikan solusi yang kemudian dapat diterima oleh para pihak yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM tersebut.
Ketiga mekanisme tersebut dapat menjadi pilihan dalam menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu dengan disesuaikan peristiwa yang terjadi. Apabila hal tersebut tidak dapat digunakan atau tidak mampu menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu maka dapat menggunakan mekanisme di International Criminal Court (ICC) atau Mahkamah Pidana Internasional.
Selama ini tentu masyarakat bertanya mengapa pelanggaran HAM baik masa lalu atau yang terbaru hingga saat ini tidak juga terselesaikan. Perlu dipahami bahwa disamping kepentingan politik yang menjadi penghambat penyelesaian kasus pelanggaran HAM terdapat beberapa hambatan yang lain seperti; belum berjalannya proses penyidikan, belum dibentuknya Pengadilan HAM Ad Hoc, dibatalkannya UU KKR, kemudian tidak adanya keberanian Presiden dan yang tidak kalah penting adalah sikap masyarakat umum yang cenderung apatis atau tidak mau peduli tentang perlunya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu padahal jika tidak diselesaikan peristiwa tersebut dapat terjadi kembali pada masyarakat hari ini.
Perlu kita pahami juga bahwa sejatinya yang menjadi urgensi dari adanya penyelesaian kasus pelanggaran HAM masa lalu ialah untuk menjamin kepastian hukum, terpenuhinya rasa keadilan, dan terbukannya kebenaran. Harapannya di masa depan, peristiwa serupa tidak terjadi lagi. Tidak hanya itu jika kasus pelanggaran HAM dapat terselesaikan maka korban mendapat hak-haknya dan martabatnya kembalu pulih kemudian bagi negara hal tersebut akan meningkatkan citra atau nama baik negara di pergaulan internasional.
Islam juga menjelaskan dalam surat Al-Maidah ayat 32 yang artinya “Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya”. Ayat ini menjadi basis normatif yang sangat kuat, bahwa dalam Islam sendiri sangat memelihara kehidupan. Konsekuensinya adalah setiap pembunuhan harus mendapatkan hukuman atau pembalasan yang setimpal kemudian negara sebagai pemangku kewajiban melalui mekanisme hukum harus memastikan barang siapa yang melakukan suatu tindak pidana pembunuhan harus diproses hingga tuntas.
Siapapun yang menjadi Presiden terpilih wajib menuntaskan berbagai perlanggaran HAM yang terjadi sebab tanpa itu semua bangsa Indonesia akan dikenal dan dikenang sebagai negara yang tidak mampu memberikan kepastian hukum yang berdampak terhadap perlindungan warga negaranya. Saya khawatir jika kita tidak bisa menghukum masa lalu maka kita akan dihukum oleh masa depan itu sendiri. Sudah semesestinya komitmen untuk hak asasi manusia harus mutlak, hukum kita adil yang kuat tidak harus menganiaya yang lemah dan martabat manusia harus ditingkatkan.