Bisakah Gerakan Mahasiswa Bangkit dengan Aturan Menteri No. 55?

“Muda atau tua tak tergantung pada tanggal dalam suatu massa, tapi pada keadaan jiwa. Tugas kita bukan menambah usia pada kehidupan, tapi menambah kehidupan pada usia.” -Myron J Taylor

Jika kamu mahasiswa, senangkah dengan peraturan menteri No. 55 yang isinya memperbolehkan organisasi ekstra? Mungkin ada yang gembira karena inilah kesempatan yang pertama kalinya. Organisasi esktra macam HMI, PMII atau GMNI tak lagi takut untuk meneguhkan penampilanya. Benderanya bisa dipasang di kampus dan kegiatanya diwadahi oleh ruang-ruang kampus. FMN, LMND atau KAMMI juga bisa dengan terang-terangan menyatakan ideologinya lalu berlomba untuk meraih kader sebanyak-banyaknya.

Andai kamu mahasiswa baru, tentu jadi pengalaman yang berbeda ketika melihat organisasi mahasiswa menunjukkan dirinya. Benderanya tertancap di tengah spanduk iklan kampus, tokoh-tokoh pendirinya diperkenalkan dengan begitu rupa, hingga alumninya dicantumkan pada setiap iklanya. Kita bukan seperti memasuki perguruan tinggi tapi dunia gerakan yang penuh dengan mimpi dan semangat protes atas setiap keadaan yang kisut dan janggal. Mimpi mahasiswa bukan hanya bekerja, tapi penggerak zaman. Aduhai indahnya kalau itu semua terjadi!

Jika kalian adalah rektor perguruan tinggi, bisakah kalian menyambut keputusan ini dengan kebijakan yang terbuka? Memperbolehkan HMI untuk diskusi tentang terorisme yang kini dihadapi dengan cara yang membahayakan hak asasi manusia? Memperkenankan FMN atau LMND untuk bicara soal 65 yang selalu saja tak bisa didiskusikan secara terbuka? Membolehkan GMNI untuk mengkritik Jokowi yang tidak mengikuti semua ajaran bung Karno? Atau bahkan membiarkan KAMMI untuk mengundang seniornya bicara soal penguasa negeri ini?

Kalau saja kalian hanya sebagai dosen, apakah artinya peraturan menteri No. 55 ini? Meyakini bahwa ruangan kelas mustinya tak hanya dimuati oleh kuliah yang ala kadarnya, tapi juga membiarkan mahasiswa untuk memperagakan keyakinan ideologinya? Memberikan dukungan atau keleluasaan bagi mahasiswa untuk ikut kegiatan pengkaderan pada organisasi esktra yang diminatinya? Atau mengajak gerakan mahasiswa untuk berkolaborasi oleh pengetahuan dengan membuat kuliah jadi tangga menuju perdebatan terbuka?

Mungkin saya pesimis karena suasana kampus sudah lama lapuk dari geliat gerakan. Tiap kampus berusaha agar mahasiswanya lulus dengan secepatnya dan raihan nilai yang tinggi sekali. Tiap kampus meyakini kalau kuliah hanya mengantarkan mahasiswa untuk meraih pekerjaan. Tiap kampus percaya kalau mandatnya adalah meraih akreditasi dimana itu semua ditentukan pula oleh kepatuhan mahasiswanya.

Sejatinya  aturan menteri ini tak jatuh begitu saja: tanpa alasan dan tanpa pengantar. Mustahil aturan ini muncul karena menyaksikan kampus yang terlampau berorientasi kerja atau ingin kampus memberi tempat terhormat untuk aktivisnya. Saya tak terlampau yakin aturan ini terbit karena motif yang agung itu.

Saya beranggapan tampaknya ada kekuatiran dengan tumbuh-kembangnya semangat beragama di lingkungan kampus. Berulang kali ada peringatan mengenai ancaman radikalisme. Diucapkan oleh pejabat hingga surveyor dari lembaga yang kadangkala sulit didebat hasil penelitianya. Seolah ada data yang sahih berisi tentang berisiknya kampus bukan dengan pengetahuan, tapi mimpi untuk mengganti ideologi. Petunjuknya cukup dengan pertemuan akbar mahasiswa yang berikrar akan tegaknya syariah. Fantasi itu seperti pertunjukan Avangers yang diyakini begitu rupa.

