YANG SAMA ANTARA PAK AMIEN RAIS DENGAN PAK JOKOWI

 

Pernahkah kau merasakan/ keindahan kasih sayang di hatimu/ hingga dunia tampak indah di matamu?/siapakah yang meneteskan rasa itu/hingga setitik embun pun terasa tersenyum kepadamu? (Allah, A Mustofa Bisri)

***

Politik Indonesia itu unik. Bukan karena identitasnya tapi pandangan politiknya. Tiap pandangan politik yang muncul bisa membuat kita tertawa tapi juga geram. Sikap politik yang tampil sering membawa kita prihatin tapi juga kasihan. Seolah politik itu adalah pertarungan yang bisa menghabiskan cadangan perasaan, kesabaran dan emosi.

Mungkin karena itu mengamati politisi selalu dari profilnya. Meski muncul pertama dari orang biasa tapi dapat tampil jadi luar biasa. Itulah pak Jokowi. Walau muncul dari perguruan tinggi tapi mampu jadi politisi tingkat tinggi. Itulah pak Amien Rais. Dua-duanya kini seolah berseberangan posisi karena sikap yang tampak berbeda.

Pak Amien Rais menyanyikan lagi ganti Presiden yang tentu maksudnya tak lain adalah pak Jokowi. Sedang pak Jokowi ingin terus meneruskan periode kepresidenanya yang memang konstitusi memperkenankanya. Sikap keduanya itu biasa dalam sistem demokrasi: yang satu ingin menghentikan langkah sedang yang lain tetap mau melanjutkan langkah.

Yang salah kalau keduanya memakai cara apa saja. Di masa Orba cara yang lazim digunakan adalah memompa isu SARA. Secara mahir Orba meniupkan komunisme hingga Islam pada siapapun yang tampaknya ingin bersikap kritis. Bahkan dengan gampang rezim Orba menculik, menganiaya hingga membunuhi yang beda.

Terlalu sering cara ini dipakai sehingga orang dikemudian hari jadi mudah menggunakanya. Termasuk hari-hari ini dimana orang gampang menuduh PKI atau China pada kebijakan yang tidak disuka. Tidak suka itu pula yang membuat politik dikuasai oleh dua kubu yang dijuluki dengan analogi binatang: kecebong dan kampret.

Kategori binatang yang kini mamadati khasanah politik kita: kutu loncat, tikus kantor, buaya darat, muka badak, anjing menggongong kafilah berlalu-yang oleh Asep Salahudin-cermin jalan kebudayaan yang buntu. Kita mencerminkan diri kita sebagai binatang yang secara miris dibilang oleh Hannah Arendt sebagai ‘animalisasi manusia’

Proses pembinatangan ini yang bikin politik jadi penuh luapan emosi. Tiap orang berseteru dengan cara yang bikin kita tak sabar serta kehilangan tujuan besar. Padahal kita bisa memulai dengan mencari yang sama dan bisa membawa kebaikan bersama. Karena memang politik baiknya mengabdi pada tujuan itu.

Tujuan politik yang pada masa Soekarno muda dinyatakan pada sidang pembelaanya. Soekarno mengatakan hal yang saya hapal kalimatnya: Hanya ada satu negeri yang bisa menjadi tanah airku, yaitu negeri yang berkembang karena perbuatan, dan perbuatan itu adalah perbuatanku. Ini adalah kutipan syair Rene de Clark.

Sejenak mari kita lihat hal yang sama pada diri pak Amien dan pak Jokowi. Yang pertama dari asalnya dimana Solo jadi tempat tinggal masa kecil mereka. Kota Solo punya sejarah luar biasa: disebut oleh ilmuwan sebagai kota pergerakan dan dikenal karena semangat wirausaha. Tutur kata yang ramah dan bersahaja masih kita jumpai hingga hari ini disana.

Yang kedua dari kampusnya dimana keduanya menempuh pendidikan di UGM. Jarak Fakultas Fisipol dengan Fakultas Kehutanan tak jauh. Bahkan kalau mahasiswa Fisipol akan keluar kampus bisa melawati fakultas Kehutanan. Berhadap-hadapan. Citra sebagai kampus kerakyatan membuat keduanya selalu menyebut rakyat dalam kaitan apapun.

Yang ketiga tak punya kaitan dengan Orba. Dua-duanya tak pernah jadi sekutu Soeharto. Tak memiliki hubungan famili apalagi bisnis dengan Cendana. Sehingga kita yakin keduanya adalah tokoh yang lahir dari musim semi reformasi serta terbebas dari sangkaan isu Orba.

Yang keempat beragama Islam dan tumbuh dengan kultur yang tak beda. Memang pak Amien Rais memegang posisi tertinggi sebagai pimpinan Muhammadiyah dan pak Jokowi sebagai kepala negara yang juga tak pernah mengusik NU maupun Muhammadiyah. Di masa pak Jokowi ada keputusan tentang hari santri nasional.

