DISKUSI BUKU ‘Perubahan Sosial Di Yogyakarta’

 

***

Buku ‘Perubahan Sosial Di Yogyakarta’ yang ditulis Selo Soemardjan  ini menjelaskan bahwa dengan adanya gejolak-gejolak sosial hari ini seperti pembubaran diskusi, penyerbuan sekelompok orang ke kelompok lainnya yang mengadakan pemutaran film dan serta adanya intervensi ke kampus, itu menegaskan kembali bahwa ada kemunduran pada kota yang berjuluk kota pendidikan dan budaya ini. Jelas bahwa hal ini menyebabkan kita kembali seperti tak ubahnya berada pada jaman kolonial, dimana ruang-ruang kebebasan tidak ada sama sekali. Buku ini menjadi penting karena dengan adanya gejolak sosial yang ada seperti sekarang ini, seolah penulis ingin mengatakan dimana peran Sultan sekarang. Kalau semasa HB IX, jelas bahwa persoalan sosial termasuk kesejahteraan menjadi tanggungjawabnya secara pribadi. Dan beliau akan terjun langsung untuk mencarikan solusi pemecahan persoalan tersebut tanpa melibatkan pemerintahan lokal atau lainnya. Itu tanggungjawabnya sebagai raja yan melayani rakyat.

Demikian yang disampaikan Eko Prasetyo selaku aktivis, penulis sekaligus pendiri Social Movement Institute (SMI) dalam acara diskusi dan bedah buku Perubahan Sosial Di Yogyakarta (19/02/2018). Diskusi yang digelar di toko buku diskon Togamas Affandi Gejayan ini juga menghadirkan Elanto Wijoyono selaku pengamat sosial dari Warga Berdaya Yogyakarta serta aktivis feminisme Anna Marsiana dari Stube Hemat Yogyakarta. Diskusi yang digelar bersama oleh Social Movement Institute (SMI), Stube Hemat, TB Togamas serta Tribun Jogja ini diikuti oleh masyarakat umum dan mahasiswa dari berbagai kampus.

“Saya mencoba melihat kembali situasi Jogja hari ini dengan membandingkan dari apa yang di tulis Selo Soemardjan, yaitu bahwa sekarang ini ada kesenjangan sosial yang marak, yang tumbuh hampir di semua kota dan kabupaten. Bahkan kesenjangan itu begitu vulgar, yang secara ekonomis bisa kita identifikasi dari kampus mana yang dituju para mahasiswa. Dan juga kesenjangan itu sendiri melahirkan sekian masalah lainnya bahkan menciptakan kriminal yang ekstrim. Bahkan pelaku kriminalnya secara usia semakin muda dan secara tindakan semakin beringas dan sadis. Hal itu tentunya menyulitkan kepolisian untuk menanganinya, termasuk psikolog. Dan dari situ tumbuh pula tindakan-tindakan moralis atas situasi yang semakin tidak atau susah dikendalikan. Makanya banyak sekali sekarang juru-juru kebenaran hadir berkampanye tentang hal yang paling benar untuk dilakukan. Situasi Jogja akhirnya saban hari makin moralis” tambah Eko Prasetyo lagi.

Anna Marsiana juga merasakan hal yang sama. Dimana menurutnya kondisi sosial Jogja makin rumit saja. Meskipun beliau tidak intens mengamatinya secara langsung. Karena lebih banyak diluar kota, meskipun sesekali datang walau hanya beberapa hari. “Belakangan saya memang jarang di Jogja. Tetapi saya tetap memperhatikan situasi sosial yang ada di Jogja ini. Dan 5 tahun terakhir ini telah banyak terjadi perubahan. Terlihat bagaimana ruang-ruang itu makin nyesek. Berbeda dengan Jogja masa lalu. Apalagi setelah saya membaca fakta di buku ini tentang situasi Jogja saat itu. Bahwa diakhir abad ke-19, sebenarnya telah tumbuh akar-akar semangat pembaharuan yang luar biasa di Jogja. Keberagamannya sangat luar biasa. Itu bisa dilihat dari banyak aspek seperti budaya, sosial, gerakan sosial, politik termasuk peranan lembaga pendidikan. Tapi 4-5 tahun ini yang saya lihat bahwa hal itu makin nyesek saja” ujarnya.