Sesekali para peneliti itu perlu datang ke kampus lalu keliling. Tidak di masjid, tapi kantin. Saksikan mahasiswa yang sedang makan lalu bercanda ke mana-mana. Lihatlah paras mereka, apa benar punya mimpi suci seperti itu? Bagaimanapun, mengganti ideologi itu bukan sekedar ganti kartu pulsa karena yang dilibatkan bukan dana, tapi metodologi berfikir hingga bagaimana itu diungkapkan dalam gerakan. Kalau tidak di kantin, cobalah datang ke ruangan kuliah yang penuh dengan mahasiswa yang tertib dalam situasi apapun: mendengar, mencatat, dan sesekali tertidur nyenyak.

Kalau perlu, pejabat itu datang pada setiap kantor lembaga mahasiswa: datanglah ke sana. Betulkah mereka sedang mempersiapkan pergantian ideologi atau merencanakan sesuatu yang akan mengubah identitas negara atau bahkan ingin mencoba melakukan kudeta? Tapi, memang jamuan fantasi hasil riset maupun kebijakan itu punya kesimpulan yang menggembirakan hari ini: kasih kebebasan organisasi esktra untuk tampil, lalu biarlah mahasiswa memilih kegiatan yang memuaskan harapanya. Kini pertanyaanya pada organisasi ekstra tak lain adalah, sambutan seperti apa untuk aturan yang menguntungkan ini? Akankah mereka memadati kampus dengan bendera organisasi atau membuat aktivitas berorientasi pada perolehan kader sebanyak-banyaknya?

Meski sebenarnya -sampai sekarang- organisasi ekstra kampus punya peran ganda: pemasok lembaga kemahasiswaan atau pencipta kegiatan pengetahuan. Peran itu dijalankan dengan cara apa saja, tapi memang kampus tidak bisa memberi dukungan maksimal. Pada organisasi ekstra kampus tak diperkenankan ruanganya untuk digunakan dengan mudah sekaligus juga tak bisa mendanai secara terbuka. Kini, apakah melalui peraturan menteri, kampus mengijinkan dengan bebas kalau ruangan, acara, hingga dana dialokasikan untuk perkembangan organisasi ekstra?

Dilema kampus akan selalu seperti ini: aturan ini punya pisau yang bisa menusuk siapa saja. Kalau organisasi ekstra dibiarkan tumbuh, akankah kampus mentoleransi panggung bagi perayaan ide-ide yang utopis, tak masuk akal, dan berbahaya? Jika itu nanti ujudnya dukungan, bagaimana bisa kebijakan itu berjalan adil untuk semua organisasi ekstra karena ada banyak organisasi kemahasiswaan yang masih mengalami pengucilan, penindakan, bahkan kadangkala kekerasan yang bisa dilakukan oleh kampus sendiri maupun oleh mahasiswanya.

Tapi mari kita ambil positifnya lebih dulu. Ini peluang, mari kita jajaki batas-batasnya. Artinya organisasi ekstra lakukan saja kegiatan terbuka, melakukan pendaftaran kader dengan cara terang-terangan, dan meniupkan aktivitas diskusi dengan cara-cara alternatif. Sebab ‘peluang’ ini bisa dimaknai sebagai sebuah kemajuan, meski dengan alasan konyol. Karena itulah, saatnya memberikan bukti bahwa gerakan mahasiswa itu bisa mekar kembali. Setidaknya mengembalikan gerakan pada makna prinsipnya: mengenalkan keyakinan ideologis, menciptakan kader-kader militan, dan melibatkan diri pada semua perkara kemanusiaan.

Pada mereka yang mendasarkan diri pada identitas keagamaan: HMI, PMII, PMKRI, IMM, hingga KAMMI, waktunya menunjukkan identitasnya dengan terbuka, mulai adu gagasan dengan cara terang-terangan dan memastikan diri bahwa idenya itu bisa diterima, dapat diikuti, dan menyelesaikan persoalan yang ada. Begitu pula untuk organisasi yang identitasnya nasionalis hingga sosialis, saatnya untuk bisa berdebat secara terbuka serta melakukan peragaan gagasan dengan cara yang unik, imaginatif, dan sesuai dengan semangat zaman.

Saya mungkin terlampau percaya dengan arus gejolak mahasiswa: populasinya yang membesar, memadati kampus dengan aneka kegiatan, dan punya visi utopia yang kadang tak masuk akal. Walau ada kecurigaan soal kepentingan praktis yang mendasarinya atau kepentingan elit yang kerapkali membajaknya, tapi sejarah mana pun membuktikan kalau perubahan struktur kekuasaan akan selalu melibatkan mahasiswa. Meski sejarah itu bisa diinterpretasikan dengan pembacaan apa saja, tapi faktanya mahasiswa merupakan lapisan yang punya pengaruh, bisa berpengaruh, dan mungkin tetap berpengaruh.

Saya rasa, itulah yang membuat peraturan menteri No. 55 tahun 2018 ini pantas disambut.(*)

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0