Oleh Sinergy Aditya Airlangga (Mahasiswa Magister Manajemen & Kebijakan Publik UGM Pegiat MAP Corner – Klub MKP & Intrans Institute)
Politik dagang marak dilakukan guna mengamankan proses akumulasi kapital dengan membajak ajang demokrasi electoral.
– Eko Prasetyo (Social Movement Institute)
Petikan kalimat diatas sebagai sebuah pelatuk untuk membedah sistem politik dan demokrasi yang hari ini sangat bercorak kapitalistik dan transaksional pragmatis. Merusak nilai-nilai demokrasi untuk mengamankan proses akumulasi kapital dari para elit pemilik modal yang kini menjadi calon-calon yang akan dipilih dalam Pemilihan Umum (Pemilu) tahun 2019. Namun, ada yang unik dalam Pemilu kali ini, salah satunya yakni banyaknya figur yang ditampilkan berasal dari kaum Millennial (anak muda) yang turut andil baik sebagai aktor dan/atau partisipator pada Pemilu kali ini. Salah satu calon wakil presiden juga mengkooptasi term ‘Millenial’ atau perwakilan anak muda untuk menjadi salah satu gerakan politik dalam mendukung salah satu calon. Tidak hanya fenomena banyaknya generasi Millenial yang turut andil dalam pemilu namun juga ada fenomena munculnya ragam diskon belanja dalam dalam Pemilu 2019 kali ini. Hal ini salah satunya ditujukan untuk menekan angka golput pada kontestasi demokrasi tahun ini.
Ragam diskon untuk masa pemilu tersebut berkisar 20 – 50%, dengan peserta ±250 (brand) perusahaan yang menyediakan barang atau tokonya untuk diskon[1]. Hal tersebut diterangkan oleh Menteri Komunikasi dan Informatika, Rudiantara. Ragam brand diskon tersebut merliputi Wacoal, Alfamart, Cinema XXI, The Executive, Tirajeans, Wrangler, Tokopedia, Nail, Wood, Seibu, Emba Jeans, Optik Tunggal, Coconut Island, Novel.Mice, Lee, LGS, Galeries Lafayette, Mokka Coffee Cabana, Buccheri, Batavia Café, Emba Classic, J.CO, Citrus, Informa, CFC, Hammer, Mississippi, Jack Nicklaus, Fladeo Shoes, Sogo, Johny Andrean, BreadTalk, Salt n Pepper, Parkson, Fun World, Marco Home Store, MOR, ACE Hardware, Plaza Indonesia, 10 TEN, Basic, Inaco, Charles & Keith, Sushi Tei, Lotte Mart, Ranch Market, dan lain sebagainya[2]. Tidak hanya itu, beberapa e-commerce seperti Tokopedia, Bukalapak, hingga Shopee pun turut memberikan berbagai penawaran diskon bagi konsumen yang berpartisipasi dalam pemilu[3].
Alih-alih mendorong penggunaan hak pilih, justru juga mendorong budaya konsumerisme untuk belanja yang kemudian menghasilkan keuntungan bagi para pemilik modal atau perusahaan. Ditambah dengan karakteristik generasi Millenial yang sudah terinfeksi arus kapitalisme global dengan fashion, branding, dan diskon justru menaikan budaya konsumeris mereka untuk konsumsi dan belanja. Sehingga, tesis pertama penulis yakni dalih diskon sebagai ajang mendorong demokrasi justru menjerumuskan pada praktik akumulasi kapital dan budaya konsumerisme masyarakat.
Diskon Sebagai Politik Akumulasi Kapital, dan Oligarki Kekuasaan
Momentum Pemilu dimanfaatkan oleh para pemilik kapital dengan alih-alih menggencarkan diskon untuk menekan tingginya angka Golongan Putih (Golput), dan mendorong tingginya partisipasi Pemilu, dibaliknya agenda akumulasi kapital oleh para pemilik modal tersebut bekerja. Politik demokrasi yang dijalnkan ditengah minimnya pemerataan pendidikan politik dan demokrasi dimasyarakat baik kota, desa maupun kawasan 3T (Terluar, Terdepan dna Tertinggal) menjadikan demokrasi yang diterapkan hanyalah sebuah pseudo atau ilusi. Bahkan, penulis menyebut sebagai demokrasi yang tergiring.
Relasi antara bisnis dan politik ini bisa dilihat dari dua hal. Pertama, keterlibatan pemerintah (negara) dalam pasar (bisnis). Kedua, keterlibatan bisnis dalam dalam kehidupan politik. Sudah tidak asing lagi jika kita melihat banyaknya pejabat publik, yang kemudian memiliki usaha-usaha dibaliknya[4]. Sehingga keterkaitan perusahaan untuk politik demokrasi sangatlah kental. Dalih diskon brand perushaan digunakan untuk mendorong politik demokrasi, yang tidak lain adalah hendak mencari legitimasi suara dengan mendorng agar tidak golput ditengah masyarakat yang tengah muak dengan sistem politik demokrasi dibawah cengkarama oligarki dewasa ini.
