Oleh: Danang Pamungkas
***
Sampai hari ini, jejak Raden Ayu (RA) Kartini di Rembang selalu menjadi daya tarik wisata. Terutama pada momen-momen tertentu seperti bulan April dan atau pada tiap peringatan hari pahlawan 10 November. Karena Kartini adalah salah satu wanita pelopor di negeri ini. Kartini sendiri banyak menulis dan menjadi pendidik di masanya. Tak heran kenapa Pramoedya Ananta Toer melukiskannya dengan Habis Gelap Terbitlah Terang pada sosok Kartini.
Raden Ayu Kartini hidup di Rembang selama 1 tahun. Meskipun hanya 1 tahun di Rembang, namun ia memiliki energi dan semangat yang luar biasa untuk memajukan pendidikan bagi komunitas sekitarnya. Kartini bukan saja sebagai penulis dan guru, tapi ia juga seorang penggerak komunitas seni dan tradisi. Saat di Rembang, ia mengabdikan diri untuk memberdayakan para pengrajin kayu, pembatik, dan perupa untuk bisa hidup lebih sejahtera.
Saat beliau menjadi Isteri dari Bupati Rembang, beliau dibebaskan untuk mendidik dan mengajar para anak-anak putri dari bangsawan dan pegawai pemerintah di rumah dinas Bupati. Ia tak hanya mengajar baca-tulis, namun juga mengajarkan kesenian lokal; khususnya membatik dan menjahit. Kartini paham bahwa pendidikan yang tepat guna bagi orang Jawa akan sangat penting untuk mengatasi problem keseharian. Sejak dahulu ia prihatin dengan nasib para perempuan yang hanya dianggap sebagai hiasan, dan tak memiliki kebebasan untuk bertindak sesuai dengan hati dan pikirannya. Keinginan untuk membuat sekolah yang bisa menampung siswa putri yang lebih banyak dan memperluas siswa dari golongan bawah menjadi ambisi yang ingin ia wujudkan. Puncaknya ia menyurati jajaran pemerintah Hindia-Belanda guna mewujudkan keinginannya. Pada zaman itu Kartini adalah satu-satunya perempuan Jawa yang dengan terbuka menulis dan mengutarakan pemikirannya tentang pentingnya sekolah dan pendidikan bagi orang Jawa. Ia memiliki pemikiran seperti itu karena terinsipirasi dari sosok Multatuli dan Abdul Rivai yang pada masa itu mempunyai semangat berkobar untuk memajukan kehidupan warga pribumi.
Salah satu bukti peninggalan cita-cita Kartini yang masih ada di Kabupaten Rembang adalah Sekolah Keputrian yang sekarang bernama SMA Kartini Rembang. Dahulu Kartini pernah mengirim surat kepada “Tweede Kamer” (Lih. Surat R.A. Kartini kepada Tuan Van Kol Tanggal 21 Juni 1902. “Permohonan saya ialah, sudilah pemerintah memberi saya pertolongan akan cita-cita yang tersebut diatas; sekarang akan memikul ongkos belajar itu semuanya dan kemudian sehabisnya saya belajar memberi saya kesempatan mengadakan internaat (Sekolah Asrama) untuk anak-anak gadis orang bumiputra yang berpangkat. . . Dengan penuh kepercayaan kami serahkan perkara kami kepada tuan. Kami tahu, kami rasai, bahwa Tuan ada menjadi pembantu besar dan pembela yang gembira bagi perkara kami. Baca selengkapnya di buku, Pane Armijn. 2008. Habis Gelap Terbirtlah Terang. Balai Pustaka: Jakarta), semacam majelis Parlemen Hindia-Belanda yang mengatur kebijakan pemerintah kolonial untuk membuat Sekolah Keputrian (Lih. Surat R.A. Kartini kepada Tuan dan Nyonya Abendanon Tanggal 11 Desember 1903. “Bila boleh kami kami mendapat seorang guru perempuan yang baik, kami bercita-cita mengadakan sekolah bagi anak-anak gadis berpangkat di rumah kami ini. Bila baik jadinya, bolehkah kami mengharapkan subsidi gubermen? Uang sekolahnya haruslah tetap serendah-rendahnya; tempat tinggal dan makan boleh di dapatnya dengan Cuma-Cuma dari kami. . .besar harapan saya sekolah yang demikian akan maju. . . kami berdua mengandung angan-angan yang besar-besar. Baca selengkapnya di buku, Pane Armijn. 2008. Habis Gelap Terbirtlah Terang. Balai Pustaka: Jakarta ).