Yang kelima mereka berhasil meraih posisi politik tertinggi. Lebih dulu pak Amien menjabat sebagai ketua MPR. Sepuluh tahun kemudian pak Jokowi menjadi pemimpin Republik. Artinya keduanya dipercaya untuk membawa perahu Republik menuju cita-cita idealnya. Pengalaman dan integritasnya sebanding.

Yang keenam merupakan bapak yang mencintai keluarga. Keduanya memiliki anak-anak yang istimewa: pak Amien Rais ada yang puterinya jadi sutradara dan pak Jokowi ada yang berwirausaha. Diantaranya ada yang tidak menempuh jalur jadi politisi dan orang tuanya juga tidak memaksa. Singkatnya tak ada kisah prahara menimpa keluarga mereka sampai saat ini.

Yang ketujuh baik pak Jakowi maupun pak Amien berangkat dari keresahan yang sama. Pak Amien dulu percaya dengan ide tanggung jawab cendekiawan muslim yang ditelurkan pertama oleh Ali Syariati. Sedangkan pak Jokowi mengunyah gagasan Soekarno tentang populisme, Pancasila hingga keadilanya. Setidaknya keduanya punya sumber pengetahuan yang dicetuskan oleh sosok yang jadi penggerak perubahan.

Yang kedelapan pak Jokowi dan pak Amien berada dalam sangkar partai yang posisinya menentukan. Walau pak Jokowi tidak duduk di kursi sentral PDIP tapi popularitasnya berpengaruh pada keberhasilan PDIP. Begitu pula pak Amien yang berada di posisi PAN dimana pandangan maupun peranya sangat menentukan.

Yang kesembilan pak Amien Rais maupun pak Jakowi simbol untuk dua kekuatan yang signifikan. Berlabuh sebagai pimpinan Ormas Agama terbesar pak Amien Rais selalu identik dengan tokoh Islam. Sedang pak Jokowi yang berangkat dari PDIP serta kecintaan pada Soekarno selalu identik dengan sosok nasionalis. Simbol kekuatan ideologi yang bisa jadi perekat Republik.

Yang kesepuluh pak Amien Rais dan pak Jokowi kritis atas soal Freeport. Kecaman soal asing membawa pak Amien dulu mengkritik rezim SBY pada isu kontrak karya. Kemudian pak Jokowi membuat rumusan baru soal diinvestasi saham Freeport. Tentu ada detail masalah tapi itu menunjukkan keduanya resah dengan soal serupa.

Jadi ada lebih banyak kalau mau ditambah kesamaan subyektif maupun obyektif pak Jakowi dengan pak Amien Rais. Kesamaan itulah yang baiknya diungkit karena hanya melalui cara itulah kita dapat berdamai dengan sistem demokrasi. Tumbuh tidak dengan arus kebencian tapi mencari titik temu bagi kesatuan.

Soalnya kita tak mungkin memadati hari-hari dengan kritik atau sanggahan terus-terusan. Kalau ditarik manfaat kita tak tahu untungnya buat rakyat apa kalau kebencian ditebarkan lalu permusuhan dinyatakan. Sampai kita nggak ngerti maksud dibalik semua kutukan atau tanggapan balik atas soal yang kadangkala nilainya tak seberapa.

Jika kita coba menarik kesamaan hanya tinggal satu perbedaan yang penting yaitu cara melakukan perubahan. Itulah yang pantas untuk diperdebatkan dengan didasarkan atas data dan himpunan informasi. Debat itu bukan hanya bersaing menyatakan sesuatu tapi juga berbuat pada sesuatu.

Misalnya soal buruh mau diapakan dalam sistem buas pasar seperti ini. Pasti beda cara memahami pak Amien maupun pak Jokowi. Titik soal seperti ini yang patut dijadikan debat dan bisa diutarakan dengan cara argumentatif. Mengingat keduanya itu berpendidikan dan baiknya menyampaikan sesuatu seperti orang terdidik.

Mungkin kita tak mengandaikan ada foto gandeng tangan pak Amien dengan pak Jokowi. Tapi berharap keduanya bisa mencoba untuk saling mengerti, bisa memahami dan mencontohkan bagaimana sikap politik yang sederhana. Pak Amien Rais sesekali perlu memuji capaian pak Jakowi sebagaimana pak Jokowi bangga atas peran pak Amien Rais di masa lalu.

Kalau politik dibangun dengan politisi semacam ini kita akan membereskan banyak hal. Baik itu taburan kebencian, isu SARA hingga teori konspirasi. Hidup berpolitik menjadi menyenangkan, sedikit jenaka dan penuh inspirasi. Siapa tahu itu akan terjadi… Semoga.

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0