Kemungkinan pembunuhan di lingkungan konsulat merupakan eksekusi ekstra judisial (Amnesty International)
***
Di jalanan manapun negeri ini kita akan berjumpa dengan baliho umroh. Ajakan untuk berangkat ke Tanah Suci. Harganya bisa bermacam-macam tapi tetap dengan tujuan yang sama: menunaikan ibadah ke dua kota suci. Makkah dan Madinah. Nilai ibadah itulah yang membuat kita semua berusaha untuk mengamalkanya. Tak hanya dengan datang ke Makkah tapi juga apa saja yang berbau Makkah kita berusaha menyukainya. Busana, ucapan hingga cara kita berpenampilan.
Terlebihimbalan pahala di dua kota suci itu sangat menakjubkan. Sholat di masjid Nabawi hingga Masjidil Haram mendatangkan pahala berlipat ganda. Pahala yang bisa mengantar kita untuk mendapat posisi di surga serta bisa menghapus banyak dosa. Biro umroh biasanya memberi kita bekal doa sekaligus informasi tempat dimana doa-doa niscaya dikabulkan. Hingga kita luput untuk menyadari kalau dua kota suci ini berada di bawah kekuasaan Pangeran Mohammed bin Salman. Putera mahkota yang dikenal dengan inisial MBS.
Seorang Pangeran yang ketika berkuasa mengguncang banyak perubahan: ditangkapnya paman dan sepupunya karena tuduhan korupsi. Sang pangeran sendiri mendaku posisi sebagai ketua lembaga antikorupsi. Asset mereka triliunan dibekukan. Tak hanya itu dirinya juga ambil bagian dalam perang di Yaman. Sudah tiga tahun perang itu berjalan dan tak ada tanda-tanda akan berhenti. Di samping itu pemerintahanya juga memboikot Qatar karena tuduhan sarang teroris hingga dianggap mendukung Iran.
Iran selalu jadi sasaran tuduhan pangeran. Bahkan silang sengkarut Timur Tengah selalu alamatnya adalah Iran. Dianggap Iran bertanggung jawab atas konflik politik Timur Tengah, disebut sebagai eskportir ajaran Syiah hingga tuduhan turut memperkeruh Suriah. Iran bukan hanya musuh Saudi tapi juga Amerika serta negara Barat lainnya. Sanksi ekonomi yang terus diberikan Iran mendapat dukungan dari Saudi. Sang Pangeran sangat gemas dengan Iran yang terus meluaskan pengaruh bahkan kini berhubungan dekat dengan Rusia, China dan Qatar. Sekutu satu-satunya yang dipercaya Pangeran adalah Barat utamanya Amerika.
Itu sebabnya banyak perubahan dilakukan sang Pangeran. Pangeran melalukan berbagai langkah liberal: memperbolehkan perempuan menyetir sendiri, nonton acara publik hingga diperbolehkanya gedung bioskop disana. Mudah dipercaya jika kemudian dirinya bersahabat karib dengan Jared Kusher, menantu sekaligus penasehat Presiden AS Donald Trump. Kehangatan hubungan itu dimuat dalam buku tentang dijamunya keluarga Trump oleh sang pangeran dengan naik mobil golf bersepuh emas.
Kedekatan itu bukan tak berbuah banyak: Saudi menjadi pembeli banyak senjata buatan AS dan ikut bareng-bareng buat proposal perdamaian Palestina-Israel. Salah satu isi proposal itu yang membuat umat Islam marah adalah pemindahan ibu kota Palestina. Perangai politik yang penuh manuver itu mendapat ganjalan ketika Kanada melakukan kritik terbuka. Saudi memutuskan untuk membekukan hubunganya dengan Kanada. Sikap itu tak banyak menuai kecaman karena banyak negara Barat masih meyakini kalau Saudi adalah sekutunya.
Hingga pada tanggal 2 Oktober 2018 Jamal Khassoggi-seorang jurnalis dan kolumnis- datang ke Konsulat Arab di Istambul, Turki. Jamal Khassogi datang ke konsulat untuk memastikan dirinya tak beristri. Khashoggi, yang merupakan kolumnis The Washington Post, sejak itu tak keluar dan lenyap. Belakangan Saudi-setelah ditekan oleh banyak negara-mengakui kalau Jamal Khassoggi ribut, kelahi lalu mati. Perkelahian yang terjadi dalam kantor konsulat jadi kisah yang menimbulkan banyak tanda tanya. Kisah yang sedikit konyol bahkan Donald Trump-kawan karib mereka-mengatakan itu keterangan yang bohong.
Sang Pangeran pasti tak menyangka kalau mendapat kecaman dari negara Barat yang selama ini jadi sekutunya. Saudi pasti kecewa dengan sikap pemerintah Barat yang kali ini mengecamnya. Tak hanya pemerintah, tapi PBB hingga Amnesty International. Malah sejumlah tokoh bisnis, bos perusahaan dan pejabat negara, membatalkan keikut-sertaanya dalam forum Investasi Future Investmen Iniative (FII) di Riyadh 23-25 oktober ini. Ajang yang digadang-gadang olehsang Pangeran sebagai cara untuk memastikan Saudi terbuka untuk investasi dan perubahan. Kini badai itu mengguncang Riyadh yang bermula dari Istanbul.
