Hari ini kita semua sedang berjalan menuju peralihan tahta. Akankah Pak Jokowi mempertahankan kursi presiden, ataukah Pak Prabowo tetap gagal seperti sebelumnya? Rasa cemas, khawatir, dan berharap kini menyelimuti kedua pasangan beserta tim suksesnya. Masing-masing tim berusaha untuk meyakinkan kalau calonnya yang terbaik. Lembaga survei terus-menerus memantau pergerakan suara kedua kandidat.
Pak Jokowi pantas optimis karena semua yang dikerjakannya kini dirasakan langsung oleh rakyat. Jalan tol dibangun di mana-mana, dana desa mengalir begitu derasnya, dan perusahaan asing kini harus berbagi sahamnya. Penuh percaya diri pak Jokowi bangga atas apa yang dikerjakannya. Semua dikatakan dengan angka, yang membuat orang mendengarnya akan langsung meyakini kalau Presiden satu ini memang: bekerja, kerja, dan bekerja.
Pak Prabowo juga patut optimis karena apa yang dikerjakan pak Jokowi pasti tak sempurna. Melalui pidatonya disetir juga angka kesenjangan hingga ancaman atas kebangkrutan. Dalam pandangannya, semua yang dilakukan pak Jokowi membawa bahaya di masa depan: hutang luar negeri, ketimpangan, hingga beban hidup petani. Meski dalam debat tak menyebut angka, tapi pak Prabowo mengatakan dengan terang kalau negara pantas untuk menguasai semua sektor penting hajat hidup rakyat.
Tapi keduanya bisa jadi tak mengutarakan apa yang sebenarnya. Pak Jokowi mustinya melihat konflik kepemilikan lahan yang meledak di sejumlah tempat. Benturan kekerasan yang melahirkan korban kini sulit diatasi dengan pendekatan hukum semata. Begitu pula Pak Prabowo yang mustinya lebih mendasarkan pandangannya pada apa yang terjadi, bukan apa yang diharapkannya terjadi; di samping idenya masih bombastis dan sulit untuk dicerna. Pandangan ini yang melahirkan pilihan golput.
Lantas siapa yang layak memimpin? Sebuah negeri yang sering kehilangan kesempatan: menikmati demokrasi tapi tak melahirkan partai yang demokratis, menjatuhkan rezim otoriter namun tak bisa menghukum para anggota rezim dan sekutunya, serta dianugerahi kebebasan tapi dihantui persoalan SARA. Di titik itulah kita diberi kesempatan untuk bebas memilih pemimpin. Lewat Pemilu yang katanya demokratis rakyat diajari bagaimana menggunakan suaranya.
Yang kita belum pernah bertanya, apa memang benar rakyat itu butuh Pemilu? Sudah tentu pertanyaan ini akan dijawab butuh oleh tim sukses maupun panitia pemilu. Tapi itu ‘kebutuhan’ yang memang secara otomatis melekat dalam tugas, fungsi, dan peran. Sedangkan rakyat yang jadi alasan terselenggaranya Pemilu sampai kini belum pernah coba ditanya terus terang dan terang-terangan. KPU menjalankan kegiatan Pemilu karena amanat undang-undang dengan keyakinan memang itu mandat rakyat.
Kali ini waktunya rakyat untuk ditanya ulang apa benar memang kebutuhan mendesaknya adalah Pemilu? sudah pasti pertanyaan ini bisa dibentuk dalam angket, tapi lebih baik lagi kalau pertanyaan ini dalam bentuk bukti langsung: seberapa banyak rakyat terlibat dalam mensosialisasikan tentang pentingnya memilih? Setidaknya baliho wajah wakil rakyat itu siapa yang memasangnya? Tenaga iklan atau keluarga kandidat atau rakyat sekitar?
Jika rakyat gembira dengan Pemilu pastilah kantor KPU ramai suasananya. Bisa jadi rakyat bertanya bagaimana cara mencoblos Pemilu kali ini, bagaimana mengetahui riwayat para calonnya, atau dengan antusias meminta anggota KPU untuk sosialisasi ke kampung-kampung. Kini kantor KPU ramai kalau sedang pendaftaran atau protes atas hasil suara. Yang lebih banyak datang ke kantor KPU jika tidak anggota partai atau tim sukses yang tugas pokoknya memenangkan kandidatnya sendiri. Rasanya pantas untuk bertanya apa KPU memang menjalankan peran ‘memotivasi’ rakyat untuk ikut serta, atau panitia penyelenggara kegiatan Pemilu saja?
Andai rakyat butuh Pemilu pastilah mereka dengan mandiri akan melakukan kegiatan apa saja agar kegiatan Pemilu itu berjalan aman, lancar, dan damai. Mereka akan menjadikan forum apa saja untuk menghadirkan kandidat. Secara gembira tiap kampung akan memberi undangan agar kandidat bicara, berdialog, serta diberi masukan. Kini apa benar kedatangan kandidat dirindukan atau kalau mereka mau datang harus menyiapkan janji untuk memenuhi semua kebutuhan? Bagaimana wakil rakyat menilai rakyatnya dan bagaimana rakyat menaruh pandangan wakilnya?
Tapi apa perlunya memahami perlu tidaknya Pemilu? Yang penting rakyat datang di bilik pemilihan, memilih kandidat, dan sesekali bertempur satu sama lain pendukungnya. Pokoknya yang dibutuhkan bukan kebutuhan, tapi ‘kesempatan’ untuk duduk secara bergantian diantara para elite. Kita memang menjalankan Pemilu tidak untuk memuaskan rakyat, tapi memenuhi kebutuhan kompetisi di antara elite politik. Kalau memang demikian, apa yang ingin kita raih dalam kegiatan Pemilu? setidaknya KPU jalankan kewajibannya dan rakyat -suka atau tidak- musti melaluinya. Begitu saja!(*)