Tapi aku tak suka terikat di satu tempat. Aku mau pergi ke mana saja dan kapan saja sesuka hatiku, dan bisa berpikir sesuka hatiku, aku mau hidup bebas seperti itu (Haruki Murakami)
Saya suka baca novel Haruki Murakami kalau di perjalanan. Diseret oleh pribadi yang dingin dengan pikiran yang misterius. Biasanya anak muda, lebih persisnya di novel ini (judulnya Tsukuru Tazaki Tanpa Warna dan Tahun Ziarahnya) pada masa SMA, yang memberi mereka pengalaman beda. Tiap kali saya baca novel Murakami, saya seperti menjadi masa lampau: hidup dengan pikiran yang diseret ke masa lalu. Pikiran yang curiga, yang kuatir, atau yang takjub.
Ada yang bilang kelas menengah cirinya baca Murakami. Definisi yang agung sekaligus mengada-ada: betapa cerdasnya kelas menengah kita atau jika tidak mau dikatakan fantastis pikiranya. Sebab letak buku Murakami di toko buku jauh dari gegap gempitanya buku Tere Lie atau buku pintar masuk CPNS. Dua buku ini kategorinya bisa best seller. Padahal Murakami sama seperti kisahnya: berada di tumpukan atau di sela-sela buku lainnya. Kecuali novel barunya, yang itu juga biasanya takkan bertahan lama.
Beberapa kawan saya suka membaca Murakami tidak dengan penampilan aduhai. Lebih tepatnya anak muda yang memang ingin memahami cerita Murakami: imaginatif, mengejutkan dengan humor yang kadang susah dipahami. Walau begitu, Murakami memang menampilkan tokoh-tokoh yang punya kecenderungan unik, jika tak dibilang aneh. Tapi bukankah ini kisah tentang orang Jepang yang jauh beda dengan kita yang di sini: tata masyarakat kapitalistik dengan etos kerja dan belajar yang gila.
Jepang yang punya gerbang industri dengan kesenangan pada kerja. Idaman kemajuan orang Asia dulu -terutama semasa Soeharto- disandarkan pada Jepang. Pada soal menjajah sekalipun, Jepang punya kesintingan yang bagi kita sulit dinalar. Misalnya dalam perbudakan kaum perempuan yang hingga sekarang jadi sejarah hitam pemerintahan Jepang. Juga pada soal kekejaman para tawanan. Seolah ambisi negeri ini untuk mengejar kejayaan musti mengorbankan apa saja.
Murakami memotretnya pada penduduk mudanya: gelisah, letih dengan sinisme pada karir yang mereka jalani. Tsukuru Tazaki yang tenggelam dalam masa lalu, terutama ketika diingatkan akan kawan-kawan karibnya. Semasa sekolah, Tsukuru bergaul dengan teman-temanya: akrab, hangat, dan saling percaya. Hanya karena perantaraan peristiwa yang aneh, dirinya lalu terbuang. Tsukuru hanyut dalam waktu hingga tak percaya kalau dirinya harus memastikan sebab itu semua terjadi.
Ia seperti kebanyakan anak muda lainya. Memiliki mimpi seks yang gila, tertaut hatinya oleh teman masa lalunya, dan sulit mengutarakan isi hatinya. Ketika ia ditawan oleh pekerjaan di stasiun lalu berkenalan dengan seorang gadis, tepat pada saat itulah ia berusaha memahami masa lalunya. Sebuah masa yang kalau diingatnya hanya menciptakan lubang darah dalam dirinya. Murakami berusaha melukiskan jiwa gelisah masa lalu seorang pemuda.
Persis seperti karya Murakami lainnya, tokoh utamanya dibicarkan membicarakan kegelisahanya, gadis pasanganya coba untuk membantunya, dan kehidupan seks yang kerap bergolak tapi juga redup begitu saja. Murakami buat saya tidak mengajak kita memahami gejolak jiwa saja, melainkan anak-anak muda yang terapung dalam kemajuan Jepang yang keji, sinis, dan kerap kali tidak mampu untuk memberi ruang. Mereka tak ingin beranjak menuju masa depan karena diseret oleh masa lalu yang tak mampu diatasi.
