Hari ini, 11 September, dunia mengenang peristiwa tragis di perut benua amerika latin, Chili. 46 tahun yang lalu, sebuah kudeta berdarah mengakhiri kisah epik seorang presiden populis.
Salvador Guillermo Allende Gossens dikenal sebagai presiden Marxist pertama di dunia yang terpilih melalui sebuah pemilihan umum yang demokratis dan terbuka. Ahli Fisika kelahiran 26 Juni 1908 ini mengabdikan hampir 40 tahun hidupnya sebagai anggota Partai Sosialis, anggota senat, dan menteri pada kabinet pemerintahan Chili. Pada tahun 1970 Salvador terpilih sebagai presiden Chili dalam sebuah pemilu 3 putaran yang berlangsung ketat.
Saat berkuasa, Allende banyak melakukan nasionalisasi industri dan kebijakan yang mendorong kemandirian pertanian dan pengentasan kemiskinan. Politik sosialisnya yang lebih banyak berpihak kepada rakyat miskin dan seringkali berseberangan dengan kepentingan pemilik modal telah menimbulkan ketegangan yang menjurus kepada permusuhan politik dengan sebagian besar anggota senat yang tidak pernah setuju dengan ide sosialisme Chili. Permusuhan ini memuncak pada tragedy 11 September 1973 saat penguasa militer memaksa Allende untuk mundur dari jabatan presiden dan mengusirnya dari istana kepresidenan, La Moneda.
Saat militer tidak mendapatkan sinyal kerjasama dari Allende, komandan militer Agusto Pinochet memerintahkan pasukannya untuk memutus semua suplai bantuan dan jalur komunikasi di seluruh negeri. Kudeta berdarah dengan sandi “Operasi Jakarta” mulai dijalankan untuk menjatuhkan Allende. Pasukan para militer dikerahkan untuk mengepung La Moneda dan Allende diultimatum agar menyerah dan meninggalkan Chili.
Melalui satu-satunya saluran radio dari para pendukungnya yang masih tersisa, Allende menyampaikan pidato terakhirnya. Dia bersumpah untuk tidak menyerah. Pengabdiannya kepada rakyat Chili tidak akan pernah bisa dihentikan dan seluruh dunia akan menyaksikannya sebagai seorang pejuang yang setia kepada negara. Di tengah pidato tersebut, sejumlah besar tank dan artileri berat mulai mendekat dan menyerang La Moneda. Saat itu Allende bertahan bersama 100-an pendukung setianya yang sebagian besar merupakan aktivis buruh dan petani. Kelompok kecil ini lantas menghambur ke balkon La Moneda dan melawan dengan sengit. Saksi mata mengatakan Allende melawan dengan berbekal helm militer dan sepucuk Kalashnikov hadiah dari Fidel Castro. Benteng terakhir sosialisme Chili yang mengandalkan sepucuk bazooka dan senjata mesin kaliber 30mm tersebut pada akhirnya harus runtuh diserang tentara terlatih yang merangsek semakin dekat.
Tank dan artileri berat terus mengempur istana dan meruntuhkan sebagian besar balkon, jendela serta dinding depan La Moneda. Menyadari situasi genting, Allende memerintahkan para pendukungnya untuk meninggalkan istana. Beberapa pendukung termasuk dua anak gadisnya berhasil dievakuasi. Pada saat bersamaan, beberapa jet tempur mulai menembakkan sejumlah misil ke La Moneda, menghancurkan sebagian dinding dan jendela yang masih tersisa. Pasukan darat yang telah mengontrol situasi mulai menyerbu masuk dan menguasai lantai pertama istana. Allende yang terdesak segera menuju ke bangsal ‘Independent’ di lantai atas La Moneda.
Para pendukung Allende meyakini bahwa politisi kelahiran Santiago tersebut dieksekusi dengan dua tembakan di kepala dari jarak dekat. Versi dari junta militer menyebutkan bahwa Allende memutuskan bunuh diri saat diminta untuk menyerah oleh anggota para militer yang mengepungnya.
Usaha perebutan kekuasaan yang dilakukan militer pimpinan Agusto Pinochet tersebut dikenal sebagai salah satu kudeta berdarah paling brutal dalam sejarah dunia modern. Hari kelam dalam politik Chili hari itu ditandai dengan tewasnya seorang presiden egaliter yang sangat dicintai rakyat. Berakhirnya kepemimpinan Allende juga menjadi tanda matinya kehidupan demokratis Chili sekaligus awal dari pemerintahan represif junta militer yang bertahan hingga hampir 20 tahun kemudian.