Kartini ingin rakyat pribumi juga diberikan pendidikan untuk kemajuan bangsa. Namun keinginan Kartini itu belum terwujud sampai ia wafat pada 17 September 1904. Sekolah ini kemudian dibangun setelah wafatnya suami Kartini, Raden Mas Adipati Ario Singgih Joyoadiningrat pada 28 Mei 1912. Pada saat itu Gubernur Jenderal Idenburg bersama pejabat seluruh Jawa melayat ke Rembang, sekaligus memiliki misi untuk membangun sekolah yang diimpikan oleh Kartini, program pembangunan ini diinisasi oleh Van Deventer yang sebelumnya telah menggalang dana untuk membangun sekolah keputrian lewat pembentukan Yayasan Kartini di Hindia-Belanda (Roman Jejak Langkah Pramoedya Ananta Toer, di hlm 708-709 “Gubernur Jenderal Idenburg pergi menju Rembang, dengan rombongan sebesar paling tidak beberapa ratus orang pejabat tinggi dan para pengawal. . . Gubernur Jenderal dengan rombongan melayat. . . Bupati Rembang yang meninggal. Bupati Rembang, Djoyoadiningrat, suami gadis Jepara. . . – Roman Jejak Langkah Pramoedya Ananta Toer, di hlm 602 “Gerakan gadis Jepara timbul dikalangan orang-orang Eropa dan Indo dari golongan politik etik. Berpusat di Semarang. Mereka bermaksud melaksanakan apa yang pernah jadi impian wanita menarik itu. Komite Jepara muncul hampir di semua kota besar di Jawa. Dalam waktu dua bulan telah terhimpun dana, cukup kuat untuk mendirikan sekolah. Tempat yang mereka pilih: Rembang. . .Sebuah komisi dikirimkan ke Rembang untuk mencari tempat. Inspektur pengajaran Jawa Tengah, R. Kamil, pejabat tertinggi pribumi di bidang pengajaran, meresmikannya. Monumen Golongan Etik telah didirikan).
Pada tahun 1964 atas desakan berbagai banyak pihak akan pentingnya jasa Kartini bagi bangsa akhirnya beliau mendapatkan gelar Pahlawan Nasional. Setelah dikukuhkan, Presiden Sukarno kemudian mengujungi Makam Kartini sekaligus merevitalisasi bangunan sekolah ini dan merubah status pendidikan keputrian non-formal menjadi pendidikan formal di bawahi langusung oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Kini, karena seiring zaman, Sekolah Keputrian ini lambat laun kalah bersaing dengan sekolah-sekolah baru yang mulai bermunculan. Jumlah siswi perempuan kian sedikit sehingga nama Sekolah Keputrian diubah menjadi SMA Kartini Rembang guna mendapatkan siswa putra maupun putri. Jaraknya hanya berkisar 100 meter dari Alun-Alun Kabupaten Rembang. Persisnya di depan Istana Bupati Rembang pada zaman Hindia Belanda. Tapi bangunan yang berarsitektur Belanda tersebut sampai kini masih berdiri kokoh.
Sebenarnya, perhatian RA Kartini pada budaya lokal dan nilai-nilainya sudah intens dilakukannya semenjak masih di Jepara. Di Jepara, Kartini sudah mempopulerkan seni batik dan ukir ke negeri Belanda lewat beberapa kenalannya. Sehingga pada masa itu seni dan tradisi Jawa begitu diminati masyarakat Eropa sebagai properti seni yang bernilai tinggi. Padahal sebelumnya kesenian ini hampir mati, karena ketiadaan pasar dan pembeli. Semuanya itu dimulai dari Kartini yang berjuang mempopulerkan seni dan tradisi Jawa ke luar negeri. Begitupun dengan yang dilakukannya saat kemudian ia menjadi istri dari Bupati Rembang. Kartini tetap bergelut pada aktivitasnya; mengajarkan Seni Membatik, Menjahit dan mengajarkan budi pekerti. Karena bagi Kartini, hal tersebut menjadi penting agar para perempuan bisa berdaya dan merdeka, sehingga tidak bergantung penghidupannya pada laki-laki saja. Hal yang masih berlangsung sampai sekarang yang estafetnya dilanjutkan oleh Guru dan Staf di SMA Kartini Rembang. Sampai sekarang sekolah ini masih tetap memiliki semangat mendidik ala Kartini, dengan adanya kewajiban siswa-siswi untuk mengikuti kegiatan seni membatik dan menjahit.
