Melki AS – [Pegiat Social Movement Institute]
***
Membaca karya Nafi’ah al-Ma’rab dalam novel LUKA PEREMPUAN ASAP; Air Mata di Antara Pohon Sawit, mengingatkan kita pada beberapa perdebatan terakhir tentang krisis ekologi. Krisis ekologi sendiri adalah sebuah kekhawatiran terjadinya bencana yang timbul akibat kerusakan alam yang parah, lingkungan menjadi tidak steril serta mengancam kesehatan umat manusia. Hal tersebut salah satunya disebabkan oleh faktor seperti pembukaan lahan perkebunan sawit secara besar-besaran. Meskipun salah satu ekspor Indonesia yang terkenal adalah minyak sawit. Akan tetapi novel ini seakan ingin menegaskan kembali bahwa keberhasilan mengekspor minyak sawit tidaklah sebanding dengan ancaman kerusakan alam dan gangguan kesehatan yang akan terjadi pada umat manusia di masa yang akan datang.
Nafi’ah memulai ceritanya dengan membentangkan kondisi geograpis tempatnya tinggal; sebuah desa dimana sawit menjadi sumber ekonomi masyarakat yang utama. Oleh karena itu, semua yang ada di desa tersebut hanya mempunyai dua pilihan kerja; jadi pemilik perkebunan sawit atau jadi pekerja atau buruh di perkebunan sawit tersebut. Dan dengan tokoh perempuan bernama Mun, penulis langsung melakukan konfrontasi pemikirannya dengan langsung menghadirkan konflik interest antara manfaat dan ketidakbermanfaatan dari perkebunan sawit yang dikelola oleh keluarganya. Tak ketinggalan novel ini menghadirkan ketokohan lainnya yang bersifat antagonis melalui konspirasi korporasi besar, perlawanan kelompok sosial, serta bumbu perjodohan yang ikut serta meramaikan jalan cerita novel ini.
Novel yang mengambil setting tempat di Pekanbaru, Riau, Sumatera ini tidak saja ingin menegaskan bahwa kerusakan alam dengan adanya perkebunan sawit. Kerusakan tersebut antara lain habisnya air tanah olah tanaman sawit, rusaknya tanah karena gambut sawit serta bencana kekeringan yang akan terjadi. Selain itu juga, novel ini ingin menegaskan bahwa pembukaan lahan secara besar-besaran dan biasa dilakukan korporasi dengan cara yang ringkas, seperti pembakaran hutan, menyebabkan krisis kesehatan pada umat manusia. Tidak hanya dilingkungan terdekat bahkan ancaman bencana asap tersebut bisa mengancam negara lainnya yang berdekatan dengan kita. Kemudian bencana asap tersebut menyebabkan gangguan pernapasan, gangguan hati dan sebagainya.
Kejelian penulis bisa dilihat dari cara bagaimana ia menghadirkan peristiwa sawit ini tidak hanya seputar persoalan antar masyarakat. Tetapi ia menghadirkan konspirasi korporasi besar para tuan tanah kaya. Hadirnya Kang Marno dan anaknya Marjo adalah simbol borjuasi lokal yang ingin diceritakan oleh penulis bahwa krisis ekologi ini yang paling bertanggungjawab adalah mereka atau petani yang sudah menjelma menjadi korporasi. Dan tentunya tipikal yang ingin dikesankan penulis terhadap korporasi ini adalah tokohnya selalu berbuat semaunya, tidak peduli sama orang lain, gagah, sombong dan menghalalkan segala cara untuk memenuhi hasratnya, baik ekonomi maupun prilaku.
Novel ini layak baca. Walaupun cara penulisannya sedikit kurang menarik, akan tetapi caranya bertutur dan berkisah terbilang apik. Dan lugas. Terutama bagi yang kurang paham persoalan ekologi atau pemerhati lingkungan dan kesehatan. Jarang mungkin kita bisa menemukan novel dengan latar persoalan ekologi seperti ini. Sedikit bumbu perjodohan, percintaan, termasuk penipuan yang ‘biasanya’ kerap dilakukan intelektual dengan klaim akademik juga mewarnai jalan cerita novel ini. Penasaran, silahkan baca novelnya.