Hening Wikan*
“Aku tak percaya bapak-bapak anggota dewan, aku lebih percaya kepada dinding toilet.”
Dan seratus tulisan tersisa, juga hanya menulis, “Aku juga.” (Eka Kurniawan – Corat-Coret di Toilet)
***
Tak ada yang menyangsikan kritik tajam Eka Kurniawan pada anggota lembaga legislatif Indonesia dalam karyanya tersebut. Tetapi, akhir-akhir ini saya agak khawatir, akankah Kang Eka masuk bui? Kekhawatiran nan menggelitik saya bukan tanpa sebab, Undang-undang tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD atau UU MD3 telah memosisikan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) yang sedianya merupakan pengawas pelanggaran etika anggota DPR menjadi tameng dari kritik publik atas kinerja DPR dan perilaku para anggotanya.
Melalui pasal 122 huruf k yang terkandung dalam UU MD3, anggota DPR dapat melaporkan perseorangan atau kelompok yang dianggap menghina dirinya atau DPR sebagai lembaga secara keseluruhan. Apabila MKD menetapkan bahwa individu atau kelompok tersebut telah merendahkan kehormatan sebagaimana dituduhkan, maka MKD dapat memidanakan pihak yang dianggap menghina.
Tak hanya itu, terdapat beberapa pasal lain yang ditolak oleh berbagai kalangan seperti pasal 73 yang mewajibkan kepolisian untuk memenuhi permintaan DPR ketika hendak memanggil paksa maupun pasal 245 yang mensyaratkan pertimbangan dari MKD sebelum mendapat persetujuan tertulis dari Presiden bagi pemeriksaan anggota DPR kecuali tindak pidana khusus, tindak pidana dengan hukuman mati dan seumur hidup, maupun tertangkap tangan.
Berbagai aksi digalang untuk menolak revisi UU MD3 ini, mulai dari opini dan kajian yang memenuhi media massa konvensional dan dunia maya, aksi massa, pembuatan petisi daring melalui layanan pada situs Change.org hingga pengajuan gugatan uji materi pada Mahkamah Konstitusi yang meminta gugatan tersebut dilengkapi dengan nomor lembaran negara setelah resmi diundangkan.
Yang sangat menganggu benak ialah mengapa para anggota dewan yang terhormat tersebut tak lebih takut dengan resesi demokrasi? Tentu maksudnya disini adalah kesenjangan pengharapan yang timbul dari janji para politisi yang berusaha meraih kekuasaan namun sesungguhnya tak mampu ia wujudkan. Bukankah ketika kesenjangan melebar, kepercayaan terhadap para politisi semakin menurun dan skeptisisme terhadap proses politik berisiko berubah menjadi sinisme yang korosif?
Sistem demokrasi, utamanya demokrasi perwakilan, meraih legitimasi setidaknya karena tiga hal. Pertama, meskipun masyarakat tidak secara eksplisit memberikan otoritas politik sebuah “hak memerintah” yang formal, mereka melakukannya secara implisit tiap kali berpartisipasi dalam proses politik. Partisipasi politik kemudian, tentunya, mengikat pemerintah dan rakyat. Kedua, esensi pemerintahan demokratis tak lain adalah proses kompromi dan negosiasi yang memungkinkan berbagai kepentingan dan kelompok dapat hidup bersama. Artinya, dukungan dari masyarakat diberikan karena mereka merasa mendapat jaminan bahwa kekuasaan dibagi secara luas. Ketiga, fungsinya sebagai umpan-balik dapat mendukung stabilitas politik jangka panjang hanya bila keluaran (output) dari pemerintah berupa kebijakan selaras dengan tuntutan atau tekanan masyarakat yang diberikan padanya. Yang memberi pemilihan dari demokrasi perwakilan karakter demokratis adalah kemampuan memberdayakan masyarakat untuk “menyingkirkan” orang-orang yang curang dan menjadikan para politisi akuntabel secara publik.
Bagaimana ketika hal itu tak tercapai?
Maka masyarakat, dalam hal ini kita semua, benar-benar perlu mengorganisir diri dan membangun jejaring satu sama lain dengan lebih serius sehingga berbagai upaya penolakan yang sudah masif dapat dikelola dengan baik untuk mencapai tuntutan. Sebab tentunya “jalan kendali” mobilisasi dan tindakan kolektif adalah spesialisasi elit pemerintahan; penanganan aksi oleh aparat setempat, kuasa atas informasi, proses perizinan yang memastikan aktor potensial dapat diidentifikasi. Atau dengan selemah-lemahnya iman, kita nantinya dapat mengosongkan bilik-bilik suara bila tak ada calon yang cukup transparan dan akuntabel bagi orang-orang yang akan diwakilinya. Tak perlu memberikan suara pada mereka yang tak dapat kita jangkau apabila kebijakannya membuat kita mendapat kesulitan. Barangkali saja, alih-alih berkutat pada ulah memusingkan anggota dewan, kita dapat sejenak berpikir; kira-kira butuh berapa UU MD3 kah sampai kita mulai menggagas demokrasi pasca partai politik, misalnya?
*[Hening Wikan, Seorang Mahasiswa Yang Saat Ini Masih Menempuh Pendidikan di Yogyakarta]
Pingback: 3000