Disini seperti biasa kita tak mau turut campur dan tak mau tahu. Bersekutu dengan siapa Saudi itu terserah. Sang Pangeran meski bersahabat dengan Amerika bahkan menekan perjanjian dagang senilai 400 milliar, dengan transaksi senjata 110 milliar: kita tetap mempercayainya. Timbul kini kecurigaan Trump membiayai Pemilu dengan menjual hotel serta gedung megahnya dan yang membeli adalah perusahaan Saudi. Semua urusan itu bukan bagian dari kepentingan kita.
Saudi bagi kita adalah penguasa suci: tindakan politiknya bukan urusan ummat dan langkah politiknya di luar tanggung jawab ummat. Beberapa jutawan Saudi membantu pembiayaan pondok pesantren hingga pendirian tempat ibadah. Kita menerima apapun kebijakan Saudi asalkan tamu-tamu Allah yang datang itu dipenuhi haknya, dilancarkan urusanya dan aman selama ibadah. Kepentingan kita dan terutama ummat pada Saudi hanya sebatas pemenuhan kepentingan ibadah. Jika pemerintah Saudi pernah menghukum TKI dengan hukuman mati itu tak membuat kita kemudian memboikot perjalanan umroh dan haji.
Kita percaya kalau uang umroh dan haji itu digunakan untuk kepentingan ibadah. Memperbaiki rumah ibadah, membersihkan tempat ibadah hingga menjadikan dua kota suci jadi tempat nyaman untuk ibadah. Tak ada kecurigaan kalau uang itu untuk beli senjata atau mendanai kegiatan yang berbahaya. Sebab dalam soal ibadah yang penting ‘percaya’ bukan ‘curiga’. Wajar kalau sekarang ini kita masih merasa yakin kalau dua kota suci itu memang hak nya pemerintah Saudi untuk kelola. Kita terbiasa untuk meniadakan hubungan antara rezim Saudi dengan peranya sebagai pelindung kota suci.
Kita punya paradigma yang unik soal ini. Ibadah tak perlu dikaitkan dengan kepentingan politik. Terutama politik tuan rumah. Sikap kita hanya ‘diam, memahami dan menyesalkan’ Andai memang akhirnya Saudi dikutuk oleh banyak pemerintahan Barat dan kalau memang benar Khasoggi dimutilasi. Sebab sejak awal hubungan kita dengan Saudi seperti komunikasi antara penggemar dan idola. Kita menggemari cara beragama orang Saudi dan sepantasnya kita memaklumi kalau ada cela pada rezim ini.
Bahkan dalam buku pegangan umroh atau haji yang terpapar hanya aktivitas ibadah saja. Doa-doa yang dibaca jika ada disana, tempat-tempat yang layak dikunjungi hingga bagaimana kita sepantasnya jika berada di dua kota suci itu. Kita seakan meyakini bahwa kota suci itu memang berdiri dengan kesucianya dan pemerintah Saudi terserah mau melakukan kebijakan politik apapun. Sungguh beruntung berada dalam posisi demikian: tindak tanduk politik luar negeri tak boleh dihakimi selama mereka tak menghalangi kita dalam menunaikan ibadah.
Tapi pertanyaanya:apa memang begitu sikap orang beragama? Tak mau peduli dengan tindakan keji yang sasaranya adalah orang Islam sendiri? Tak ingin menasehati kekuasaan yang dikelola dengan sembarangan dan cara mengatasi masalah dengan cara bermasalah? Pantaskah penguasa dua kota suci terus mempertahankan hubungan dengan negara-seperti Amerika- yang banyak menjalankan kebijakan politik sadis terutama untuk kawasan Timur Tengah? Manakah yang harus kita tuntut dari rezim Saudi hari ini: menjaga ketertiban di kota suci atau menjalankan kekuasaan dengan adil serta manusiawi? Tidakkah kebijakan Saudi dalam soal HAM akan berpengaruh pada citra sebagai penguasa kota suci?
Ada baiknya kita menengok sejarah dua kota suci itu. Kota yang dulu tempat utusan Allah hingga orang-orang bajik bermukim. Serbuan atas Ka’bah dihalau langsung oleh Allah dengan mengirim burung ababil. Kota ini merawat dirinya bukan dengan kemegahan tapi kehangatan, sikap luhur hingga keberanian para penghuninya. Maka sebagai kota suci yang dipancarkan bukan keunggulan bangunan tapi etika yang diungkapkan dalam hubungan dengan yang lain atau sesama. Mungkin itu sebabnya Allah perintahkan membawa Ismail-putera Ibrahim-untuk berdiam di kota ini.
Melalui perantaraan doa Nabi Ibrahim Makkah dan Madinah jadi tempat yang memberikan kemakmuran. Semula kaum Quraisy meracuninya dengan berhala dan tindakan tak manusiawi. Melalui dakwah Rasullah SAW kota suci itu jadi tempat yang dirindukan dan pernah jadi tempat berkumpulnya para pejuang kemanusiaan. Sekarang penguasa Saudi sedang disorot dunia, bukan karena kemampuanya dalam melayani tamu Allah, tapi atas tuduhanya membunuh warga negaranya sendiri. Kita sebagai negara yang mayoritas muslim waktunya untuk berani mengingatkan jika keliru, berani memberi teguran kalau ada yang salah dan memastikan juga jamaah umroh dan haji untuk lebih kritis dalam melihat kekuasaan Saudi.
Tidak ada kekayaan kecuali akal, tidak ada kemiskinan kecuali kebodohan, tidak ada warisan kecuali prilaku yang baik, tidak ada pembantu kecuali nasehat yang baik (Ali bin Abi Thalib)