Para politisi tidak segan menggelontorkan uang atau bahkan membuat diskon dalam jumlah besar di perusahaannya, guna mengubah suara rakyat menjadi komoditi dan legitimasi politik dalam demokrasi. Rakyat diasumsikan sebagai pasar dan asetnya untuk menggantikan modal. Sama denga tesis Karl Marx sebagaimana dikutip George Ritzer dan Douglas J.[5] bahwa para aktor bukannya memproduksi untuk dirinya atau asosiasi langsung mereka, melainkan untuk orang lain (kapitalis). Sehingga demokrasi yang diterapkan hanya menjadi ajang pergantian dan pembagian kekuasaan di tingkatan elit. Sementara rakyat hanya menjadi peserta euphoria meramaikan politik demokrasi oligarki ini.
Ditengan derasnya arus kapitalisme global, sistem ekonomi-politik yang beroperasi saat ini adalah sistem kapitalisme, atau bahkan sudah merubah wajah menjadi Neoliberalisme. Seperti kata Nicos Poulantzas dalam jurnalnya New Left Review – The Capitalist State[6] yang memotret Negara bukan hanya menjadi wasit dalam perebutan kepentingan, justru menjadi actor untuk mendukung salah satu kepentingan. Tidak lain adalah kelas penguasa yakni pemilik modal.
Pemilu sebagai representasi demokrasi rakyat dewasa ini, menjadi perebutan kekuasaan para elit pemilik modal. Mengobral janji dan mengutuk ketimpangan, kemiskinan, dan kebodohan justru perusahaan dibalik para kandidat yang menyumbang fenomena tersebut. Seperti yang ditunjukan dalam film Sexy Killers karya Watchdoc, oligarki tambang dan bisnis penguasa melingkar di masing-masing kandidat calon presiden dan wakil presiden Indonesia tahun 2019. Fenomena Oligarki tersebut menguasai setiap sudut kotak suara dan sudah menjadi satu kekuatan yang tidak bisa dilawan dengan memilih kandidat yang ada. Perayaan Pemilu di bawah cengkeraman demokrasi oligarki hanyalah alat pengawetan kuasa oligarki dan kelompok kapitalis, atau pergantian aktor penindas baru.
Rosa Luxemburg dan Edward Bernstein berusaha untuk melawan rezim kapitalistik melalui reformasi sosial merupakan suatu utopia. Negara kini berorientasi pada sistim kapitalistik karena adanya kemenangan politik borjuasi. Sedangkan, Ralph Milliband dalam jurnalnya tentang State, Power dan Class Interest[7] menunjukkan bahwa negara saat ini adalah sebuah organisasi dari kelas yang berkuasa, dan negara mengambil posisi di pihak kelas dominan. Juga menegaskan bahwa perkembangan reformasi sosial dan jalannya demokrasi justru memperkuat pondasi ekonomi kapitalis, sehingga revolusi menjadi solusi terakhir. Jeffrey Winters dan Vedi R. Hadiz[8], menyebutkan bahwa watak negara yang kapitalistik saat ini, pada dasarnya adalah instrumen dari kepentingan kelas yang berkuasa, Richard Robison & Vedi R. Hadiz[9] menjelaskan Para Predatoris yang berbasis pada elit partai-partai politik menguasai panggung kekuasaan negara dengan logika politik kartel dan menjadi basis bagi munculnya plutokrasi. Bahkan terlebih lagi Jhon M. Perkins menyebut sebagai Korporatokrasi yakni birokrasi yang memiliki watak dan keberpihakan kepada korporasi.
Diskonan dan Hari Kerja sebagai Wujud Eksploitasi Buruh
Ditengah derasnya perayaan pesta demokrasi ‘Oligarki’ Indonesia, semaraknya beragam macam brand perusahaan memberikan diskonan. Para pemilik kapital ingin tetap bisa mempertahankan aktifitas produksinya[10], dan ingin tetap bisa mengakumulasi kapitalnya meski dalam momentum politik demokrasi, yang notabene adalah hari libur. Para buruh sudah seharusnya diberikan waktu senggang untuk libur guna menggunakan hak pilihnya dan mengekspresikan sikap politik mereka dalam momentum demokrasi. Terlebih mereka juga dapat berisitirahat ditengah semaraknya momentum ini. Namun, logika kapitalistik tidak mengenal henti dan libur. Terhentinya faktor produksi dalam perusahaan adalah terhentinya akumulasi kapital. Seperti biasa, tidak sedikit perushaan-perushaan yang tetap buka meskipun di hari dimana momentum ekspresi politik demokrasi masyarakat tersebut bergulir. Bahkan, menggencarkan diskon. Praktik sistem kapitalisme dalam melakukan akumulasi kapital dengan pencurian nilai lebih (surplus value) tenaga buruh yang tetap bekerja, tidak libur dan melayani diskon perusahaan menjadi fenomena nyata didepan mata kita bahwa wujud eksploitasi buruh tetap berlangsung dalam pesta demokrasi rakyat ini.
Bagaimana bagi yang Golput?