Itulah yang memikat dari Murakami. Ia tak menggurui, ia tak menampilkan tokoh idola, dan ia tak mau terlibat dalam perkara raksasa. Tsukuru adalah korban dari sebuah lingkungan yang meyakini akan keunggulan, tiadanya kelemahan, dan selalu percaya manusia itu mampu atasi semua. Tsukuru dilukiskan dalam penampilan ideal: tampan, bekerja, dan tidak mau macam-macam. Tapi yang ideal itu ternyata menyimpan luka yang menganga.
Mungkin itulah cara Murakami mengutuk kemajuan yang nyaris menginginkan kehidupan jadi sempurna. Dalam perjalanan kehidupan yang bergolak itu, anak-anak muda dikorbankan. Mereka memilih untuk mengkhianati kawan karibnya atau sengaja membiarkanya hilang begitu saja. Potongan kisah sederhana itu dipangkas jadi pertemuan antar orang, baik dari masa lalu, saat kini, atau mungkin meramalkan masa depan. Murakami meyakinkan kita akan pesona sebuah perjalanan kehidupan yang selamanya menyimpan kejutan. Tak ada heroisme, hanya kegelisahan yang kalau diikuti akan membuat manusia muda jadi tumpul.
Tsukuru mengapung, tumpul tapi tak mau menyerah. Ia ikuti masa lalu itu dengan menziarahi temanya satu-persatu. Tiap orang disuruh menjawab kenapa mereka tega melakukan itu semua padanya. Kali ini nadanya tidak menghakimi, tapi berusaha untuk memahami kenapa situasinya jadi seperti sekarang. Kelokan kisah yang buat saya tak terasa beban, tapi sebenarnya hanya memberikan kita tanggungan baru. Kejujuran itu menyakitkan tapi bisa membuat kita seperti dimudahkan untuk menengok masa lalu.
Lalu, buat apa membaca novel yang bisa membuat kita letih, capek, dan tak menghibur ini? Murakami bukan ingin memberi motivasi, juga tak ingin menciptakan seorang pahlawan. Ia menuturkan cerita anak muda kebanyakan. Ragu, kesal, tapi juga terpikat untuk jalani petualangan. Ia memutuskan untuk mengajak semua tokohnya untuk tidak mempertanyakan apa yang dijalani dan diyakininya. Murakami menggugat situasi.
Kalau begitu, kita membaca novel ini untuk apa? Hanya sekedar unjuk identitas kelas sosial, yang itu pasti pentas yang mengaggumkan, atau memang kita mau menjenguk sebuah situasi di mana anak-anak muda hanya diberi harapan, tak diindahkan pandanganya, dan meminta mereka untuk menjadi sebagaimana orang kebanyakan.
Saya membaca novel ini tidak takjub sama sekali, tapi juga tidak kemudian bosan. Novel ini seperti melatih saya berjalan menjenguk masa lalu: ia pernah kita lalui, sudah pernah kita singgahi, dan kita berdiam diri sesaat. Seperti halnya setiap masa lalu, kita mungkin tak bisa menarik pelajaranya tapi kita bisa memaknainya hari ini. Murakami menyuguhkan santapan indah tentang masa remaja dengan masa lalunya.
Kisah Tsukuru seperti kita hari-hari ini. Usaha untuk melintasi masa lalu, mencoba untuk menemui orang yang pernah bersama, dan memastikan kalau semuanya memang telah berubah. Waktu yang pernah menyeret kita sebenarnya tak bergeser ke mana-mana. Ia menunggu dan memastikan kalau tetap berada pada tempatnya. Kita bisa mampir tapi tentu tak bisa tinggal di dalamnya.
Novel Murakami tidak untuk kelas menengah, tapi untuk siapa saja yang menyukai kisah yang kelam, misteri, dan kadang membuat kita bisa menghela nafas sejenak.(*)