Oleh: Nalar Naluri
Rinai hujan, menari gemulai, seperti mempersembahkannya kepada sang raja. Terang langit masih mengintip dari balik gumpalan awan berwarna putih oranye keabu-abuan. Ini sudah pukul 07:05. Gemericik bunyi seng agak mengganggu bagai langkah kejar-kejarran tawuran antar kampung. Di samping beduk tua masjid desa berwarna kulit cokelat pudar, yang di sebelahnya ada keranda dan peranti jenazah, aku duduk menatap langit.
Lantunan ayat suci bergema saban hari. Setiap pagi, siang, sore dan selepas magrib tanpa putus. Salat sunahnya tak pernah bolong. Zikir pun demikian. Tapi tak sebutir air mata tampak jatuh menetes. Ibadahnya seperti mesin penggerak untuk sebuah produksi. Pahala seperti laba yang terus menerus dikejar tapi tak menemukan sukma keheningan paling puncak. Dosa ibarat kotoran yang dibuang tanpa ingin mengambil manfaatnya kemudian menjadikannya sebagai pupuk penyubur tunas-tunas keindahan baru. Dia adalah seorang nenek muda bercucu empat, memiliki anak juga berjumlah empat. Dia penganut tarekat. Amalan-amalan yang diberi gurunya tak pernah ia lalaikan.
Di sebuah desa yang beratapkan awan Merapi, berdinding cemara dan pohon sengon, menyisakan sapaan embun-embun hikmah. Nenek muda memiliki adik ipar yang mulutnya begitu judes, galak, dan kerap membuat masalah. Meski sudah jompo, tetapi dadanya masih kuat. Senyum judesnya masih mekar. Dan kesombongannya tak goyah sedikit pun. Bagi sang nenek muda, ini sungguh ironi.
“Bau kematian hanya sekian centi kok kelakuannya masih saja tidak berubah.” Kata nenek muda, sambil mengeluarkan mukena dan sejadahnya yang ada di dalam satu lipatan.
Karpet hijau masjid sudah seminggu lebih tergulung di pojok. Wujudnya menyerupai lumpia gosong. Keramik putih berbentuk kotak tanpa motif baru saja dipel. Sangking mengkilapnya bisa memantulkan bayangan benda apa pun. Jika ingin iseng, bisa menggantikan kaca untuk bercermin. Tapi si nenek muda terlihat beranjak ke belakang, menuju keran air, mengenakan sendal jepit, mengambil wudhu untuk kali kesekian. Salat duha lebih penting daripada keisengan bercermin di keramik putih mengkilap.
“Padi menguning matang seiring waktu kian merunduk, tapi tidak usia tua. Karena kepongahan bisa saja semakin berbuah. Batu yang ditetesi air hujan bisa hancur, tapi bukan berarti ibadah banyak yang sudah dilakukan dengan percaya diri berlebih jadi jaminan bisa menciprati hati. Karena, rahmatlah yang lebih unggul.” Ucap sang syekh dengan penuh kerendahan hati.
Semalam, dari serambi pojok kiri aku mendongakkan kepala, tegak berjinjit, berdesak-desakkan dengan keramaian orang-orang. Aku melihat wajah syekh sepintas dari sela-sela ruang kosong di antara barisan kepala-kepala manusia, berebut tempat mendengarkan pengajian. Tapi wajah sang nenek muda itu begitu mencolok, dia berada di barisan saf paling depan di bagian khusus perempuan. Mengenakan seragam organisasi, berwarna hijau dengan batik bermotif deretan bintang sembilan, sedang mengipasi cucuran keringat yang melengket di sekujur tubuhnya karena luapan manusia dan pengapnya ruangan.
Sudah lama nenek muda tak menaruh simpati pada nenek tua. Sejak mulut nenek tua itu bersikap bak mercon yang dilumuri cabe rawit merah, setiap hari menggunjingkan seorang kiai desa yang memiliki istri tiga. Orang-orang desa tak ada yang berani membincang soal rumah tangga kiai. Hanya nenek tua. Selain tak bagus mencampuri urusan rumah tangga orang, menggosipkan “alim ulama” bisa kualat. Adik iparnya itu memang lebih tua dari dirinya, tetapi karena menikah dengan adik dari suaminya―sekali pun umurnya lebih tua dari dirinya, nenek muda tetap memanggil nenek tua dengan sebutan dik. Begitulah tradisi yang mengikat.
Di sepertiga malam, kabut tebal membungkus desa dalam diam bersemangat. Kerikil setapak menengadah ke atas. Rumput-rumput bersujud. Sapi, kambing, ayam dan ternak-ternak lainnya sedang rukuk. Waktu subuh masih sejam lagi, nenek tua bersimpuh dalam kesendiriannya. Ia terus menundukkan kepalanya seolah malu memohon ampunan untuk kali kesekian di hadapan gambar ka’bah di masjid desa. Matanya sembab, sejadahnya basah oleh sesenggukkannya. Saat manusia mulai berdatangan ke masjid untuk menyambut subuh, ia dengan gancang bangkit menggulung sejadah dan menuju ke keran air. Membasuh wajah merahnya yang seperti baru saja kena tampar. Jangan sampai ada yang tahu.