Lantas, bagaimana dengan yang golput? Beberapa akhir ini, marak wacana untuk melakukan golput dan membentuk politik alternative. Hal tersebut merupakan suatu hal yang cukup progresif ditengah kacaunya demokrasi kali ini. Memang berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), tingkat partisipasi pemilih di pemilu Indonesia di era reformasi cenderung tinggi yakni 84% pada pemilu 2004, lalu 71% pada pemilu 2009, dan 74% ada pemilu 2014. KPU menargetkan tingkat partisipasi Pemilu mencapai 77,5%. Namun, perlu diketahui angka tersebut hanya menunjukkan demokrasi procedural, tidak sepenuhnya sekian persentase tersebut menujukkan demokrasi substansial.
Terlihat pada dalam data KPU Pemilihan Legislatif (Pileg) 2004 angka golput mencapai 15,9 persen, Sementara di ajang Pilpres 2004 putaran pertama pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya mencapai 21,8 persen, dan pada Pilpres 2004 putaran kedua angka golput melonjak menjadi 23,4 persen. Pada Pileg 2009 angka golput terus meningkat menjadi 29,1 persen, di ajang Pilpres 2009 turun sedikit mnejadi 28,3 persen. Dan pada Pileg 2014 lalu angka golput mencapai 28 persen, di Pilpres 2014 meningkat menjadi 30,42 persen. Lonjakan angka Golput yang semakin tinggi menjadi suatu hipotesis bahwa kurangnya kepercayaan publik pada kontestasi pembentukan pemerintahan yang baru. Hal tersebut menjadi rasional ketika 2018 lalu gencarnya rasionalisasi Golput dengan beragam alas an salah satunya yakni terkait maraknya kasus kekerasan pada aktivis dan masyarakat sipil, belum terselesainya kasus permasalahan kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia, kapabilitas calon, jaring kapitalisme dan rantai oligarki bisnis ada pada kedua calon yang justru menyumbang kerusakan lingkungan, kemiskinan dan ketimpangan sosial.
Para oknum yang memilih untuk Golput tidak hanya
tinggal diam atau menjadi golput pasif[11].
Tapi juga aktif untuk mewujudkan masa depan demokrasi yang lebih baik dengan membangun
politik alternatif dengan melakukan Pendidikan, diskusi, bersolidaritas,membentuk
partai, berserikat dan mengorganisir buruh, petani, nelayan, PKL dan kelompok
sosial rentan. Guna mewujudkan sistem politik dan demokrasi yang lahir dari
kelompok masyarakat sipil khususnya mewadahi aspirasi masyarakat yang
tertindas. Tidak masalah bagi yang golput dan tidak mendapatkan diskon dan
terjerat pada politik logika akumulasi kapital, ataupun turut andil dalam
golput aktif denga tetap mengupayakan saluran politik alternatif untuk masa
depan demokrasi yang dimenangkan oleh rakyat!
[1] Lidyana, Vadhia. 2019. Catatan Daftar Merek yang diberi Diskon usai Nyoblos. (Online). https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-4511642/catat-ini-daftar-merek-yang-beri-diskon-usai-nyoblos. Diakses April 2019.
[2] Petriella, Yanita. 2019. Brand Siapkan Diskon Jari Ungu Saat Pemilu. (Online). https://ekonomi.bisnis.com/read/20190416/12/912351/250-brand-siapkan-diskon-jari-ungu-saat-pemilu. Diakses April 2019.
[3] Reily, Michael. 2019. Tak Hanya di Mall, Diskon Pemilu 2019 Juga Ada di Toko Online. (Online). https://katadata.co.id/berita/2019/04/16/tokopedia-bukalapak-dan-shopee-siapkan-promo-pemilu. Diakses April 2019.
[4] Bunga, Novri. 2017. Pilkada dan Akumulasi Kapital. Harian Indoprogress
[5] Ritzer, George & Douglas J. 2011. Teori Marxis dan Berbagai Ragam Teori Neo-Marxian. Yogyakarta: Kreasi Wacana.
[6] Poulantzas, Nicos. 1970. The Capitalist State—reply to Nicos Poulantzas. New Left Review 59, January/February
[7] Miliband, Ralph. 1983. State Power and Class Interests. New Left Review NLR134, April.
[8] Winters, Jeffrey A. 2011. Oligarki, Terj. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
[9] Hadiz, Vedi R. 2005. Dinamika Kekuasaan; Ekonomi Politik Indonesia Pasca-Soeharto. Jakarta: LP3ES
[10] Anam, J.S. 2016. Logika Proses Kapital. (Online). https://www.militanindonesia.org/teori-4/ekonomi/8373-logika-proses-kapital.html . Diakses April 2019.
[11] Novianto, Arif. 2017. Melawan Sirkulasi Elit dalam Pemilu Pembangunan Politik Alternatif dan Upaya Distribusi Keadilan. (Online).
Melawan Sirkulasi Elit Dalam PEMILU: Pembangunan Politik Alternatif & Upaya Menciptakan Distribusi Keadilan. Diakses April 2019.