POLITISI TONTONLAH A QUIET PLACE

 

Berhati-hatilah dengan lisanmu, wahai insan/janganlah sampai mematuk dirimu, karena ia adalah ular/berapa banyak orang mati di kuburan gara gara lidahnya (Abdullah Azzam)

Barang siapa membicarakan sesuatu yang tidak benar atas diri seseorang, untuk mencemarkan kehormatannya dengan perkataan itu, maka Allah akan menahanya di neraka jahanam sampai dia dapat membuktikan kebenaran apa yang dia katakan mengenainya (HR At-Thabrani)

***

Film ini mustinya ditayangkan di senayan. Tempat suara berdengung dan berhamburan. Melalui bentuk yang beraneka rupa: debat, dialog hingga kecaman. Baiknya film ini ditonton pula oleh para penguasa. Yang kerapkali mengancam, melarang dan menghukum suara yang berbeda. Sesekali film ini dinikmati oleh para penceramah hingga motivator. Mereka yang dapat untung dari kemahiran bicara.

Dibuka dengan adegan yang padat ketegangan. Keluarga yang diseret dalam kesunyian. Takut menimbulkan suara saat memasuki sebuah toko yang kosong. Barang jualan porak poranda karena semua penghuni kota ditelan oleh monster. Monster itu akan memakan dengan rakus siapapun yang bersuara atau membunyikan sesuatu.

Bayangkan kalau monster itu hidup di tengah tengah kita. Tak banyak ceramah yang harus kita dengar. Tiap ceramah akan berbuah kematian. Tak ada lagi kegiatan yang mendatangkan massa. Pentas dangdut akan musnah, pertemuan akbar akan lenyap dan kampanye yang ribut hilang begitu saja. Kota tampak tenang, sunyi tapi mencekam.

Keluarga yang hanya berisi ayah, ibu dan dua anak. Tiap akan memulai aktivitas yang dipertimbangkan adalah suara. Jangan buat berisik dan hentikan semua yang mengeluarkan suara. Desain rumah dibuat tanpa suara: makanan masak dengan diasapi, lantai dilapisi agar tak berderit lalu musik didengar melalui headset. Meski penuh intimidasi tapi keluarga itu masih menyiratkan senyum.

Mungkin itulah suasana yang kita rindukan belakangan ini. Keheningan yang tanpa kegaduhan. Kalau monster itu muncul hari ini kita tentu menuai banyak hikmah. Politisi yang omong seenakya akan dimakan lebih dulu. Disusul oleh para demagog yang suka sekali cetuskan kata-kata ancaman. Mungkin yang paling akhir adalah himpunan massa yang suka berteriak pada siapa pun yang dianggap berbeda.

Monster itu tak bisa diatasi dengan diskusi. Tiap pendapat yang dikatakan dengan antuasias akan berbuah kematian. Monster itu juga tak bisa dihabisi dengan doa yang didengungkan secara massal. Karena suara yang terbit seperti pintu menuju kebinasaan.  Jika diibaratkan perjalanan maka monster itu membuat hidup musti dilewati dengan cara berbeda.

John Krasinski mungkin pernah lihat Jakarta Lawyer Club. Acara yang diasuh oleh Karni Ilyas yang selalu dipenuhi orang bicara. Simpang siur pendapat itu berlangsung berjam-jam. Banyak orang menyukai acara ini. Bisa dengar pendapat ahli hingga suara yang selalu bernada membela diri. Tapi dalam acara ini yang penting adalah bicara. Bicara saja dan bicara melulu. John Krasinski sutradara A Queit Place bisa saja berimaginasi: tiba-tiba monster keluar lalu memakan orang yang duduk di tiap meja.

Ruang teater tempat film ini diputar juga dilanda kesunyian. Para penonton tahu diri apa yang mustinya mereka perbuat: duduk, nikmati dan diam. Andai saja film ini ditonton oleh Amien Rais yang duduk bersebelahan dengan Luhut Binsar Pandjaitan: Insya Allah mereka akan saling berpegang tangan. Ketegangan film itu memberi pelajaran buat mereka berdua: hati-hatilah tiap mengatakan sesuatu karena ada monster yang bisa memburumu.

Sayangnya tak semua politisi suka film. Padahal A Queit Place memberi saran bijak buat mereka: suara itu bisa jadi sumber petaka. Kota dimana monster itu gentayangan telah jadi tempat yang murung, sepi dan berbahaya. Resep film ini tak sekedar menjual ketegangan. Tapi sinisme yang ditawarkan dengan cara arif: suara itu bisa jadi sumber petaka ketika digunakan dengan cara seenaknya.

Sepatutnya kita berterimakasih pada John. Ucapkan terimakasih juga untuk keluarga yang memerankanya: sang ayah (John Karinski), ibu (Emily Blunt), anak perempuan (diperankan Millicent Simmons) dan anak laki-laki (Noah Jupe) Himpunan keluarga yang melawan sadisme monster dengan cara yang mengejutkan.

Pastilah saya berterimakasih pada monster yang di film ini telah menelan warga kota. Berkat kekejianya kita tahu betapa berbahayanya suara yang keluar dari mulut manusia. Untunglah ini hanya di film dan politisi kita yang menontonya mungkin punya perasaan yang sama. Monster itu hanya muncul di layar yang memang diniatkan untuk memberi kita hiburan.

Monster itu tidak memakan politisi tapi mengancam keyakinan mereka akan kebebasan mengatakan sesuatu.

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0