“Di sebelah kanan sana, yang ada sungai kecil di sampingnya. Dan di sebelah kiri sana yang berbatasan dengan tiga pohon kelapa tua. Dari tempat kita berdiri sekarang sampai ujung jalan setapak itu, itulah batas milikku!” Telunjuk kanan kiai belum mau diturunkannya, mata bundarnya bak bola kasti belum puas menghentak mata petugas pengukur tanah dari Dinas Perlahanan.
Kiai berkelit dengan petugas tersebut. Dia memang tak memiliki sertipikat asli yang sah. Tapi dia bisa mendatangkan banyak saksi dari warga desa jika dibutuhkan―saat jelaga pembantaian massal masih berbekas utuh, tanah yang diklaimnya itu adalah tanah wakaf pemberian salahsatu tuan tanah di desa sejak tahun 1965.
Tapi nenek tua punya pendapat berbeda. Dia melihat kiai seperti jubah putih berlumur darah yang dikibar-kibarkan bak menodai panji ilahi.
Dari jendela masjid desa, nenek tua menatap mentari pagi, semburat kabut mulai pergi. Dia masih dalam kesendiriannya. Seperti biasanya. Dalam hari-harinya. Sejak sepertiga malam tadi, hanya ia tersisa dalam jamaah subuh hingga sinar pagi menerangi.
Setiap ada kerumunan kecil ibu-ibu desa, nenek tua nimbrung di sana. Tanpa penutup mulut medis maupun agama. Kemudian ia mulai bercericit menggunjingkan kiai, seperti nyanyian kutilang yang diiringi petikan gambus. Ya, gambus. Entah kenapa ia selalu terkesan dengan irama gambus. Meski kerap dimainkan mengiringi zapin, gazal dan kasidah memuji sang Mustafa, gambus dalam kenanganya seperti linggis yang menusuk jantung hingga tembus lewat ubun-ubunnya.
Saat nenek tua masih gadis 13 tahun, untuk pertamakalinya ia mengenal dentingan gambus dari seorang ahlulbait yang sepanjang hayatnya tak pernah menikah karena begitu sibuk melantunkan pujian dan memetik dawai hanya untuk kekasih-Nya. Tapi khusus malam itu, gambus dipetik mengiringi duka pembantaian. Seperti kisah Nero memetik lira di tengah lautan api kota Roma. Prajurit RPKAD mengkomandoi beberapa rakyat dan ulama, mencari simpatisan Soekarno dan anggota Barisan Tani untuk diserahkan kepada mereka. Beberapa yang terjaring dibuang ke truk tentara bagai onggokkan sampah. Sisanya digorok layaknya menyembelih ayam kemudian dilarung ke sungai besar. Dalam peristiwa itu, kiai, sekali lagi, menjadi pemimpin dari masyarakat dan umat.
Nenek tua dilihat oleh orang-orang seperti berbaju adab yang buruk. Terutama sikapnya yang lancang menyudutkan kiai yang suka mengoleksi banyak istri. Setiap nenek tua bercericit, orang-orang tak mempedulikannya, mereka menutup kuping, menganggapnya bagai angin lalu, dan melihatnya sebagai nenek yang kurang waras. Bagi orang-orang desa, wajarlah kiai bisa beristri tiga, bukan cuma karena itu merupakan sunah rasul, tapi kiai punya tanah banyak dan harta yang mapan―kiranya cukup menjadi modal dalil yang adil. Namun, bagi nenek tua, kiai itu kotor dan bersembunyi dari balik jubah putihnya.
Semakin bertambah umur semakin kuat keyakinannya. Semakin keriput kulitnya semakin kencang umpatanya. Semakin tersok-seok langkahnya semakin tegar pendiriannya, semakin rapuh tulang-tulangnya semakin semangat ia berdendang menghujat kiai. Itulah peranggai si nenek tua.
Tadarus berasa kurus malam itu. Nenek muda membaca ayat suci seperti sedang dikejar-kejar setan. Ia ingin menyelesaikan dan mengunyahnya seperti orang yang sangat kelaparan. Hasrat ingin menguasai menyalip tajwid, harakat, terjemahan, tafsir dan tanda baca lainnya. Ini belum ke tahap akhir paling penting, aplikasi. Tapi bukan itu yang utama penyebab nenek muda buru-buru menyelesaikan membaca ayat suci. Keresahannya akan nenek tua yang berada di masjid sambil duduk-duduk di tengah-tengah anak muda dan dengan santainya tanpa dosa mengejek-ejek kiai desa dengan gaya khasnya berdongeng, telah melampaui batas. Yang bikin nenek muda tambah murka, anak-anak muda di situ justru terpingkal-pingkal, lalu sebentar serius, kemudian fokus mendengarkan dongeng ocehan sang nenek tua. Nenek muda merasa masjid telah dikotori oleh nanah yang keluar dari mulut si nenek tua, dan anak-anak muda itu bukannya bersimpuh mendengarkan tadarus mereka malah seolah ikut mengguyur nanah di lantai masjid. Nenek muda tak bisa membiarkannya lagi.