Namun sekolah yang dibangun oleh Van Deventer ini lambat laun mulai tidak dikenali oleh warga sekitar Rembang. Hanya beberapa orang saja yang mengetahui, bahkan beberapa orang mengenal SMA Kartini dengan stigma negatif. Semisal sebagai sekolah buangan dengan siswa-siswi yang nakal dan tidak mengenal aturan. Padahal SMA Kartini Rembang memiliki banyak prestasi yang membanggakan. Sekolah ini mendapatkan program dari Kemendikbud sebagai salah satu sekolah pengarusutamaan Gender Tahun 2013. Tarian Kawista dari siswa-siswi SMA Kartini Rembang juga mendapatkan Juara pertama dalam Lomba Tari dan pionering di kampus STIE YPPI Rembang tahun 2018. Serta mendapatkan penghargaan di kejuaraan lomba lainnya seperti lomba penulisan cerita rakyat, lomba story telling, dan lomba Fashion Show Batik.
Stigma negatif timbul karena ketidaktahuan dan pengetahuan seputar sejarah yang tidak bisa terinformasikan dengan baik. Sebagai salah satu Pengajar di sekolah ini, saya merasa bahwa sekolah ini memiliki potensi dan keunikan yang menjadi ciri khas Kabupaten Rembang. Baru satu bulan yang lalu perwakilan BEKRAF (Badan Ekonomi Kreatif) mendatangi sekolah kami. Mereka sangat antusias dengan model pendidikan dan ekstrakurikuler yang mengasah keterampilan siswa untuk dapat berkreasi. Batik tulis yang menjadi simbol Kabupaten Rembang adalah sebuah akulturasi budaya Tionghoa-Jawa yang tumbuh subur di Lasem. Suatu kearifan lokal yang sampai sekarang menghidupi ratusan pengusaha batik dan ribuan tenaga kerja. Batik Tulis Lasem inilah yang dipelajari oleh siswa-siswi, tak hanya mempelajarinya saja. Para remaja SMA Kartini juga mempraktekkan cara membatik, dan membuat desain sesuai dengan adat-tradisi yang melekat pada batik tulis Lasem. Pada tahun 2018 ini Kabupaten Rembang dianugerahi oleh BEKRAF sebagai Kota Kreatif karena banyaknya seniman batik, kriya, dan ukir kayu yang masih memiliki ciri budaya akar rumput yang kuat.
Keresahan saya sebagai tenaga pengajar ini adalah murni kepedulian terhadap situs kebudayaan yang sampai sekarang masih aktif berkegiatan namun minim diketahui banyak orang. Kepedulian terhadap situs kebudayaan ini merupakan hal yang penting, karena disinilah cerita-cerita awal mula bangsa berkembang, dan gejolak problem sosial yang dipahami sebagi sebuah pemajuan kehidupan yang lebih baik mesti dipahami. Kegigihan Kartini dalam usahanya membangun sekolah, mendidik orang pribumi untuk mempelajari ilmu tepat guna, dan memberdayakan komunitas sekitarnya, harusnya menjadi suatu fondasi bagi pendidikan masa kini. Saya teringat ucapan Pramoedya Ananta Toer, bahwa ketidakmajuan bangsa ini karena minimnya orang-orang yang mau memahami dan mempelajari sejarah masa lalu.
Saya menulis artikel ini hanya untuk mengabarkan pada seluruh sahabat yang ada di Indonesia, bahwa ada situs kebudayaan Kartini yang sampai sekarang masih tetap aktif mendidik anak negeri. Sekolah ini bukan sebagai museum sejarah yang mati, namun sekolah ini masih hidup dan menghidupi komunitas sekitar. Seperti yang dikatakan oleh Kartini “Hanya perjuangan dan kerja keras yang akan memenangkan tiga perempat dunia” maka dari itu mari berjuang melestarikan situs kebudayaan dan memberikan informasi yang lengkap agar peninggalan sejarah itu menjadi bara api semangat untuk remaja Indonesia untuk hidup di hari depan. []
Danang Pamungkas, lahir di Rembang 2 Desember 1994. Sekarang bekerja sebagai pengajar di SMA Kartini Rembang dan bekerja serabutan menjadi jurnalis lepas di beberapa media online. Alamat di Desa Cabean Kidul, Bulu, Rembang, Jawa Tengah. Info,Sharing, dll bisa kontak lewat email: danangpamungkas637@gmail.com, atau wa/telp di 085212534771. FB: Danang Pamungkas. Twitter: @danangpnp. IG: @danangpnp.