Acara diskusi dan bedah buku ini juga dimeriahkan dengan penampilan musikalisasi puisi oleh Janeska Mahardika dari  Teater Suluh SMI. Janeska menampilkan musikalisasi puisi yang berjudul “Pedang Khatulistiwa” dengan iringan kecapi. Tampak semua peserta khidmat mendengarkan dan menyaksikan penampilan. Setelah selesai perform, diskusi kembali dilanjutkan dengan beberapa pertanyaan dari peserta. Hal yang mereka tanyakan ialah tentang peranan Kraton, Sultan serta Gubernur dalam berbagai peristiwa yang terjadi belakangan ini serta siapakah yang memegang kendali terhadap perubahan situasi sosial di Jogja. Dan ada juga yang mempertanyakan tentang apakah masih diperlukan reformasi sosial yang daerahnya secara administratif masih termasuk desa tetapi lanskapnya sudah kota.

Elanto menjelaskan bahwa memang ada perbedaan pengelolaan desa jaman dulu dengan sekarang. Tapi menurutnya hal itu menarik jika dilihat dari perbandingan perubahan pemerintahan desa hari ini,apalagi pasca adanya UU Desa tahun 2014, dengan situasi sebelum kolonial. Karena menurutnya, buku Selo Soemardjan telah banyak menjelaskan bahwa di jaman dulu di Jogja, penduduk pedesaan masih tinggal dalam desa yang tidak diatur oleh pemerintahan yang formal. Ini yang disebut sebagai pemerintahan tradisional. Tetapi pasca patih Danurejo meninggal tahun 1942, segala urusan pemerintahan termasuk yang teknis, semua diambil alih oleh Sultan sendiri. Ini yang menurutnya bahwa ada perubahan pada situasi sosial di Jogja. Dan itu dimulai dari sosok yang menduduki sebuah kerajaan. Makanya pemerintahan desa sekarang ini bukan lagi pemerintahan tradisional. Justru sudah pemerintahan modern karena melalui proses demokrasi.

Tetapi menurut Eko Prasetyo, pada bab terakhir, Selo Soemardjan mengilustrasikan dengan sangat menarik bahwa proses perubahan sosial itu bermula dari perubahan-perubahan yang berasal dari faktor eksternal – luar. Tetapi perubahan eksternal itu menjadi berbahaya ketika perubahan itu diberi lapangan otoritas. Apalagi kalau perubahan itu tidak memiliki akar historis atau tidak memenuhi kebutuhan-kebutuhan masyarakat yang sebenarnya. Dalam buku ini dilukiskan, ketika terjadi proses pelembagaan institusi-institusi perubahan sosial yang bertolak belakang dengan aspirasi, maka itu akan mengakibatkan saling berbenturan dengan antar kepentingan.

 

PKI dan Ide Kiri Di Jogja

Situasi sosial yang ditulis oleh Selo Soemardjan dalam bukunya tidak hanya menyitir persoalan administrasi sosial yang terjadi di Jogja tempo dulu saja. Bahkan beberapa melukiskan tentang Partai Komunis Indonesia (PKI) sampai bagaimana PKI memenangkan kontestasi pemilu untuk seluruh kabupaten dan kota di wilayah Jogja.