“Ini bukanlah rumah bordir yang biasa digunakan untuk berbuat mesum. Ini rumah Ilahi!!! Tempat kesucian bersemayam. Jika kalian senang mendengarkan ceracau nenek tua yang suka bergibah ini di dalam masjid, itu sama halnya kalian telah bersetubuh dengan lumpur dan ikut mengotori rumah tuhan!” Sergah nenek muda dengan wajah serupa arang merah meronta dipercik api.
Dinding-dinding masjid seolah membeku. Kubah mancungnya seolah tutup cangkir yang sengaja dibuka penuh karena gumpalan uap panas membumbung. Singgasana dan seisi ruangan masjid seolah mengambang di udara melawan gravitasi. Mulut nenek tua masih terbuka lebar, enggan tertutup, bagai mulut mujair megap-megap yang terkapar di tanah. Dia masih belum percaya, orang di depannya itu adalah kakak iparnya yang selama ini dibanggakannya karena begitu sabar dan saleha―ternyata begitu tega mencekiknya dengan laknat tanpa menilik kebenaran dongeng di belakangnya.
Pohon-pohon bambu yang ada di sekitar masjid berderit-derit saat sapuan angin subuh mulai berdatangan. Sejak malam itu, semalaman mata nenek tua tak bisa terpejam, air mata asinnya mengucur bercampur kesedihan―penyesalan. Ia mengaku berdosa karena telah mengotori masjid yang suci. Betapa pun tempat itulah menjadi sandarannya ketika semua telinga menutup untuk kesaksiannya. Tapi apakah masjid tak bisa menampung kesedihan meski dituturkan dengan cara mendongeng bercampur gunjingan yang membuat hati para pendengernya terkadang terpingkal entah karena kelucuan isinya atau tragedi di belakangnya? Nenek tua merasa, bagaimana mungkin ia harus menata mulutnya bagai domba-domba yang patuh, bisa digiring, dicambuk, kemudian disembelih untuk sebuah kurban―sementara kiai itu telah membakar kitab suci dengan cara menelantarkan orang miskin dan anak yatim.
Nenek tua mandul itu dan adiknya (yang kini telah tiada) adalah seorang yang kesepian sejak dulu dan terbuang sampai kapan pun. Ibu mereka meninggal setelah melahirkan adiknya yang baru sejam keluar dari perut. Sedang ayahnya, ialah seorang muazin saleh yang ikut tewas dalam pembantaian massal karena mencoba melindungi sahabatnya yang merupakan anggota Barisan Tani. Meski pernah memiliki suami, tapi akhirnya telah almarhum lima tahun silam. Sejak saat itu, nenek tua hidup mandiri, sendiri, dan selalu sepi.
Tiga puluh menit sebelum waktu salat subuh tiba, amplifier telah dihidupkan. Terdengar dengung suara speaker. Bunyi ketukan mic tiga kali menggema di udara. Helaan napas berembus timbul-tenggelam beberapa kali. Azan subuh pun berkumandang sebelum waktunya. Semua warga heboh! Namun yang menambah kehebohan itu lebih janggal ialah suara sang muazin berbunyi cempreng, serak, berat, pendek, seperti suara perempuan jompo yang sedang menangis. Setelah lafal ashalatu khairum minannaum disebutkan dua kali, azan tak berhasil diselesaikan dengan tuntas.
Suara membisu untuk sepuluh kali detak jarum jam dinding. Warga desa masih menunggu azan yang tak terselesaikan. Tak lama kemudian, suara si nenek tua untuk sekali lagi terdengar dengan pengeras suara.
“Apakah semua dongeng dibuat semata-mata hanya untuk khayalan? Mungkinkah tak ada setitik pun kebenaran dari dongeng yang bisa dipetik? Bukankah setiap obat adalah dongeng. Karena mengandung harapan. Yang bila dicerna dengan baik, maka kesehatan menjadi nyata, meski hanya untuk sesaat.”
Kiai dan warga desa berduyun-duyun mendatangi masjid dengan batu, balok, gagang sapu, dan benda-benda lainnya. Menurut mereka ini sudah keterlaluan. Suara itu bukan saja haram, melainkan telah melecehkan ajaran agama. Wajah-wajah kusut yang masih melengket bau asam kasur itu ingin mengakhiri penistaan nenek tua. Namun warga desa tak berani mendahului komando si nenek muda.
Nenek muda pun beranjak ke masjid. Gerombolan langkah berderap ada di belakangnya. Saat nenek muda dan para warga membuka pintu masjid, pandangan mereka yang menyala tiba-tiba sayup. Kelopak-kelopak mata mereka tanpa komando menyipit. Untuk memperjelas mereka mendekat ke arah mimbar. Di sanalah si nenek tua duduk laksana penguasa mimbar, menggenggam tongkat mimbar, seperti seorang pengkhutbah yang telah menyelesaikan isi khutbahnya. Dia, telah menyelesaikan gumpalan misi yang menyesakki dadanya sejak puluhan tahun. Ia terkulai. Membujur kaku. Dengan denyut nadi yang mandek.
Ilustrator: Hisam
Komentar ditutup.