
“Momen yang dianggap sebagai momen penemuan sebenarnya adalah momen menemukan pertanyaan” -Jonas Salk, penemu vaksin Polio
Saya bisa dikatan masuk dalam golongan penggemar acara mata Najwa. Acara yang menghadirkan wawancara bermutu, Najwa membuat pertanyaan yang jitu, dan nara sumber menjawab dengan kemampuan terbaiknya. Belakangan memang saya tak banyak menikmati acara ini. Saya sudah tak tahu jadwalnya dan mungkin agak bosan dengan polanya.
Hingga kemaren istri saya memaksa untuk menonton acara Mata Najwa. Kali ini saya terpikat melihat gambarnya: Najwa yang mewancarai keluarga Presiden. Saya menontonya dengan antusias, menunggu pertanyaan Najwa yang berani dan kritis. Najwa biasanya melontarkan pertanyaan yang tajam, jawaban selalu bisa didebat, dan susana diskusi yang hangat.
Inilah pertama kalinya keluarga Presiden komplit di layar kaca untuk diwawancara. Saya bayangkan Najwa akan bertanya pada pak Jokowi, “Sebagai Presiden Indonesia, akankah Anda gelisah dengan tuduhan tentang keturunan PKI karena itu menyangkut isu keluarga? Atau, “Bagaimana Anda membentengi keluarga dari penyalahgunaan posisi sebagaimana yang terjadi pada Presiden Soeharto pada masa itu?”
Saya sudah berharap Najwa akan bertanya pada Iriana Jokowi, “Sebagai seorang istri kepala negara, apakah ibu tahu bagaimana nasib perempuan Indonesia yang banyak dirundung kasus kekerasan dalam rumah tangga atau pelecehan seksual? Atau mungkin pertanyaan yang lebih tajam, “Sebagai seorang perempuan dan ibu, bagaimana perasaan Anda melihat TKI kita yang dihukum gantung oleh pemerintah Saudi?”
Begitu pula pada putera Jokowi saya mengimpikan pertanyaan seperti ini. “Apa yang bisa membuktikan bahwa bisnis Anda tak terkait dengan posisi bapak sebagai Presiden?” Atau yang lebih lembut, “Bagaimana Anda sebagai anak mewarisi pandangan politik bapak, dan setahu Anda sebagai puterannya apa yang meresahkan bapak melihat Indonesia hari ini?” Bahkan mungkin yang lebih imaginatif, “Kalau Anda terlahir kembali, maka ingin menjadi putera siapa? Putera Presiden atau anak orang biasa?”
Sedang dengan puteri Pak Jokowi saya berharap muncul pertanyaan, “Sebagai seorang anak perempuan, bagaimana Anda melihat peran politik kaum perempuan selama ini?” Atau yang bisa lebih tajam, “Sebagai puteri presiden, apa sikap yang akan Anda ambil ketika melihat banyaknnya kasus perdagangan anak dan perempuan?” Atau mungkin lebih familiar, “Jika Anda punya masalah, ke mana lebih dulu memberitahu, bapak atau ibuk?”
Terhadap cucunnya yang keci, Jan Enthes, saya berpikirl mungkin Najwa bisa bertanya, “Siapa yang kamu sayang di antara keluarga; bapak, simbah, atau paman? Atau untuk lebih mengenal dekat dan santai mungkin pertanyaan sepele, “Ayo, besok gedhe mau jadi seperti bapak atau simbah?”
Sayangnya, harapan atas pertanyaan liar yang muncul dalam kepala saya padam. Pertanyaan itu semua tak muncul sama sekali. Najwa seperti seorang yang mengagumi sang presiden. Figur Pak Jokowi yang luwes, polos, dan apa adanya tak tampak karena pertanyaanya baku dan formil. Lebih tepatnya, pertanyaanya abstrak sehingga yang muncul hanya pernyataan umum.
Yang tergambar adalah keluarga Presiden yang tertib: duduknya rapi, sang putera, dan menantu di belakang. Sepertinya penata panggung acara Mata Najwa tak pernah menonton film keluarga The Cosby Show, keluarga hangat yang egaliter dan lucu. Tidak pun meniru The Cosby Show, tapi suasana keluarganya harusnya bisa dibuat lebih meriah. Banyak cerita keluarga Indonesia yang bisa dilirik, misalnya Keluarga Masa Depan atau Keluarga Cemara.