“Memang awalnya banyak yang menyangsikan dan pesimis mengenai pembahasan buku ini. Bahkan saya banyak ditanya oleh berbagai kalangan mengapa mengangkat buku ini dalam sebuah pembahasan. Itu karena banyak kalangan masih menganggap bahwa buku ini sangat mendukung feodalisme. Padahal buku ini tidak hanya berbicara soal kerajaan dan Sultan saja. melainkan juga banyak berbicara tentang hal lain seperti ide-ide politik radikal yang tumbuh di Jogja saat itu. Dan itu yang menjelaskan mengapa PKI bisa sangat kuat. Karena memang ide-ide revolusi sosial saat itu sangat diminati dan menjadi salah satu lanskap ketika kota ini menjadi pusat ibukota “ papar Eko Prasetyo.

Menurutnya, bahkan ada lembaga pendidikan Marx yang sangat terkenal di Jogja saat itu. Disitulah gagasan ide-ide revolusi sosial diolah sedemikian rupa. Dan yang mengejutkan, PKI menjadi partai nomer satu di Jogja, menyingkirkan PNI, Gerinda dan Masyumi. Akhirnya separuh kursi dewan diisi oleh kader-kader PKI. Ini perkembangan yang unik saat itu. Yang artinya ada ruang-ruang terbuka yang luar biasa dimana ide-ide revolusi sosial secara mengejutkan tampil dan mendapat pengikut yang signifikan. Bayangkan saja, kota yang secara struktur sosialnya sangat feodal tetapi saat itu menjadi sangat kiri pada ide-ide politiknya. Ini tentunya menakjubkan.

“Anda bisa bayangkan satu kekuasaan feodal mempertahankan PKI seperti itu. Uniknya gerakan-gerakan kiri itu tidak bertabrakan dengan kepentingan-kepentingan kerajaan. Karena secara langsung Sultan HB IX sangat terbuka dan membuka ruang politik seperti itu. Itu memberikan kesan buku ini secara subjektif mengatakan bahwa secara individual Sultan mengambil inisiatif-inisiatif yang berani. Bahkan Sultan mengambil alih sistem spiritual yang menjadikan ia punya kharisma yang besar. Semua demi melayani rakyat. Dan rakyat sangat percaya kepada Sultan yang punya tanggungjawab secara sosial dan spiritual. Itulah yang menggambarkan Sultan sebagai raja tempo dulu yang sangat hangat, baik dan secara persoanal mudah ditemui yang digambarkan Selo Soemardjan di buku ini pada banyak bab berikutnya. Bahkan Sultan berani mengambil tanggungjawab sosial itu sebagai tugas pribadinya. Seperti masalah kesejahteraan dan kemiskinan pada rakyat Jogja. Itulah yang kemudian membuat relasi yang kuat antara Sultan dengan rakyatnya. Bahkan rakyat yang kemudian menyerahkan tanahnya kepada Sultan, bukan Sultan yang memberi tanah untuk rakyat. Karena hal itu secara filosopis berarti rakyat mempercayakan kepada Sultan untuk mengelola semua tanahnya. Dan mereka sangat yakin hal tersebut. Disini secara filosopis Sultan mendudukan relasi dirinya sebagai raja dan pelayan rakyat”.

Tetapi disatu sisi, masih menurut Eko, bahwa memang ada bias sosial yang menjadi ancaman ketika kekuatan kapitalis tidak mau mengikuti sistem yang sudah dibuatnya. Ini dilakukan oleh kelompok kelas menengah seperti Cina dan sebagainya. Kelompok ini orientasinya pasar bebas dan tidak mau dikendalikan dengan sistem yang dibuat Sultan. Disinilah menurut Selo Soemardjan Jogja mengalami perubahan sosial yang signifikan. Dan itu sebabnya relasi sosial mengalami ketegangan dengan perantara Sultan yang selalu berusaha untuk menyeimbangkan ketegangan-ketegangan itu. (Mel)

 

Jika anda menyukai konten berkualitas Suluh Pergerakan, mari sebarkan seluas-luasnya!
Ruang Digital Revolusioneir © 2024 by Suluh Pergerakan is licensed under CC BY-SA 4.0