Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Film ini diakhiri dengan ilustrasi yang sangat menyayat hati. Sebuah kesaksian miris tentang ‘Kebenaran Yang Kalah’ hanya karena kebenaran itu berjubah perbedaan; berbeda gaya hidup dan berbeda warna kulit. Ini tentu masih sering kita jumpai dalam banyak kehidupan di banyak tempat, termasuk di negeri ini. Dimana tafsir atas kebenaran di tentukan oleh dominasi kelompok tertentu. “Tahun 1999, Cody Cate di nyatakan tak bersalah atas pembunuhan Brian Deneke. Juri mendakwanya atas pembunuhan tidak sengaja. Ia di hukum masa percobaan dan denda $10.000. Tapi denda akhirnya dibatalkan”.
Film Bomb City yang baru saja rilis 2018 ini memang mengisahkan tentang kehidupan beberapa anak punk yang tinggal di Amerika. Dengan gaya rambut extreme mohawk, jaket jeans, tinggal di sebuah basecamp, melakukan kritik sosial pada kebijakan dan mencari penghidupan dengan mandiri. Ini yang membuat mereka berbeda dengan masyarakat umum lainnya seperti anak sekolahan yang notabenenya berpakaian rapi, menggunakan setelan jas, hidup dari kekayaan orang tua, bisa kuliah dan dianggap sebagai impian masa depan. Tentu saja sutradara ingin menunjukkan dua sisi kehidupan tersebut sebagai latar belakang apa yang kemudian dikatakan adil dan tidak adil. Persaingan tentu tidak bisa dihindarkan. Perkelahian kerap terjadi. Seolah itu menjadi ciri pergaulan anak muda.
Akan tetapi yang ingin ditunjukkan sutradara dalam film ini bukan masalah perkelahian antara anak mudanya saja. Melainkan situasi sosial yang lebih parah dari semua itu. Yaitu bagaimana hukum dapat diintervensi hanya karena kelompok tertentu punya kuasa. Sehingga kelompok tersebut berhak melakukan diskriminasi bahkan pembunuhan keji terhadap orang atau kelompok lainnya. Dan tentunya hal ini kemudian mendapat restu dari negara, sengaja atau tidak di sengaja.
Ilustrator memberikan catatan penting tentang narasi peristiwa dalam film ini yang menurutnya tidak adil pada kemanusiaan dan sejarah. Padahal kejadian tersebut sudah diakui kebenarannya dalam persidangan. Dan bahkan negara telah turut pula mengakui dan mengapresiasi eksistensi kerja-kerja yang dilakukan oleh ‘mereka yang berbeda’ tersebut. Tapi tetap saja pengakuan kebenaran itu tidak pernah hadir sebagai kebenaran hukum yang berlaku.
“Salah satu cerita yang membuatku teringat dan membuatku berpikir, terjadi beberapa tahun lalu, ada anak Punk remaja yang dilindas oleh atlet sekolahan kulit putih dengan mobil cadilac ayahnya. Anak ini tewas karena dia terlihat berbeda. Hal ini terjadi dan anak itu telah membunuhnya. Dan itu jelas kesalahan. Bahkan sudah diakui kesalahannya tersebut. Tapi tebak, dimana atlet All-American itu berada sekarang, dia kuliah. Juri merasa anak Punk itu pantas untuk mati karena ia terlihat urakan. Tak hanya dia telah meninggal, tapi juga dipersidangan, dia dibunuh lagi karena mereka mengkritik gaya hidupnya karena ia tak mengenakan kemeja Tommy Hilfiger dan celana kain, kau tahu? Lalu si pembunuh bahkan mendapat tepuk tangan saat kelulusan karena dia seorang bintang futbol; sebuah mimpi Amerika, kuat, normal. Dia tak pernah seharipun di penjara. Jadi siapa yang kita salahkan? Kau tahu? Semua ingin berkata ‘terlalu banyak kekerasan, terlalu banyak kekerasan saati ini’. Tapi apa semua orang lupa dengan perang sipil atau alkitab dan shakespeare ? kekerasan bukanlah hal baru, itu sebabnya aku bertanya. Kubilang, ‘apa orang dewasa terhibur membunuh anak-anak kita’ atau ‘apa membunuh anak-anak kita menghibur orang dewasa?’. Menurutku itu pertanyaan yang harus kita tanyakan di diri kita saat ini. Dan, ya tanyakan dirimu jika setiap kali kau menonton kamera jurnalis di setiap kejadian atau di pemakaman atau disaat pesawat jatuh. Aku akan jujur saat ini, kau menatapku. Aku melihat diriku sendiri di monitor, kau tahu? Kita duduk didepan TV dan kita adalah TV. Kita tiruan yang menatap sebuah tiruan pada tiruan dan tiruan. Pada akhirnya Xerok yang mengalami penurunan. Kita tak tahu mana yang duluan. Dan disanalah kita saat ini. Dan aku serahkan itu padamu”.
Film yang diangkat berdasarkan kisah nyata ini mungkin hanya secuil cerita kecil dalam sejarah Amerika. Kisah kelam yang mungkin saja kerap terjadi tetapi sayang tidak terpublikasikan dengan baik. Bahwa dalam kemegahan yang dibangun, merupakan satu aib bagi kisah-kisah seperti ini kalau hadir di depan publik. Makanya bukan tak jarang kisah serupa seperti ini kerap terjadi dan luput atau sengaja di-luput-kan kebenarannya dari publik.
Bomb City adalah sebuah film yang jelas menggugat perlakuan diskriminatif dan kejahatan kemanusiaan yang masih saja terjadi. Dilegalisasi oleh negara dan bahkan terjadi di banyak tempat di belahan bumi ini. Film ini tidak hanya mengekplorasi peristiwa, akan tetapi menggugat itu semua; Negara, Kekuasaan, Hukum, Media dan sebagainya. Bomb City merupakan sebuah gambaran utuh dan kritik sosial dimana otoritas lebih sering dikendalikan oleh mayoritas buta yang selalu menganggap perbedaan bahkan minor itu sampah dan tidak layak punya kedudukan hukum dalam berkehidupan. Film ini menunjukkan keangkuhan tersebut. Bahwa ternyata normalisasi itu tak lebih busuk dan absurd dari impian hidup yang terjadi dan berlangsung sampai hari ini. Dimana kuasa menentukan kehidupan seseorang dan menilai layak atau tidaknya untuk hidup berdampingan atau tidak. Indikatornya adalah tampilan, gaya hidup, cara berpakaiannya bahkan termasuk ideologi dan sebagainya. Dan siapa yang melakukan penilaian tersebut? Ilustrator dengan memukau mengkritik kita semua.
Bagi kalian yang masih saja bertindak rasis, suka mendiskriditkan orang karena berbeda agama dan Tuhan-nya, berbeda pakaiannya, berbeda cara berpikirnya, bahkan berbeda pandangan hidupnya, sangat tidak disarankan menonton film ini.Karena film ini hanya layak ditonton oleh mereka yang berpikiran terbuka dan mau menerima perbedaan. Kamu kah orang itu..?
“Akhir 1990 an Brian Deneke dan teman-temannya membantu membawa proyek seni urban terbesar dalam sejarah AS. Itu dikenal sebagai Museum Dinamit. Hari ini, lebih dari 3000 papan tanda unik tetap dipajang dilingkungan sekitar kota Amarillo, Texas”.