Entah mengapa, kali ini Mata Najwa terasa kaku, kering, dan tak kreatif. Andai kata wawancara ini bisa dibuat sebagai obrolan keluarga, tentu pemirsa dapat menyaksikan sebuah pendidikan: bapak yang kadang berselisih dengan anak, atau anak yang punya fikiran beda dengan bapak, hingga ibu yang cemas akan suaminya. Semuanya sebenarnya sah saja karena inilah potret keluarga. Semakin ada yang tak sempurna, makin tampak realistis dan dimaklumi.
Tiba-tiba saya ingat pelajaran bahasa Indonesia waktu SD. Keluarga Budi. Keluarga yang begitu tentram dengan tugas yang sudah pasti. Ibu menyapu, bapak di ruang tamu, dan budi belajar. Keluarga Budi yang damai, bahagia, dan tak mau berseteru dengan siapa saja. Najwa tampaknya mengingat dan mengamalkan ajaran itu, pada keluarga Budi yang sebenarnya hanya fantasi.
Saya jadi malu menyaksikan keluarga presiden yang sempurna. Pak Jokowi dengan bijak menasehati anaknya untuk mandiri. Anaknya dengan tulus menyambut nasehat itu dengan cara membuka usaha. Kemudian keluarga lainya menanggapi semua pembicaraan dengan senang, bahagia, dan menerima. Benar-benar keluarga yang hanya bisa dipentaskan di televisi.
Bayangkan saja, keluarga Bung Karno yang di ujung kekuasaanya penuh dengan gejolak. Diasingkan, dikucilkan, hingga disandera. Bayangkan juga keluarga bung Hatta yang sederhana, bahkan konon tak mampu bayar listrik segala. Bayangkan keluarga Haji Agus Salim yang hidupnya ngontrak sana sini.
Mereka adalah para pemimpin yang baiknya dilukiskan oleh Najwa. Sehingga keluarga pak Jokowi juga bisa melihat jejak masa lalu bahwa memimpin itu memang seperti yang dikatakanya: sederhana, apa adanya, dan mustinya lebih mandiri. Maka potretnya tak harus keharmonisan, tapi juga situasi alamiah yang memberi ruang untuk beda pendapat, sedikit sulit, tapi juga tak ingin mudah menyerah.
Sebab kalau mau jujur, banyak keluarga yang tak lagi utuh karena ‘peran’ negara. Misalnya keluarga korban HAM yang tiap hari kamis berdiri di depan pintu istana. Mereka pernah ditemui oleh Pak Jokowi dan diberi janji. Kalau saja Najwa menyinggung ini dalam wawancara keluarga presiden kemarin, pasti kita bisa melihat pandangan Pak Jokowi pribadi. Terutama pandangannya jika dirinya menjadi orang tua yang kehilangan anaknya.
Tapi Mata Najwa mungkin punya tujuan beda: tidak menghakimi sekaligus tidak mengajak merenungi. Najwa hanya mengajak kita bangga karena memiliki presiden yang bersahaja. Najwa mengajak kita lupa kalau banyak keluarga tak bisa seharmonis keluarga Pak Jokowi. Najwa mengingatkan kita bahwa tontonan selalu punya misi yang sama: menghibur, mengajak sedikit bermimpi, dan memastikan kalau semuanya itu pantas untuk ditayangkan.
Saya tiba-tiba ingat buku tentang Donald Trump. Judulnya Fire and Fury, mengisahkan kekonyolan Trump di Gedung Putih. Yang menakjubkan, karya itu tak dituntut sama sekali. Mungkin Trump memang seperti itu: emosional, konyol, tapi orang bebas mengutuknya. Bila membaca buku itu, kita bisa maklum tapi heran. Maklum karena ternyata Trump memang menyedihkan, tapi heran mengapa figur seperti itu terpilih sebagai Presiden AS.
Malam itu saat menonton Mata Najwa saya tak mengalami rasa takjub, heran, ataupun bangga. Wawancara Mata Najwa malah membuat saya ingat pelajaran membaca keluarga Budi. Saya seperti kembali di kelas SD. Duduk di bangku coklat, mengeja kehidupan Budi melalui latihan membaca. Saat menyaksikan wawancara dengan keluarga presiden, saya merasa malam itu Najwa kehilangan mata!(*)